Pada kelompok remaja, perilaku seks pranikah semakin dianggap normatif dan tidak menjadi hal yang tabu lagi seperti dahulu.
JEDA.ID–Disertasi tentang seks tanpa nikah yang diulas Doktor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Abdul Aziz siap menjadi kontroversi. Tak jauh berbeda, berbagai penelitian lain yang mengangkat isu seks pranikah juga kerap menuai pro-kontra.
Aziz mengajukan disertasi berjudul Konsep Milk Al Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital dalam ujian terbuka di UIN Sunan Kalijaga, Rabu (28/8/2019).
Aziz mengatakan kriminalisasi dan stigma terhadap orang yang melakukan hubungan seks di luar nikah konsensual atau disetujui orang-orang yang terlibat menjadi latar belakang penyusunan disertasinya.
”Misalnya hukum rajam di Aceh sambil diarak, dan penggerebekan di ruang tertutup. Sebenarnya mereka tidak merugikan siapa pun. Itu [penggerebekan dan kriminalisasi] mengganggu hak asasi. Karena stigma, mereka jadi dikriminalisasi,” kata Aziz, Kamis (29/8/2019), sebagaimana dikutip dari Solopos.com.
Saat proses pembuatan disertasi, kampus sudah memperingatkan penelitiannya akan menjadi kontroversi. Sebagian rekan sejawat mengkritik dan menentang idenya, tetapi ada juga yang memberikan dukungan.
”Saya memutuskan tetap melanjutkan disertasi itu karena saya benar-benar miris oleh fenomena yang saya sebutkan tadi. Selain itu, hukum Islam sudah lama stagnan, pasti ada yang harus diperbaharui, ada dinamika. Saat diberitahu soal risiko akan kontroversial, saya tentu sudah mempersiapkan semuanya,” kata Aziz.
Aziz adalah staf pengajar di Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Dia menempuh pendidikan tinggi di IAIN Walisongo, IAIN Alauddin, dan UIN Sunan Kalijaga.
Disertasinya di UIN Sunan Kalijaga membicarakan hubungan seksual di luar nikah. Dalam disertasinya, Aziz mengemukakan pendapat yang menyatakan seks di luar nikah dalam batasan tertentu tak melanggar syariat.
Landasannya adalah konsep Milk Al Yamin yang ditafsirkan oleh Muhammad Syahrur, pemikir Islam kelahiran Damaskus, Suriah. Aziz mengatakan ulama seperti Imam asy Syafii dan Imam at Tabari memahami Milk Al Yamin sebagai hubungan seksual nonmarital dengan budak perempuan melalui akad milik.
Sementara, Syahrur bergerek lebih jauh. Dia menafsirkan ulang konsep Milk Al Yamin yang menjadi prinsip kepemilikan budak di awal Islam menjadi hubungan dua manusia.
Tak Benarkan Seks Bebas
Muhammad Syahrur, dalam disertasi Aziz, disebut menemukan 15 ayat Alquran tentang Milk Al Yamin. Dia melakukan penelitian dengan pendekatan hermeneutika hukum dari aspek filologi dengan prinsip antisinonimitas. Hasilnya, Milk Al Yamin tidak lagi berarti keabsahan hubungan seksual dengan budak.
Dalam konteks modern, konsep tersebut telah bergeser menjadi keabsahan memiliki partner seksual di luar nikah yang tidak bertujuan untuk membangun keluarga atau memiliki keturunan. Konsep Milk Al Yamin saat ini biasa disebut menikah kontrak dan samen leven atau hidup bersama dalam satu atap tanpa ikatan pernikahan.
Namun, Aziz menjelaskan dalam konsep Milk Al Yamin, Muhammad Syahrur tidak semata-mata membenarkan seks bebas. Ada berbagai batasan atau larangan dalam hubungan seks nonmarital, yaitu dengan yang memiliki hubungan darah, pesta seks, mempertontonkan kegiatan seks di depan umum, dan homoseksual.
Menurut Aziz, hubungan seksual marital nonmarital sejatinya adalah hak asasi manusia dan seksualitas yang dilindungi oleh agama dan pemerintah. Namun, dalam tradisi fikih islam, hanya hubungan seksual marital yang dipandang sebagai hubungan legal.
”Jika ditarik dalam masa kini, Indonesia tidak terbuka soal permasalahan seksualitas dibandingkan dengan negara lainnya. Padahal dampaknya sama. Bagaimana penyaluran hasrat manusia sebelum menikah? Siapa yang mau mengatasi masalah ini?”
“Indonesia tidak mau terbuka dan hanya mengkriminalisasi. Padahal Eropa ada pencatatan nikah, partnership, nikah mut’ah juga ada dan itu legal. Indonesia susah, akhirnya semua disembunyikan. Malah lebih bahaya,” kata Aziz di depan para penguji.
Namun, Milk Al Yamin ala Muhammad Syahrur bukan tanpa kelemahan. Aziz mengakui konsep tersebut problematis karena ada bias gender dalam hal pembatasan.
Dalam konsep tersebut, wanita yang sudah menikah tidak diperbolehkan melakukan Milk Al Yamin, sementara laki-laki boleh melakukannya. Selain itu, konsep itu dibuat hanya berdasar perspektif pria.
Para penguji disertasi pun menganggap konsep ini cukup problematis untuk dijadikan landasan hukum Islam baru. Ketika hukum tersebut dilaksanakan, ada celah perempuan akan menjadi korban yang paling menderita.
Salah satu penguji disertasi, Sahiron, mengatakan harus ada konteks masa kini yang menjadi percontohan pelaksanaan hukum Islam baru tersebut. Sahiron mengatakan dalam disertasi belum disebutkan subjektivitas Syahrur ketika menciptakan konsep tersebut. Padahal hal itu akan menjadi benang merah antara konsep yang digunakan dengan tujuan disertasi.
Kritik Disertasi
Sahiron mengatakan Syahrur mengenyam pendidikan master di Rusia. Sistem hukum perkawinan di Rusia atau Eropa melegalkan pria dan wanita dewasa hidup bersama dalam satu atap tanpa ikatan perkawinan.
”Tetapi setelah 10 tahun sistem hukumnya sama dengan suami istri. Setelah orang tua meninggal, anak dapat warisan. Apakah ini yang dimaksud Syahrur? Belum disebutkan. Pembaruan hukum Islam harus disertai percontohan. Itu pun pasti akan berbenturan dengan nilai dan sistem pernikahan di sini. Indonesia belum bisa mendukung,” kata Sahiron.
Penguji lainnya, Alimatul Qibtiyah, juga mengkritik pernyataan Aziz yang menyebut pemerintah bertanggung jawab atas penyaluran seksual remaja sebelum menikah. Alimatul kurang setuju hal tersebut dijadikan landasan untuk pembaruan hukum Islam.
”Berapa persen remaja yang tidak bisa mengelola seksualitas hingga menikah? Kalau mendekati seratus persen, mungkin ini [hukum baru Islam] adalah solusi. Tapi saya tidak yakin, masih banyak yang bisa mengendalikan hasratnya dengan berkegiatan yang lain,” kata Alimatul.
Data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 mengungkap sekitar 2 persen remaja wanita usia 15-24 tahun dan 8 persen remaja pria di rentang usia yang sama, telah melakukan hubungan seks pranikah. Sebanyak 11 persen di antaranya mengaku mengalami kehamilan tidak diinginkan.
Disebutkan perempuan kawin umur 25-49 tahun melakukan hubungan seksual pertama kali lebih dini (21,8 tahun) dibandingkan dengan pria kawin umur 25-49 tahun adalah 24,2 tahun.
Dalam SDKI 2017 disebutkan rata-rata umur pertama kali melakukan hubungan seksual pada perempuan yaitu 21,8 tahun mengindikasikan umumnya wanita kawin umur 25-49 tahun melakukan hubungan seksual kali pertama setelah perkawinan.
Sedangkan rata-rata kali pertama melakukan hubungan seksual pada pria yang 24,2 tahun sedikit lebih rendah dari median umur kawin pertama yaitu 24,6 tahun.
Kondisi ini mengindikasikan sebagian pria umur 25- 54 tahun melakukan hubungan seksual yang pertama kali sebelum perkawinan.
”Jawaban yang diperoleh dari pertanyaan tentang hubungan seksual pertama perlu digunakan secara hati-hati. Dalam masyarakat yang konservatif seperti Indonesia, responden yang telah melakukan hubungan seksual pranikah mungkin tidak melaporkan dengan tepat umur ketika melakukan hubungan seksual pertama kali,” sebagaimana tertulis di SDKI 2017.
Alasan Seks Pranikah
Berbagai alasan diungkap oleh para remaja terkait dengan hubungan seksual pranikah yang mereka lakukan seperti saling mencintai, rasa penasaran, terjadi begitu saja, dipaksa, butuh uang, hingga pengaruh dari teman atau lingkungan.
“Jumlah ini yang tercatat, bisa jadi di luar sana yang enggak terdata lebih banyak,” ujar Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) dari Kementerian Kesehatan, Tin Afifah, sebagaimana dikutip dari Detikcom.
Penelitian yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser Indonesia lewat mereka alat kontrasepsi Durex terhadap 500 remaja di lima kota besar di Indonesia menemukan, 33 persen remaja pernah melakukan hubungan seks pranikah.
Dari hasil tersebut, 58 persennya melakukan penetrasi di usia 18 sampai 20 tahun. Selain itu, para peserta survei ini adalah mereka yang belum menikah.
”Ini mencengangkan. Jadi kalau mengatakan bahwa edukasi seksual itu masih tabu, saya kira ini perlu menjadi suatu data yang perlu dipertimbangkan,” kata Helena Rahayu Wonoadi, Direktur CSR Reckitt Benckiser Indonesia dalam pemaparan survei di Jakarta pada Juli 2019 di Jakarta, sebagaimana dikutip dari Liputan6.com.
Helena menambahkan temuan ini seakan menunjukkan adanya urutan dari pengalaman seks yang diterima oleh para remaja di Indonesia. Kebanyakan dari peserta mendapatkan tanda pubertas pertama di usia 12 sampai 17 tahun.
Mereka menerima pendidikan seks di usia 14 sampai 18 tahun dan merasakan pengalaman seks pertama di usia 18 sampai 20 tahun.
Meski begitu, temuan ini mendapatkan kritik. Khususnya terkait hasil 33 persen yang diungkap dalam studi tersebut. ”Saya kira kita tidak bisa memegang ini sebagai angka prevalensi,” kata Rita Damayanti, Ketua Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia.
Komitmen Hubungan
Wahyu Rahardjo dan kawan-kawan dalam penelitian berjudul Perilaku Seks Pranikah pada Mahasiswa: Menilik Peran Harga Diri, Komitmen Hubungan, dan Sikap terhadap Perilaku Seks Pranikah yang dimuat di Jurnal Psikologi Volume 44 No. 2 2017 menyebutkan pada kelompok remaja, perilaku seks pranikah semakin dianggap normatif dan tidak menjadi hal yang tabu lagi seperti dahulu.
Dari penelitian itu disebutkan sekitar 11% responden mengaku pernah melakukan seks pranikah yang didominasi laki-laki. Mereka menyebut mahasiswa pria memiliki sikap yang lebih positif terhadap perilaku seks pranikah dibandingkan mahasiswa wanita.
”Tampak bahwa mahasiswa pria cenderung lebih bebas dalam melakukan perilaku seks pranikah dibandingkan mahasiswa wanita,” sebagaimana dikutip dari laman jurnal.ugm.ac.id.
Mereka menyebut komitmen hubungan asmara memiliki korelasi dengan perilaku seks pranikah dan usia. Semakin kuat komitmen hubungan, akan semakin permisif seks pranikah dilakukan. Semakin tua usia partisipan, akan semakin kuat komitmen hubungan dibangun.
”Berdasarkan hasil penelitian juga tampak bahwa hanya komitmen hubungan dan sikap terhadap perilaku seks pranikah yang memiliki pengaruh terhadap perilaku seks pranikah yang dilakukan mahasiswa. Sementara itu, yang menarik adalah bahwa ternyata harga diri tidak memiliki pengaruh langsung terhadap perilaku seks pranikah. Namun memiliki pengaruh langsung terhadap komitmen hubungan,”