Salah satu tantangan dari kasus catcalling adalah stigma terhadap korban. Kadang masyarakat dengan mudah menyalahkan korban atas pakaian yang dikenakan.
JEDA.ID–Catcalling kerap dianggap wajar oleh masyarakat Indonesia lantaran kerap terjadi di tempat umum. Padahal, catcalling adalah satu contoh dari pelecehan seksual verbal.
Catcalling sering terjadi lewat siulan, panggilan, teriakan, sampai komentar yang bernada seksual. Catcalling yang tergolong dalam street harassment (pelecehan seksual di tempat publik) kerap dialami perempuan.
Riset dari Hollaback pada 2014 di 42 kota di berbagai dunia, menunjukkan 71 persen wanita pernah mengalami street harassment. Riset lainnya dilakukan Lentera Sintas Merah dan Magdalene.com yang bekerja sama dengan Change.org Indonesia.
Mereka mencatat sebesar 84 persen perempuan di Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual verbal. Sebesar 70 persen pelakunya berasal dari orang yang tidak dikenal.
Y, 22, menceritakan kasus catcalling yang pernah menimpa dirinya. Kepada jeda.id, Rabu (25/9/2019), ia mengaku insidennya sudah terjadi sekitar dua tahun yang lalu.
”Pas itu ada bapak tukang lihat aku, awalnya cuman siul ke aku. Terus bapaknya panggil temannya yang lain dan bilang ’mbaknya seksi nih, enak kalo diajak tidur bareng’,” terang dia.
Cerita yang sama datang dari A, 20. Ia mengaku sering digoda para pria di jalanan. ”Kalau yang verbal biasanya dipanggil pas di jalan. Aku kan pakai jilbab, jadi kadang godainnya dengan ucapin salam ke aku,” tutur dia.
P, 21, mengaku pernah mengalami catcalling ketika masih duduk di bangku SMA. ”Ya kayak disiulin, dilihatin, sama dipanggil-panggil gitu. Kayak bilang ‘cewek’, ‘cantik main yuk’, ada juga yang bilang ‘mbaknya sini mampir main yuk’ sama ‘eh cantik, sendirian aja mbak’,” jelas dia.
D, 23, perempuan ini juga pernah menjadi korban catcalling saat jalan kaki ke kampus pernah digoda sopir sampai om-om. Sejatinya, catcalling menjadi musuh semua perempuan. Walau kerap dianggap remeh masyarakat Indonesia, catcalling dapat memberikan dampak psikologis bagi korbannya.
Dikutip dari Tinjauan Yuridis Terhadap Perbuatan Catcalling di Indonesia, dampak psikologis dari catcalling dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, terganggu, ketakutan, bahkan trauma pada korbannya.
Mengarah ke Pelecehan Fisik
Menurut pengakuan dari para korban, dua orang di antaranya mendapat perilaku tidak menyenangkan. Mulai dari diikuti hingga menjurus pada pelecehan seksual fisik. D menceritakan jika dirinya pernah diikuti oleh pria asing.
”Waktu itu aku lagi di mal, terus ada bapak-bapak yang ngikutin aku. Akhirnya aku jalan terus aja sampai ke satpam yang jaga di dekat pintu masuk,” jelasnya.
Tidak hanya diikuti, D juga pernah diajak menonton film, hingga pria asing itu menunjukkan isi dompetnya.
”Pas aku mau nonton bioskop sendiri, tiba-tiba ada bapak paruh baya ngajakkin aku nonton film. Dia juga tunjukkin isi dompetnya ke aku, pokoknya ada uang Rp100.000 banyak banget. Aku juga enggak tahu apa maksudnya,” terangnya.
Berbeda dengan D, yang mengalami insiden ini saat duduk di bangku kuliah. P menjadi korban pelecehan seksual sejak duduk di bangku kelas IV SD.
”Kejadiannya pas aku masih SD, mulai dari mereka godain aku terus juga sampai dilihatin dari atas sampai bawah, ada juga yang pegang-pegang aku,” jelas dia.
P mengaku kasus pelecehan seksual itu terus terulang beberapa kali. ”Pelakunya sekitar lima sampai enam orang. Caranya kurang ajar mereka lari-lari di depan aku, terus mereka bergiliran colek-colek aku,” jelasnya.
Insiden yang dialami oleh D dan P menimbulkan dampak psikologis yang nyata, terutama bagi P. Mulai dari rasa takut hingga trauma berkepanjangan.
”Kalau ketemu orang baru jadi takut, grogi berlebihan, kadang sampai mual, deg-degan berlebihan, sama pucat sih. Terus aku juga jadi terlalu sensitif kalau misalnya diliatin sama orang lain, jadi suka pikir negatif dulu,” jelas dia. Kini P merasa jika traumanya sudah tidak separah dulu.
Pelaku Buka Suara
Bagaimana dari sudut pandang pelaku catcalling? A, 22, mengaku pernah melakukan catcalling terhadap perempuan. ”Godain jarang. Aku seringnya siul sambil liatin dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ya kurang lebih aku siulin tiga kali lebih,” jelas dia
Dia menjelaskan jika respons perempuan yang digodanya beragam. Ada yang menoleh, ada yang membalas siulan, ada yang cuek, namun ada yang marah.
A mengaku tak tau menahu jika tindakan yang dilakukannya adalah bentuk pelecehan seksual verbal. ”Aku enggak sadar, karena aku pikir cuma iseng saja. Tapi ya sudah mau gimana lagi, sudah terjadi,” ucap dia.
Ketika ditanya tentang responsnya terkait maraknya kasus pelecehan seksual, dia menjawab jika responsnya biasa saja dan hal itu semata-mata lantaran sikap spontan dari pria.
”Ya biasa saja sih, tapi sebenarnya kasian juga. Soalnya kan sebenarnya juga mengganggu bahkan mungkin mengancam si cewek. Tapi para cowok yang lakuin itu karena spontan saja. Tanpa sadar kita [cowok] bikin cewek enggak nyaman,” jelasnya.
Namun, A menyatakan kasus pelecehan seksual tidak melulu dialami perempuan. A mengaku memiliki seorang teman laki-laki yang juga menjadi korban pelecehan seksual.
Laki-laki lainnya, Eto, 23, menyebut kasus catcalling sukar untuk dibuktikan, lantaran memiliki bukti yang minim.
Sedangkan Theo, 21, memberikan pendapat lain terkait kasus catcalling. ”Ya, kalo menurutku catcalling atau bentuk pelecehan apapun, enggak seharusnya dilakukan cowok. Walaupun ‘hanya’ siulan, kasihan juga ceweknya,” jelas dia.
Stigma ke Korban
Salah satu tantangan dari kasus catcalling adalah stigma terhadap korban. Kadang masyarakat dengan mudah menyalahkan korban atas pakaian yang dikenakan. Hasil riset dari Koalisi Ruang Publik Aman, menjelaskan jika pakaian bukan penyebab utama pelecehan seksual.
”Selama ini korban pelecehan seksual kerap disalahkan karena pakaiannya yang dianggap ‘mengundang’ aksi pelecehan. Namun, nyatanya pakaian yang digunakan tidak memengaruhi tindakan asusila ini. Pelecehan seksual murni terjadi 100% karena niat pelaku,” kata Rika Rosvianti, pendiri perEMPUan seperti dilansir dari Detikcom.
Catcalling sebagai salah satu bentuk pelecehan seksual verbal, seharusnya memiliki dasar hukum yang jelas. Salah satunya adalah demi melindungi para korban.
Dikutip dari Tinjauan Yuridis Terhadap Perbuatan Catcalling di Indonesia, ada beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar hukum atas perbuatan catcalling.
Pasal 281 ayat (2) KUHP serta Pasal 8, Pasal 9, Pasal 34, dan pasal 35 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Bahkan hingga kini masih ada perdebatan tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang dianggap dapat melegalkan zina.
Dilansir dari Komnas Perempuan, RUU PKS mengatur secara spesifik tindak pidana kekerasan seksual yang tidak diatur dalam KUHP. Poin pencegahan dalam RUU PKS dimaksudkan untuk mencegah terjadinya serta keberulangan kekerasan seksual.
Dalam RUU PKS, berisi ketentuan untuk melaksanakan rehabilitasi bagi para pelaku tindak pelecehan seksual. Hal ini turut dibarengi dengan adanya ancaman pidana tambahan. Adanya RUU PKS membuat definisi kekerasan seksual dalam KUHP menjadi lebih spesifik dan jelas. Dengan aturan yang jelas, tentu catcalling bisa semakin diminimalisasi.