Konflik gubernur dengan bupati atau wali kota bisa bermula dari masalah pribadi sampai benturan kewenangan dalam melaksanakan kebijakan.
JEDA.ID–Perseteruan antara Gubernur Sumatra Utara Edy Rahmayadi dengan Bupati Tapanuli Tengah Bakhtiar Ahmad Sibarani terus bergulir. Silang pendapat antara Edy dengan Bakhtiar itu menjadi cerita berulang konflik gubernur dengan bupati atau wali kota. Yang membedakan hanya aktornya saja.
Konflik antara gubernur dengan bupati atau wali kota yang berulang menjadi potret bagaimana desentralisasi dan otonomi daerah yang sudah berjalan lebih dari satu dekade masih memiliki pekerjaan rumah (PR) besar.
Konflik yang melibatkan Edy dengan Bakhtiar bermula saat Gubernur Sumatra Utara menyentil kepemimpinan Bakhtiar sebagai Bupati Tapanuli Tengah. Edy menyoroti kemiskinan di kabupaten itu.
”Waktu saya mau jadi gubernur, dibawa saya sama sukarelawan ke Tapanuli Tengah. Begitu saya masuk ke sana, orang miskin semua. Enggak jadi saya kampanye,” kata Edy di Kantor Gubernur Sumatra Utara di Medan, Selasa (17/12/2019), sebagaimana dilansir dari Detikcom.
Rencana kampanye itu dibatalkan dengan dengan makan bersama. Edy kemudian menilai kinerja Bakhtiar tidak memuaskan. ”Tak cocok jadi bupati, gimana tak miskin rakyatnya? Tak ada sayangnya sama rakyat, kok ia jadi pemimpin?” tutur Edy.
Kepala Daerah Menyamar, Jadi Orang Lumpuh hingga Kernet
Bupati Tapanuli Tengah Bakhtiar Ahmad Sibarani menantang balik Edy dengan meminta menyampaikan data bukan berdasarkan sentimen pribadi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatra Utara penduduk miskin di Tapanuli Tengah pada 2018 mencapai 13,17%.
Persentase penduduk miskin di kabupaten itu menurun dibandingkan 2017 yang mencapai 14,66%. Bila dibandingkan dengan dengan kabupaten/kota lain di Sumatra Utara, persentase penduduk miskin di Tapanuli Tengah bukan yang terbaik, namun juga yang terburuk.
Kabupaten/kota di Sumatra Utara dengan tingkat kemiskinan tinggi ada di Nias Barat dengan 26,72%, Nias Utara,56%, Gunungsitoli 18,44%, dan Nias Selatan 16,65%.
Sedangkan daerah dengan tingkat kemiskinan paling sedikit ada di Deli Serdang dengan 4,13%, Binjai 5,88%, dan Padangsidempuan 7,69%. Secara keseluruhan, pesrentase penduduk miskin di Sumatra Utara yaitu 9,22% pada 2018.
”Gubernur kalau bicara harus sesuai data, jangan karena sentimen terhadap saya,” kata Bakhtiar saat dihubungi, Rabu (18/12/2019).
Berbalas Komentar
Dia menantang Edy untuk membuat survei yang bisa menunjukkan apa yang sudah dilakukan Edy sebagai Gubernur terhadap Sumut dan apa yang sudah dilakukan dirinya sebagai Bupati di Tapanuli Tengah.
”Di Tapanuli Tengah kami sudah berbenah, silakan dicek, infrastruktur sudah ratusan miliar rupiah kami bangun. Rumah sakit sudah kami bangun. Bahkan yang menjaga pasien sakit diberi makan tiga kali sehari secara gratis. Saya yakin Provinsi Sumatera Utara belum melakukan ini,” jelas Bakhtiar.
Dia membalas kritikan Edy dengan menyebut mantan Ketua Umum PSSI itu memberikan arahan bukan sekadar marah-marah. Pernyataan Bakhtiar itu dibalas Edy dengan menyatakan tidak akan membantu Bupati Tapanuli Tengah selama masih dijabat Bakhtiar, namun akan langsung menemui rakyat.
Edy menepis bila terlibat konflik dengan Bakhtiar. Dia mengibaratkan gubernur sebagai seorang ayah dan bupati dan wali kota seperti anak.
”Tetapi, setiap saya panggil saya undang untuk membicarakan pembangunan tidak pernah datang. Bayangkan kalau Anda tidak pernah datang ke tempat orang tua Anda, jangankan dapat sesuatu, doa pun tidak dikabulkan oleh Tuhan,” imbuh dia.
Ketika Menteri dan Kepala Daerah Berseteru
Bakhtiar menyatakan undangan dari Edy hanya undangan seremonial sehingga dia memilih bertemu dan menyurus masyarakat. ”Silakan buka APBD, sampai sekarang tidak ada bantuan keuangan provinsi ke kabupaten kami dari Pak Edy. Jadi ngapain saya datang kalau cuma dengar pidato, cakap-cakap,” kata Bakhtiar.
Konflik antara Edy dengan Bakhtiar ini mirip degan konflik Bibit Waluyo dengan Sukawi Sutarip beberapa tahun lalu. Ketika itu, Bibit Waluyo menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah dan Sukawi Sutarip sebagai Wali Kota Semarang.
Perseteruan keduanya bermula dari kritikan Bibit terhadap lambatnya perkembangan Kota Semarang. Kritik ini tidak mengenakkan bagi Sukawi. Sukawi kemudian mengganti Sekda Kota Semarang Soemarmo secara mendadak tanpa persetujuan Bibit selaku gubernur.
Tindakan Sukawi ini dinilai tidak memenuhi prosedur. Konflik keduanya ditengarai buntut dari Pilgub Jawa Tengah pada 2008 karena keduanya sama-sama ikut kompetisi.
Minim Sikap Kenegarawanan
Kejadian serupa juga pernah terjadi di Kalimantan Barat beberapa waktu lalu. Kala itu, Cornelis yang menjadi Guberbnur Kalimantan Barat tidak segera mengeluarkan rekomendasi mengenai Rencana RTRW Kabupaten Sintang. Hubungan Cornelis dengan Bupati Sintang kala itu Milton Crosby dinilai krang harmonis juga terkait pilgub.
”Pola hubungan konfliktual yang demikian menunjukkan minimnya sifat kenegarawanan kepala daerah yang tidak memikirkan kemaslahatan masyarakat luas, tetapi lebih didorong oleh ego pribadi,” sebut Mardyanto Wahyu Tryatmoko, peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Mardyanto dalam kajian berjudul Relasi Kekuasaan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota: Studi Kasus Bali, Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah yang dikutip dari laman LIPI, Kamis (19/12/2019), menyatakan ada empat pola konflik gubernur dengan bupati atau wali kota.
Pertama, ”pembangkangan” bupati atau wali kota terhadap instruksi gubernur. Gubernur merasa tidak mendapatkan ”penghormatan” dari bupati/wali kota. Dalam konteks pemerintahan, provinsi kesulitan melakukan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan terhadap kabupaten/kota.
Kedua, konflik terjadi saat ada benturan kewenangan antara gubernur dan bupati dan wali kota ketika menjalankan suatu kebijakan. Konflik kebijakan (kewenangan pemerintahan) ini terjadi ketika ada persinggungan wilayah kerja provinsi dan kabupaten/kota dalam melaksanakan suatu kebijakan tertentu.
Kepala Daerah Korupsi, Monopoli Kekuasaan Sampai Diskresi
Pola ini pernah terjadi di Solo yang melibatan Jokowi yang ketika itu menjadi Wali Kota Solo dengan Bibit Waluyo sebagai Gubernur Jateng. Mereka sempat beda pendapat mengenai eks pabrik es Saripetodjo di Purwosari, Laweyan, Solo, yang akan dijadikan mal.
Pemprov Jateng merasa berhak mengelola bekas pabrik es itu karena merupakan aset provinsi. Sedangkan Pemkot Solo menolak karena tidak sesuai perda yang mengatur tentang jarak pasar tradisional dan pasar modern.
Ketiga, konflik antara gubernur dengan bupati atau wali kota lantaran dampak dari persaingan politik yang tidak fair. Persaingan politik seringkali muncul dari proses-proses pemilihan gubernur secara langsung dan dalam proses-proses pemekaran daerah otonom.
Keempat, konflik mencuat setelah ada hubungan yang tidak harmonis antara gubernur dan bupati dan wali kota lantaran persoalan personal (perseteruan pribadi). Konflik yang sifatnya personal ini kemudian memengaruhi hubungan kekuasaan antarkepala daerah.
Pemerintah Galau
Dia menyebut ada banyak faktor yang memengaruhi konflik antara gubernur dengan bupati atau wali kota. Dia menyatakan persoalan di hulu adalah kegalauan pemerintah dalam menentukan format desentralisasi dan otonomi daerah untuk Indonesia
Bangunan desentralisasi dan otonomi daerah pasca-Orde Baru tampak mengandung pola federal daripada mumi model kesatuan. Hal yang paling terlihat adalah tidak adanya hierarki pemerintahan daerah, sedangkan tidak ada supervisi langsung pemerintah pusat terhadap kabupaten/kota.
”Dalam praktiknya, hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota tidak hierarkis, tetapi dipaksa untuk harmonis dalam bentuk kerja sama. Dengan demikian, formatnya cenderung menunjukkan pelaksanaan cooperative federalism. Satu hal lagi yang menunjukkan penyimpangan sistem kesatuan adalah adanya pengaturan tugas pembantuan yang tidak saja dari pemerintah pusat ke provinsi, kabupaten/kota, dan desa, tetapi juga dari provinsi (daerah otonom) ke kabupaten/kota (daerah otonom),” sebut dia.
Bergaji Rp5,9 Juta, Ini 5 Bupati Terkaya di Indonesia
Selain itu, lembaga-lembaga di daerah cenderung menangkap esensi desentralisasi sebagai otonomi politik (devolusi) semata sehingga setiap level pemerintahan merasa bebas menolak intervensi dari pemerintah level lainnya.
Dia menyatakan hubungan otonomi yang “setara” antara gubernur dan bupati/wali kota ditambah kompetisi politik yang terbuka di antara mereka sangat rentan menimbulkan konflik personal yang akan berdampak pada pelaksanaan pemerintahan selanjutnya.
Bila konflik antara gubernur dengan bupati atau wali kota tidak mereda atau terselesaikan, masyarakat dan pembangunan daerah yang menjadi korban. Mereka akan fokus kepada konflik dan kepentingan sempit, sedangkan masyarakat tidak mendapatkan pelayanan optimal.