Terkadang para komunitas gay ini memilih menjadi gay bukan untuk memenuhi orientasi dan hasrat seksual mereka.
JEDA.ID–R, 21, mengawali cerita saat dia masih kelas XI SMA. Kala itu, R mulai sadar jika menjadi gay. Cerita R berlanjut saat dia mulai bergabung ke grup-grup gay di bertebaran di media sosial.
R yang saat ini tinggal di Kota Solo mengaku awalnya merindukan perhatian dari kakak laki-lakinya. ”Saya suka sama laki-laki karena saya rindu perhatian kakak laki-laki saya,” cerita R kepada jeda.id, Rabu (31/7/2019).
Sejak kecil, orang tuanya tidak membebaskan dia bermain layaknya seorang anak laki-laki agar nilai di sekolah tidak turun. Hal itu terjadi setelah sebelumnya kakak R dikeluarkan dari sekolah karena kerap bermain Playstation.
Dia mengaku awal mulai tertarik dengan sesama laki-laki sejak kelas X SMA. Setelah itu, dia pun merasa punya ketertarikan yang kuat terhadap laki-laki.
”Mulailah saya masuk grup-grup gay yang awalnya saya tahu dari Facebook. Sejak itu saya merasa tidak sendirian ternyata banyak di luar sana orang-orang seperti saya. Hingga pada akhirnya saya juga masuk grup gay di daerah saya. Lambat laun saya merasa ingin memiliki pasangan laki-laki sendiri. Mulailah saya mencari pacar. Saya pacaran dengan adik kelas saya waktu itu,” kata dia.
Cerita gay ini berlanjut saat dia menempuh pendidikan tinggi. Lewat aplikasi gay dia menemukan kekasih hingga terlibat hubungan seks sesama jenis. R mengakui kala itu minim pengetahuan tentang seks aman sehingga tidak menggunakan alat kontrasepsi (kondom). ”Lalu kami berpisah dengan alasan saya terlalu mengekang,” imbuh dia.
Pengetahuan Seks Aman
Dia yang ikut dalam komunitas olahraga kemudian menjalin hubungan asmara dengan pelatihnya. Sejak saat itu, dia mengaku mendapatkan pengetahuan penggunaan ”pengaman” saat berhubungan badan.
Termasuk pengetahuan tentang potensi terkena HIV/AIDS bila tidak menggunakan ”pengaman”. Begitu pula saat R berganti memiliki kekasih baru lainnya selalu memilih menggunakan kondom saat berhubungan badan.
Cerita yang sama juga datang dari seorang gay berinisal A. Dia mengaku menjadi gay sejak kelas XI SMK. A mengaku terpesona dengan ketampanan dan ada juga pengaruh media sosial.
”Dorongan awal jadi gay karena dulu juga pernah bertengkar dengan teman yang suka dengan teman cewek saya. Setelah itu saya mengalah dan sudah malas berhubungan dengan cewek. Hingga suatu ketika saya bertemu dengan seorang teman yang gay,” kata dia.
Mulai saat itulah dia menjalin hubungan asmara dengan sesama laki-laki. Cerita berlanjut saat kontaknya di aplikasi pesan instan tersebar ke gay di luar kota dan akhirnya mereka menjalin hubungan asmara selama tiga bulan.
A pun mengakui awalnya tidak sadar tentang seks aman termasuk kadang tidak menggunakan ”pelindung”.
Winarsih dari UNS Solo dalam kajian berjudul Perilaku Seksual Gay Kaitannya dengan HIV/AIDS (Studi Deskriptif Kualitatif pada Komunitas Gay di Kota Surakarta) pada 2014 menyebutkan kebanyakan dari gay di Solo belum memahami sepenuhnya tentang HIV/AIDS seperti tes VCT, cara pencegahan, perilaku beresiko, cara penularan, ciri-ciri ODHA.
”Rentannya kehidupan gay dengan tertularnya HIV/AIDS membuat gay di Solo ini sangat berhati-hati dalam memilih pasangan. Sebelum menjalin hubungan yang diresmikan dalam sebuah status berpacaran, para gay ini selalu menanyakan terlebih dahulu riwayat kesehatan dan kehidupan seksualnya sebelum menjalin hubungan yang serius dengan mereka. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mencegah tertularnya virus HIV/AIDS,” sebut Winarsih sebagaimana dikutip dari laman jurnal.fkip.uns.ac.id, Kamis (1/8/2019).
Dia menyebut setidaknya komunitas gay di Solo sudah mengambil keputusan yang tepat bahwa setiap melakukan hubungan seksual selalu menggunakan kondom sebagai alat pengaman dari tertularnya HIV/AIDS.
Cek Kesehatan
Selain itu, kesadaran mengenai pentingnya untuk cek kesehatan atau cek darah untuk mengetahui status HIV/AIDS juga sudah muncul dalam diri komunitas.
Meski begitu, Winarsih menyebut terkadang para komunitas gay ini memilih menjadi gay bukan untuk memenuhi orientasi dan hasrat seksual mereka.
Sebab, mereka merasa nyaman dan ada kepuasan secara psikis disebabkaan adanya intervensi permasalahan dari pribadi, keluarga maupun lingkungan.
Jaringan Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-Ina) menyebutkan ada perbedaan antara gay, waria, dan laki-laki seks dengan laki-laki (LSL).
Pria gay umumnya mengidentifikasikan diri sebagai orang yang berorientasi seks sejenis dan berpenampilan sebagai lelaki. Waria mengidentifikasi dan mengekspresikan diri sebagai perempuan. Sedangkan LSL, orang tidak dengan jelas mengidentifikasikan diri dan bisa merupakan seorang biseksual.
Jaringan GWL-Ina merupakan salah satu wadah para gay, waria, dan LSL (GWL) di Indonesia. Mereka fokus dalam pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan terhadap infeksi menular seksual (IMS) dan HIV dan AIDS.
Mereka menyebut jika tidak ada intervensi penanggulangan HIV di kelompok GWL, separuh penularan HIV akan berada di kalangan tersebut pada 2020.
Berdasarkan Laporan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2015 yang dilakukan Kementerian Kesehatan menyebut kelompok LSL memiliki prevalensi HIV meningkat tajam 2,5 kali dibandingkan hasil STBP sebelumnya.
Kelompok LSL memiliki proporsi pendidikan tinggi dan proporsi pengetahuan komprehensif tentang paham benar terhadap pencegahan HIV tertinggi dibandingkan dengan kelompok berisiko lainnya.
Pengetahuan komprehensif tentang paham benar terhadap pencegahan HIV meningkat sekitar 2,3 kali dari STBP 2011 yang turun setengahnya dari STBP 2007. Usia rata-rata LSL sekitar 30 tahun dengan kisaran usia antara 17-68 tahun.
Sedangkan untuk waria, Kemenkes menyebut memiliki prevalensi HIV yang meningkat (bertambah 3%) dibandingkan hasil STBP sebelumnya. Mereka rata-rata berusia 36 tahun, berpendidikan menengah, dan hampir 90 % waria belum menikah dan umumnya lebih memilih hidup sendiri.