Selain kasus aborsi pada korban perkosaan, praktik ini semacam fenomena gunung es karena diprediksi ada 2 juta aborsi setiap tahunnya.
JEDA.ID–Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP secara tegas melarang praktik aborsi dan memasukkan kegiatan itu sebagai tindak pidana. Namun, aturan aborsi itu tidak berlaku untuk korban perkosaan.
Dalam KUHP saat ini, semua bentuk pengguguran kandungan dilarang. Namun, dalam UU Kesehatan juncto Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014, hal itu diperkecualikan. Aborsi dilakukan sepanjang ada alasan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan yang dialami korban perkosaan.
Dokter yang membantu korban perkosaan dalam proses aborsi juga tidak dipidana. “Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak dipidana,” sebagaimana tertulis di Pasal 471 ayat (3) seperti dikutip dari Detikcom, Selasa (3/9/2019).
RUU KUHP menyebutkan perempuan yang menggugurkan kandungan atau meminta orang lain menggugurkan kandungan akan dipidana maksimal 4 tahun. Hukuman akan diperberat menjadi maksimal 12 tahun penjara bila orang menggugurkan kandungan tanpa izin si ibu.
Pemerintah pun sejak awal 2019 tengah mempersiapkan layanan aborsi aman yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan. UU Kesehatan secara tegas mengatur tentang larangan praktik aborsi.
Namun, larangan aborsi dikecualikan apabila terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan dan kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma bagi korban.
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi juga mengatur tentang usia kehamilan yang diperbolehkan melakukan aborsi.
Menurut Pasal 31 peraturan tersebut, tindakan aborsi terhadap korban perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
”Perlu proses karena permasalahan tidak sederhana. Cakupan Indonesia juga sangat luas, tidak hanya Jakarta. Kami sedang menyiapkan peraturan yang lebih operasional. Untuk beberapa rumah sakit, terutama rumah sakit-rumah sakit pendidikan, sudah ada tim untuk melakukan aborsi aman yang terpadu, termasuk layanan konseling oleh psikolog dan psikiater,” kata Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Kirana Pritasari, sebagaimana dikutip dari Antara.
Keterangan Polisi
Pelayanan aborsi diatur secara mendetail dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.
Dalam peraturan menteri itu disebutkan pelayanan aborsi untuk indikasi kedaruratan medis dan korban perkosaan bisa dilakukan di puskesmas, klinik pratama, klinik utama, dan rumah sakit.
Namun, di tempat pelayanan kesehatan itu harus ada petugas kesehatan yang telah memiliki sertifikat untuk melakukan aborsi dalam kasus perkosaan dan indikasi medis.
Disebutkan juga ada aturan mengenai aborsi untuk korban perkosaan. Yaitu kehamilan akibat perkosaan harus dibuktikan dengan usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter.
Harus ada pula keterangan penyidik kepolisian, psikolog, dan atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
”Tindakan aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling pratindakan dan diakhiri dengan konseling pascatindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang,” sebagaimana tertulis di Pasal 19 auat (1) peraturan Menteri Kesehatan itu.
Selain kasus aborsi pada korban perkosaan, praktik ini semacam fenomena gunung es. Selama ini praktik aborsi diyakini menembus 2 juta kejadian dalam setahun.
Belum ada data yang pasti, namun dalam penelitian Guttmatcher Institute pada 2008 lalu meyakini ada 37 kasus aborsi untuk setiap 1.000 perempuan usia subur.
Mereka menyebut tidak semua praktik aborsi di Indonesia aman. Di perkotaan, aborsi dilakukan pelayanan medis mencapai 85% dan 15% di dukun bersalin. Sedangkan di perdesaan, dukun bersalin diestimasikan melakukan lebih dari empat perlima aborsi yang terjadi.
”Secara keseluruhan, hampir setengah dari semua perempuan yang mencari pelayanan aborsi di Indonesia lari pada dukun bersalin, dukun tradisional atau ahli pijat yang menggunakan cara pemijatan untuk menggugurkan kandungan,” sebagaimana tertulis dalam laporan Guttmatcher Institute.
Kematian Ibu
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengestimasikan bahwa aborsi yang tidak aman bertanggung jawab terhadap 14% dari kematian ibu di Asia Tenggara.
Namun, untuk negara-negara di Asia Tenggara dengan hukum aborsi yang sangat ketat, angka kematian ibu karena aborsi meningkat menjadi 16%, termasuk Indonesia.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 menyatakan 7 persen wanita umur 15-19 tahun sudah menjadi ibu yaitu 5 persen sudah pernah melahirkan dan 2 persen sedang hamil anak pertama.
”Ibu yang berumur remaja lebih berisiko untuk mengalami masalah kesehatan dan kematian yang berkaitan dengan persalinan dibandingkan dengan wanita yang lebih tua.”
Lembaga Demografi FEB Universitas Indonesia menyebutkan remaja rawan terhadap penyakit dan masalah kesehatan reproduksi. Mereka menyatakan kehamilan yang tidak direncanakan pada remaja perempuan dapat berlanjut pada aborsi dan pernikahan dini. Kedua risiko ini akan berdampak pada masa depan remaja tersebut, janin yang dikandung dan keluarga remaja tersebut.
Guttmatcher Institute mengingatkan tentang pentingnya informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas untuk remaja. Hal itu dapat membantu memberi pengertian tentang risiko yang berkaitan dengan hubungan seksual yang tidak aman. Ini diharapkan bisa mengurangi terjadinya aborsi tidak aman.