• Sat, 5 October 2024

Breaking News :

Perubahan Iklim Bikin Perempuan Terpojok dan Jadi Korban

Dampak perubahan iklim yang banyak melanda negara-negara miskin menjadikan sejumlah kelompok masyarakat rentan menjadi korban. Sejumlah penelitian menyebut kaum rentan itu adalah perempuan dan anak-anak.

JEDA.ID—Dampak perubahan iklim yang banyak melanda negara-negara miskin menjadikan sejumlah kelompok masyarakat rentan menjadi korban. Sejumlah penelitian menyebut kaum rentan itu adalah perempuan dan anak-anak. Perubahan iklim bahkan memperlebar jurang kesenjangan sosial serta ketidaksetaraan gender.

Penelitian tentang dampak perubahan iklim pada kelompok perempuan dan anak-anak dilakukan oleh London School of Economics and Political Science pada medio 2007. Studi ini meneliti 141 negara yang terkena bencana alam pada periode 1981 hingga 2002. Hasilnya ditemukan keterkaitan erat antara bencana alam dan status sosial ekonomi.

Seperti dilansir lipi.go.id, bencana alam ternyata berakibat pada penurunan angka harapan hidup perempuan dan peningkatan ke kesenjangan gender. Penelitian ini juga menunjukkan perempuan menjadi korban terbesar dalam

berbagai bencana alam yang terjadi.

Penelitian Terbaru

Ilustrasi perubahan iklim. (Freepik)

Sedangkan penelitian terbaru oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) menunjukkan hasil serupa. Penelitian ini berlangsung selama dua tahun dan melibarkan 1.000 lebih sumber.

“Kami menemukan kekerasan berbasis gender bisa menyebar, dan tidak ada cukup bukti yang jelas untuk menyebut perubahan iklim meningkatkan kekerasan berbasis gender,” ujar Cate Oweren, koordinator penulisan laporan penelitian, yang dipublikasi pada Januari, 2020, seperti dilansir The Guardian.

Ia menambahkan namun seiring dengan degradasi lingkungan dan meningkatnya stres pada ekosistem, yang pada gilirannya memicu kelangkaan [bahan pangan, kebutuhan air bersih, sanitasi yang baik, akses kesehatan dll] dan meningkatkan stres pada manusia, maka ada banyak bukti yang memperlihatkan hal itu. Ketika lingkungan makin tertekan, kekerasan berbasis gender pun ikut meningkat.

Survei ini melibatkan 300 lebih organisasi dari seluruh dunia dan hasilnya menunjukkan enam dari 10 responden dari yang disurvei mengatakan ada kekerasan berbasis gender yang muncul di antara para perempuan aktivis lingkungan. Tak cuma itu, para perempuan migran dan pengungsi karena kondisi lingkungan juga mengalami kekerasan.

Satu lagi yang ditemukan adalah di area di mana aksi kriminal pada lingkungan dan degradasi lingkungan terjadi, ada banyak kasus kekerasan berbasis gender yang menimpa perempuan. Terdapat lebih dari 80 kasus yang nyata muncul dan menunjukkan berbagai keterkaitan dari hasil penelitian ini.

Kekersan berbagis gender termasuk di antaranya kekerasan domestik; pelecehan seksual dan pemerkosaan; pelacuran paksa; pernikahan paksa dan pernikahan anak; serta bentuk-bentuk eksploitasi perempuan lainnya.

Perdagangan Manusia

Laporan ini juga menemukan meningkatnya perdagangan manusia di area di mana lingkungan alam berada dalam kondisi rusak atau tertekan. Hal ini terkait dengan kekerasan berbagis gender dan kejahatan lingkungan seperti perburuan satwa liar dan pencurian sumber daya alam ilegal.

“Kekerasan berbasis gender adalah satu dari dampak yang paling meluas tetapi paling sedikit dibahas. Ini menjadi hambatan yang kita hadapi ketika membahas konservasi alam dan perubahan iklim. Kami butuh membuka penutup mata yang membutakan ini dan memberikan perhatian lebih banyak terkait dengan isu ini,” ujar Owern.

Owern menemukan banyak sekali contoh yang terkait antara kekerasan berbasis gender dengan eksploitasi perempuan dan anak-anak perempuan. Misalnya, kekerasan seksual yang ditemukan dalam industri perikanan ilegal di Asia Tenggara dan Afrika Timur serta Afrika Selatan. Para nelayan ditemukan menolak menjual hasil tangkapan ikan kepada perempuan jika mereka tidak mau melakukan hubungan seksual.

Terhimpit Bencana

Contoh lain datang dari Provinsi Nsanje, Malawi. Ntoya Sande baru berusia 13 tahun ketika dia dipaksa menikah karena keluarganya kekurangan makanan. Orang tua Ntoya Sande tadinya punya sebidang tanah kecil, tetapi banjir menyapu bersih panen mereka.

“Saya coba menawar, memberi tahu orang tua bahwa saya belum siap, bahwa saya tidak ingin menikah, tetapi mereka mengatakan bahwa saya harus melakukannya karena itu artinya berkurang satu mulut yang harus diberi makan,” katanya seperti dilansir DW dan dikutip Detik.

IUCN menyebut masih banyak kasus lain yang serupa. Direktur Jenderal IUCN menyebut penelitian ini menunjukkan kerusakan alam akibat ulah manusia juga dapat memicu kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

Aguilar mengatakan Malawi bukan satu-satunya tempat di mana anak di bawah umur dipaksa menikah untuk membantu keluarga yang terhimpit bencana iklim. Menurut penelitian tersebut, ketika terjadi musim panas esktrem, anak-anak perempuan di Etiopia dan Sudan Selatan juga dijual untuk dinikahkan dengan imbalan hewan ternak.

Pernikahan Paksa

Juliane Schmucker, Direktur Regional Asia sebuah organisasi kemanusiaan Plan International, mengatakan kasus pernikahan anak dan pernikahan paksa cenderung meningkat dalam situasi krisis.

“Ini hanyalah strategi bertahan hidup yaitu menyingkirkan seorang anak perempuan guna mengurangi tekanan [ekonomi] keluarga, atau itu satu-satunya cara untuk menghasilkan pemasukan,” kata Julia.

Semakin langkanya sumber daya air juga meningkatkan risiko perempuan dan anak perempuan menjadi korban kekerasan. Dengan meningkatnya frekuensi kekeringan dan meluasnya permukaan gurun di belahan Bumi bagian selatan, berarti semakin banyak pula sumber air dan sumur yang mengering. Sementara mengumpulkan air sering jadi pekerjaan perempuan.

Jika mereka terpaksa berjalan lebih jauh untuk mendapatkan air, risiko serangan seksual juga meningkat, terutama di daerah-daerah yang rawan kejahatan geng bersenjata. Risiko yang sama berlaku juga ketika mengumpulkan kayu bakar, kata Dirk Bathe, juru bicara organisasi bantuan internasional, World Vision.

“Itu sebabnya kami membangun sumur di desa-desa, atau di dekatnya, dan mencoba upaya reboisasi dengan menanam pohon di dekat pemukiman,” kata dia. Selain langkah tersebut, organisasi ini juga menyerukan perubahan peran gender tradisional.

Berdampak Dramatis

World Vision dan Plan International juga mengonfirmasikan hal lain dari penelitian ini. Di tempat-tempat di mana perempuan bertanggung jawab atas pertanian, bencana alam atau peristiwa cuaca ekstrem dapat berdampak dramatis terhadap status sosial dan keluarga mereka.

Jika panen terancam atau rusak sama sekali, ini dapat menyebabkan kekerasan yang seringnya berasal dari keluarga mereka sendiri.

“Diversifikasi sumber pendapatan adalah cara paling penting untuk melindungi perempuan. Jika kami membantu perempuan beradaptasi terhadap perubahan iklim dan meningkatkan pendapatan mereka, semua orang diuntungkan-termasuk anak-anak dan para lelaki,” kata Bathe.

Dalam Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dilakukan di Madrid, Desember 2019, pemerintah negera-negara di seluruh dunia dikritik tajam oleh para aktivis karena mengabaikan keadaan perempuan dan anak-anak atas ancaman yang mereka hadapi.

Sejumlah pemerintah kemudian telah bergerak untuk menyiapkan banyak agenda kebijakan yang fokus pada perempuan dan anak-anak yang terdampak perubahan iklim.

PBB pun tak tinggal diam menyiapkan rencana aksi gender sebagai bagian negosiasi iklim. Para aktivis lingkungan dan negara-negara anggota pun kini berharap pembahasan isu ini akan lebih fokus dilakukan pada pertemuan iklim PBB pada November nanti di Glasgow, Inggris.

Ditulis oleh : Maya Herawati/Salsabila Annisa Azmi

Sign up for the Newsletter

Join our newsletter and get updates in your inbox. We won’t spam you and we respect your privacy.