Berbagai cerita rakyat menyampaikan banyak pesan moral mulai kearifan lokal di Kalimantan Timur sampai pesan nasionalisme.
JEDA.ID–Provinsi Kalimantan Timur ditunjuk menjadi ibu kota baru Indonesia untuk menggantikan Jakarta. Kalimantan Timur merupakan salah satu daerah yang kaya dengan budaya salah satunya cerita rakyat.
Hal ini tidak lepas dari sejarah panjang Kalimantan Timur yang memiliki sejumlah kerajaan lawas dengan berbagai legenda. Salah satu kerajaan yang tidak bisa dilupakan tentu adalah Kerajaan Kutai.
Kerajaan Kutai atau Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua. Kerajaan ini berdiri sekitar abad ke-4 di daerah Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam.
Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat Kalimantan Timur memiliki 37 cerita rakyat yang terdata. Cerita rakyat Kalimantan Timur itu terdiri atas 22 dongeng dan 15 legenda.
Beberapa cerita rakyat di Kalimantan Timur yang cukup terkenal adalah Keramat Sungai Kerbau , Raja Alam (Raja Sambaliung), Kalung Uncal, Asal Batu Trumpit, dan Angga Pahlawan.
Ada pula Angga Sora, Patung di Goa Kombeng, Bombong, Ayus (Legenda Batu Ukir), Siluq, Puan si Panaik, Aji Batara Agung Dewa Sakti, Putri Karang Melenu, hingga Putri Bidara Putih.
Kemudian Sumbang Lawing, Juwairu si Guntur Besar dan Suri Lemlai, Marhum Muara Bangun, Aji Jantai, Asal Mula Orang Basap, Raja dengan Janda Miskin, Panji Nata Kusuma, Sungai Berair Merah, sampai Si Jeng dan Puan Perkasi.
Berbagai cerita rakyat itu menyampaikan banyak pesan moral mulai kearifan lokal di Kalimantan Timur sampai pesan nasionalisme. Berbagai pesan itu sangat baik bila diceritakan kepada generasi penerus. Tentu ini juga menarik bagi pendatang di ibu kota baru Indonesia ini.
Berikut beberapa cerita rakyat Kalimantan Timur yang memiliki pesan nasionalisme sebagaimana dikutip dari penelitian Yudianti Herawati dari Kantor Bahasa Kalimantan Timur yang berjudul Nasionalisme dalam Cerita Rakyat Kalimantan Timur.
Sumbang Lawing
Cerita rakyat Sumbang Lawing di Kalimantan Timur bersumber dari buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada 1981/1983.
Cerita rakyat yang berasal dari Kerajaan Kutai ini menceritakan perselisihan antara Kerajaan Kutai Martadipura dengan Kerajaan Kutai Kartanegara. Pada akhirnya, Kerajaan Kutai Martadipura tunduk dan mengakui kedaulatan Raja Kutai Kartanegara.
Raja Kutai Kartanegara pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325) memperlakukan kerajaan yang ditaklukannya itu secara baik, tidak memperlakukannya sebagai kerajaan jajahan.
Meski begitu, banyak pimpinan suku di wilayah Kutai yang mengacaukan keamanan kerajaan. Ada yang membuat hura-hura seperti merampok, merampas, dan membunuh rakyat.
Adalah Sumbang Lawing yang menjadi pemimpin kelompok pengacau ini. Dikisahkan dia memiliki kesaktian, tidak ada tandingannya, dan berkeinginan menaklukkan Kerajaan Kutai Kartanegara.
Sang Raja tidak tinggal diam. Raja bermusyawarah untuk menghadapi Sumbang Lawing. Raja menyiapkan pasukan perang untuk menghadapi kelompok pengacau yang dipimpin oleh Sumbang Lawing.
Datanglah kemudian pejabat kerajaan bernama Ence Hasan yang meminta izin untuk menghadapi Sumbang Lawing secara individu. Ence Hasan akan menghadapi dengan kecerdasannya agar tidak menimbulkan banyak korban jiwa.
Raja mengizinkan Ence Hasan yang ahli beda diri itu dengan ditemani oleh Awang Temputuq menghadapi Sumbang Lawing. Keduanya berangkat dengan mantap demi kehormatan negara dan melindungi rakyat dari kejahatan Sumbang Lawing dan pasukannya.
Dengan menyamar sebagai pedagang kain dan menawarkan kainnya pada Sumbang Lawing, Ence Hasan mulai melakukan tipu daya. Sumbang Lawing diminta membuka bungkusan yang mereka tawarkan.
Kemudian satu-satu kain tersebut dibukanya hingga berhamburan di atas lantai perahu. Lalu terlihatlah oleh Sumbang Lawing sebuah cermin yang terletak di bawah lipatan kain.
Sumbang Lawing yang seumur hidup tidak pernah melihat wajahnya, terpekik ketika cermin itu diarahkan ke wajahnya. Ia pun kaget melihat orang berwajah jelek berada di dalam cermin tersebut. Sumbang Lawing tidak menyadari bahwa wajah yang dilihatnya dalam cermin itu adalah wajah dirinya sendiri.
Sumbang Lawing terus tertawa terbahak-bahak tanpa menyadari bahaya yang akan mengancamnya. Saat itulah Ence Hassan menghujamkan keris kecil bernama Burit Kang ke mulut Sumbang Lawing.
Dengan terperanjak dan kesakitan Sumbang Lawing meronta dan melompat-lompat hingga jatuh ke sungai. Kesempatan itu tidak di sia-siakan Awang Temputuq untuk menyerang Sumbang Lawing sampai tewas.
Dalam cerita rakyat Sumbang Lawing di Kalimantan Timur yang menjadi tokoh sentral sebagai pembela Tanah Air adalah Ence Hasan dan Awang Temputuq. Sedangkan Sumbang Lawing adalah tokoh jahat, pengacau, dan pemberontak kerajaan. Kedua tokoh nasionalisme pada zamannya, seperti Ence Hasan dan Awang Temputuq perlu diteladani sebagai sikap cinta negara.
Panji Nata Kesuma
Cerita rakyat di Kalimantan Timur yang cukup terkenal adalah Panji Nata Kesuma. Cerita ini diperoleh dari buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada 1981/1983.
Cerita rakyat Panji Nata Kesuma mengisahkan perlawanan terhadap penjajah Belanda juga terdapat dalam cerita modern, misalnya dalam cerita Sanga-Sanga 1912 yang berisi perjuangan masyarakat Kalimantan Timur terhadap Belanda semasa Agresi Militer I.
Cerita Panji Nata Kesuma terkait dengan keberadaan Kerajaan Paser Balengkong. Seperti biasanya kehidupan rakyat di Kerajaan Paser Balengkong aman dan damai. Kondisi tersebut berubah sewaktu kedatangan Belanda yang sengaja menghasut Sultan Paser Balengkong agar menjual tanah milik kerajaan dalam jumlah yang sangat amat luas kepada Belanda.
Rencana itu ditentang Panji Nata Kesuma karena akan membuat rakyat sengsara. Panji Nata Kesuma sudah curiga dengan rencana Belanda itu agar bisa menjajah Kerajaan Paser. Strategi Belanda itu seperti dilakukan terhadap Kerajaan Banjar.
Penolakan Panji Nata Kesuma tidak diterima oleh Sultan Paser. Keinginan dan tekad Panji Nata Kesuma mendapat dukungan dari banyak pejabat kerajaan. Akhirnya, Panji Nata Kesuma bersama Pangeran Syarif Toha perang terbuka dengan Belanda.
Pasukan Belanda diperkuat dan akhirnya dapat menangkap Panji Nata Kesuma dibuang dan dipenjara di Banjarmasin, sedangkan Pangeran Syarif Toha dibuang dan dipenjara di Kota Baru.
Setelah usia tua dan uzur, kedua pejuang dari Kerajaan Paser itu dikembalikan ke tanag kelahiran mereka. Keduanya disambut oleh rakyat dengan penuh hormat. Jiwa perjuangannya tiada pernah luntur. Pada masa tua keduanya tetap mengajarkan kepada rakyat agar mencintai negaranya dan tidak mengikuti keinginan penjajah Belanda.
Cerita rakyat dari Kalimantan Timur ini menitipkan pesan jiwa semangat cinta negara seperti pada diri Panji Nata Kesuma dan Pangeran Syarif Toha itu yang perlu diwarisi oleh anak bangsa pada masa mendatang.
Raja Sambaliung
Cerita rakyat ini diperoleh dari tulisan seorang sastrawan dan budayawan Kabupaten Berau bernama Saprudin Ithur. Buku yang terbit pada 2013 itu berjudul Bangbal menjadi Raja (Asal-Usul Kerajaan Berau).
Cerita rakyat ini menceritakan sejarah dan budaya pemerintah Kerajaan Sambaliung di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kisah itu memuat perlawanan terhadap Belanda.
Hampir mirip dengan cerita Panji Nata Kesuma, Belanda datang dengan mengadu domba pejabat kerajaan. Ketika itu, Raja Sambaliung berselisih dengan Kerajaan Gunung Tabur. Padahal, kedua kerajaan tersebut memiliki hubungan keluarga, masih bersaudara dan satu nenek moyang.
Awalnya Belanda datang berdagang, namun lama-kelamaan ingin menjajah dan memanfaatkan perselisihan dua kerjaaan bertetangga itu. Perang antara dua kerajaan itu tak terhindarkan.
Siasat adu domba yang dilakukan Belanda dengan cara membantu kedua kerajaan itu dengan menyediakan senjata perang. Belanda ingin Raja Kuning dari Kerajaan Gunung Tabur yang memenangi perang.
Namun, Belanda juga berpura-pura membantu Raja Alam sehingga Raja Alam dikalahkan oleh pasukan Raja Kuning di Gunung Tabur. Kerajaan Gunung Tabur yang dibantu oleh pasukan Belanda menyerang Sambaliung.
Raja Alam bertekad mempertahankan negaranya. Ketika itu, Putra Mahkota meenyampaikan tekadnya kepada Raja Alam untuk menghadapi musuh demi negaranya. Belanda membiarkan Raja Alam dan Syarif Dakula melarikan diri ke pedalaman.
Setelah bersembunyi di pedalaman, tiba-tiba Belanda mengundang Raja Alam dan Syarif Dakula ke Istana Sambaliung untuk melakukan perundingan. Ternyata itu hanya tipu muslihat karena keduanya kemudian diasingkan ke Makassar.
Dalam perjalanan ke Makassar, Syarif Dakula memberontak sehingga putra mahkota Sambaliung itu ditembak di atas kapal. Sang Putra Mahkota meninggal dunia sebagai pembela kedaulatan Kerajaan Sambaliung.
Sementara itu, Raja Alam tetap dibawa ke Makassar dan menjalani hidup dalam penjara di atas kekuasaan Belanda. Setelah itu, baru kemjudian Raja Gunung Tabur baru menyadari bahwa dirinya diperalat oleh Belanda sehingga berperang dengan Kerajaan Sambaliung yang sebenarnya masih satu darah keturunan.
Putri Bidara Putih
Cerita rakyat Putri Bidara Putih diperoleh dari kumpulan cerita rakyat Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten pada 2013.
Cerita ini berasal dari masa Kerajaan Kutai Kartanegara yang mengisahkan pertempuran Kerajaan Muara Kaman dengan pasukan China. Cerita itu dikenal dengan sebutan Putri Bidara Putih yang artinya Putri Berdarah Putih.
Konon Putri Raja Muara Kaman itu memiliki darah warna putih. Kecantikan Putri Raja Muara Kaman sudah dikenal hingga ke negara lain, termasuk dikenal oleh putra mahkota dari kerajaan Tiongkok. Kemudian, Putra Raja Tiongkok hendak membuktikan keradaan dan kecantikan Putri Raja Muara Kaman.
Pangeran China dengan membawa pasukan kemudian menghadap Raja Muara Kaman dan mengakui kecantikan sang putri. Saat datang, Pangeran China datang dengan membawa banyak harta dan hadiah bagi Raja Muara Kaman agar bisa meminang sang putri.
Sang raja belum mengambil keputusan. Sedangkan Putri Bidara Putih menaruh simpati kepada Pangeran China itu. Namun, sikap Putri Bidara Putih berubah seketika menyaksikan mereka makan sambil bercakap-cakap. Di samping itu, pangeran itu makan dengan cara yang tidak sopan.
Putri Bidara Putih berubah pikiran dan tidak lagi tertarik kepada Pangeran China. Pangeran China kemudian memaksa meminta jawaban atas keinginannya meminang sang putrri. Raja Muara Kaman menjawab bahwa dirinya belum dapat memberikan jawaban.
Pasukan China tersinggung karena merasa dipermainkan hingga akhirnya mereka menyerang Kerajaan Muara Kaman. Kerajaan Muara Kaman berada dalam bahaya. Pada saat itu, Putri Bidara Putih meminta izin kepada ayahnya untuk memimpin pasukan kerajaan.
Saat pasukan kerajaan itu terdesak suatu keajaiban terjadi. Tiba-tiba pasukan Muara Kaman mendapat bantuan pasukan beribu-ribu binatang lipan yang menyerang pasukan China. Singkat cerita, pasukan lawan banyak yang tewas. Namun, Pangeran China dapat lolos dan kembali ke Tiongkok.
Sikap yang ditunjukkan Putri Bidara Putih itu sebagai wujud sikap cinta tanah air. Jadi Kalimantan Timur juga memiliki cerita rakyat banyak mengisahkan tentang semangat nasionalisme.