• Thu, 25 April 2024

Breaking News :

Akar Konflik Muslim Uighur di Xinjiang China

Xinjiang secara strategis penting bagi China, karena berbatasan dengan delapan negara, yakni Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India.

JEDA.ID – Eskalasi pembahasan konflik yang melibatkan etnis Muslim Uighur di Xinjiang China meningkat terutama setelah heboh pernyataan pesepakbola Arsenal, Mesut Ozil. Konflik ini sebenarnya telah berlangsung lama dan berlarut-larut. Beredarnya cerita dari banyak versi membuat publik bingung.

Ozil menulis pernyataan di akun media sosial mendukung etnis minoritas Uighur di China. Ozil merasa terpanggil sebagai Muslim. Dalam pernyataan tersebut, Ozil juga menyebut etnis Muslim Uighur sebagai “East Turkistan”.

“[Di China] Alquran dibakar, masjid ditutup, sekolah-sekolah teologi Islam, madrasah dilarang, cendekiawan agama dibunuh satu per satu. Meski begitu, umat Islam tetap diam,” kata Ozil dalam sebuah unggahan di akun Twitter dan Instagram-nya.

 

Lihat postingan ini di Instagram

 

#HayırlıCumalarDoğuTürkistan 🤲🏻

Sebuah kiriman dibagikan oleh Mesut Özil (@m10_official) pada

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang langsung merespons. Menurutnya Ozil dianggap tidak tahu situasi sebenarnya di wilayah tersebut.

Pemerintah China menyebut gelandang Arsenal Mesut Ozil telah dibutakan oleh beberapa berita serta kata-kata palsu terkait konflik etnik Uighur. China mengaku bersedia mengundang sang pemain untuk mengunjungi Xinjiang agar dapat membedakan yang benar dan salah.

Katanya, selama 2,5 tahun terakhir, China telah menahan hingga dua juta warga Uighur yang mayoritas adalah Muslim.

“Saya dapat mengatakan kepadanya Xinjiang China saat ini menikmati stabilitas politik, pembangunan ekonomi, persatuan nasional, keharmonisan sosial dan orang-orang hidup serta bekerja dalam damai,” kata Shuang dalam jumpa pers hariannya, dilansir di CNN, Senin (16/12/2019).

Dandhy Laksono, Aktivis Sosial di Balik “Sexy Killers” yang Jadi Tersangka

Etnis Uighur

Mengutis History.com, Rabu (18/12/2019) Warga Uighur adalah kelompok etnis minoritas yang sebagian besar beragama Islam, dan terutama berbasis di wilayah Xinjiang, di barat laut China.

Mereka cenderung memiliki lebih banyak kesamaan budaya dengan orang-orang di negara-negara Asia Tengah dibandingkan etnis Han di China. Bahasa mereka terkait dengan bahasa Turki dan juga memiliki kesamaan dengan bahasa Uzbek, Mongol, Kazakh, dan Kyrgyz.

Islam adalah bagian penting dari identitas mereka. Sebagian besar mempraktekkan bentuk moderat dari ajaran Sunni, dan beberapa meneladani aliran Sufi. Lebih dari itu, orang Uighur cenderung memiliki lebih banyak ciri fisik Mediterania dibandingkan karakteristik Han China.

Sensus penduduk China pada 2010 menempatkan jumlah penduduk Uighur, berada lebih dari 10 juta jiwa, yakni kurang dari 1 persen dari total populasi Negeri Tirai Bambu. Meski begitu, mereka adalah kelompok etnis terbesar di wilayah otonomi Xinjiang.

Sebagian besar etnis Uighur tinggal di wilayah otonomi Xinjiang, yang merupakan wilayah terluas di China.

Xinjiang secara strategis penting bagi China, karena berbatasan dengan delapan negara, yakni Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India.

Hingga saat ini, penduduk Xinjiang didominasi oleh orang Uighur, tetapi masuknya etnis Han ke wilayah itu, kian memicu ketegangan di antara kedua kelompok.

Piagam Madinah: Lompatan Besar Pemikiran Modern

Sejarah Konflik

Sebelum mengurutkan cerita jauh ke awal mula perselisihan, mari melihat apa yang terjadi di Xinjiang pada bulan yang sama di tahun lalu. Beredar kabar sikap represif pemerintah komunis China telah menangkap sekitar 1 juta warga muslim untuk digelandang ke dalam kamp khusus yang lebih mirip penjara.

Konflik Rakhine akibat diskriminasi pemerintah Myanmar terhadap ras Rohingya mendorong sentimen negatif terhadap perlakuan yang dialami etnis Uighur. Muncul kecurigaan, pemerintah China melakukan hal yang sama, diskriminasi etnis, ke suku Uighur.

Apa yang sekarang dikenal sebagai Xinjiang berada di bawah kekuasaan China sejak Abad ke-18. Wilayah ini mengalami periode kemandirian yang singkat di tahun 1940-an, tetapi Beijing kembali mendapat kontrol ketika Komunis mengambil alih kekuasaan pada 1949.

Di wilayah Xinjiang bermukim sejumlah suku asli yakni Uighur, Khazak, Hui, Tajik, Uzbek dan Tartar yang seluruhnya memeluk Islam. Sedangkan etnis Han, Khalkhas, Mongol, Xibe, Manchu, Rusia, dan Daur memeluk keyakinan lain atau bahkan tidak sama sekali.

Islam menyebar di wilayah itu melalui jalur perdagangan dan penaklukan. Pada masa lampau, Xinjiang berada di bawah kepemimpinan penguasa yang berganti-ganti.

Mereka pernah dipimpin oleh Kekaisaran Uighur Khaganate pada sekitar abad ke-8 hingga 9 Masehi. Namun, istilah orang Uighur belum lazim digunakan dan mereka kerap dijuluki “Orang-orang Turkic”. Pusat kotanya disebut Urumqi.

Kemudian, Panglima Perang Uzbek, Yakub Beg memimpin rakyat setempat melawan Dinasti Qing, tetapi berhasil ditaklukkan. Pada 1874 wilayah itu diambil alih dan namanya diubah menjadi Xinjiang, yang artinya “Batas Baru”.

Heboh Palestina Hilang Lagi di Google Maps, Begini Penjelasannya

Gerakan Separatis

Peneliti dari Universitas Ohio, Blaine Kaltman, menjelaskan sejak lama, kelompok separatis Uighur mengklaim bahwa wilayah tersebut adalah wilayah Turkestan Timur, bukan bagian dari China.

Menurut Blaine sebagaimana diuraikan di buku Under the Heel of the Dragon: Islam, Racism, Crime, and the Uighur in China, nasib malang suku Uighur berawal saat perang dunia pecah. Saat itu warga Xinjiang, termasuk Uighur, berusaha bergabung dengan Soviet.

Namun, usaha mereka tak berhasil karena pasukan nasionalis kiriman Beijing akhirnya kembali memaksa warga Uighur bertahan dalam wilayah kedaulatan RRC pada 1949.

Sejak itu, warga Uighur dicap punya kecenderungan “memberontak” oleh petinggi di Beijing. Kebijakan ekonomi China yang mengutamakan etnis Han makin memperburuk suasana.

Gerakan separatis tersebut dipimpin oleh organisasi-organisasi militan Islamis Turkic. Pergerakan yang paling terkenal adalah gerakan kemerdekaan Turkestan Timur melawan pemerintahan nasional di Beijing.

Pada 1933 sampai 1934 meletus pemberontakan melawan pemerintah China. Mereka dibantu oleh Uni Soviet, yang bertujuan mengambil alih wilayah itu untuk bersatu dengan mereka. Pergolakan itu melahirkan Republik Islam Turkestan Timur yang hanya berumur satu tahun.

Mereka kemudian habis digilas pasukan Hui dari Divisi 36 Tentara Merah China, yang tunduk kepada Mao Tse Tung. Mereka menggunakan etnis Hui yang juga Muslim untuk melawan kelompok separatis. Sisa-sisa pemberontak kabur ke wilayah pegunungan.

Pemberontakan kembali terjadi pada 1940-an, yang berhasil membangkitkan Republik Turkestan Timur (1944-1949). Lagi-lagi pergolakan ini dibantu oleh Uni Soviet yang ketika itu dipimpin mendiang Joseph Stalin.

Ketika Partai Komunis China menang dalam perang sipil dan menumbangkan Dinasti Qing pada 1949, wilayah Xinjiang kembali diambil alih.

Namun, para pentolan pemberontak menolak istilah Uighur untuk merujuk etnis mereka. Mereka lebih suka dianggap sebagai suku Turkic. Mereka juga menolak disamakan dengan etnis Hui, meski sama-sama memeluk Islam.

Hal itu bisa dimengerti karena perawakan etnis Muslim Uighur berbeda dari Han atau Hui. Paras dan perawakan mereka lebih condong ke arah Eurasia. Sebagian ada yang terlihat sipit, sedangkan lainnya mirip orang Eropa.

Awal Mula Munculnya Slogan Ganyang Malaysia

Dituduh Radikal

Mao Tse Tung lantas menetapkan status kawasan itu sebagai kawasan otonomi. Namun, ternyata mereka perlahan-lahan mengirim etnis Han ke wilayah itu dan kemudian beranak pinak hingga jumlahnya dua kali lipat dari etnis Uighur.

Etnis Uighur sempat bisa bernapas sedikit lega ketika masa kepemimpinan Deng Xiaoping pada akhir Perang Dingin. Pemerintah memberi mereka keleluasaan untuk beribadah dan mengaktualisasikan diri serta merawat budaya. Lagi pula ketika itu Uni Soviet sudah berantakan dan China tidak khawatir penduduk setempat akan kembali bergolak.

Sayangnya “bulan madu” itu tak berlangsung lama setelah kelompok radikal Islam bangkit, dipelopori oleh Al Qaidah. China kembali bersikap keras terhadap etnis Uighur karena dianggap rentan terpapar radikalisme. Sebab, sejumlah kelompok perwakilan etnis Uighur dianggap tidak sejalan dengan pemerintah China.

Organisasi yang menjadi target China adalah Kongres Uighur Dunia (WUC) dan Gerakan Kemerdekaan Turkestan Timur (ETIM). Yang terakhir bahkan dianggap sebagai kelompok teroris oleh China.

Pemerintah China juga dikabarkan memberi perlakuan berbeda terhadap etnis Uighur, ketimbang Hui yang sama-sama Muslim. Suku Hui dibebaskan berpuasa saat Ramadan, bebas berhaji, beribadah secara berjemaah dan membangun masjid. Sedangkan bagi orang Uighur justru sebaliknya.

Dengan gelombang kelompok radikal seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang dikhawatirkan tersebar di kalangan Uighur, pemerintah China wajar jika merasa cemas. Meski sampai saat ini belum ada data pasti berapa jumlah etnis Uighur yang bergabung dengan ISIS.

Alasan itulah yang digunakan pemerintah China membangun kamp khusus untuk etnis Uighur. Mereka berdalih mendidik kembali suku Uighur supaya tidak bergolak di masa mendatang.

Satu-Satunya di Dunia, Ini Negara Diawali Huruf O

Dicurigai Lantas Dibatasi

Jean A. Berlie dalam bukunya Islam in China: Hui and Uyghurs Between Modernization and Sinicitazion (2009) menguraikan konflik panjang ini membuat pemerintah China menaruh rasa curiga pada suku Uighur. Mereka dianggap ingin melepaskan diri dari RRC. Ditambah lagi muncul isu diskriminasi dari lembaga Human Right Watch yang mengatakan lebih dari 10 juta suku Uighur dipersulit untuk membuat paspor.

Jika warga Han dengan mudah melenggaang ke luar negeri, petugas imigrasi mewajibkan mereka menyerahkan puluhan dokumen serta wawancara untuk memeriksa ideologi politik mereka.

Akibat diskriminasi tersebut, bangsa Uighur menyerang balik bangsa Han. Sasaran utamanya adalah para aparat dari etnis Han.

Serangan paling keras terjadi pada Januari 2007. Diperkirakan ada 18 suku Uighur ditembak mati dengan tuduhan bergabung dengan jaringan teroris internasional.

Bahkan ada kabar serangan militer ke beberapa kampung yang dituding sebagai sarang teroris. Namun, hal itu dibantah oleh birokrat Partai Komunis yang masih berkuasa di China.

Dunia internasional menuduh China mengintensifkan tindakan kerasnya terhadap orang-orang etnis Muslim Uighur menjelang Olimpiade Beijing pada 2008, tetapi ketegangan meningkat secara dramatis pada 2009.

Kerusuhan terjadi pada tahun itu di ibu kota daerah, Urumqi, dan para pejabat China mengatakan sekitar 200 orang terbunuh, sebagian besar dari mereka adalah etnis Han. Beijing berpendapat bahwa tindakan keras diperlukan untuk menghentikan penyebaran sentimen separatis.

Ketegangan meningkat lagi pada 2016, ketika seorang sekretaris baru partai kala itu, Chen Quanguo, berkunjung ke Xinjiang, untuk menetapkan kebijakan garis keras yang serupa terjadi sebelumnya di Tibet.

Sejak itu, kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh China sengaja menempatkan satu juta orang Uighur di kamp-kamp pengasingan.

China mengatakan telah menempatkan Uighur di “pusat pendidikan kejuruan” untuk menghentikan penyebaran ekstremisme agama, dan untuk menghentikan gelombang serangan teroris.

Namun, kritik terlanjur meluas terhadap kebijakan China, yang mengatakan tindakan tersebut bertujuan untuk menghancurkan identitas Uighur.

Ditulis oleh : Jafar Sodiq Assegaf

Sign up for the Newsletter

Join our newsletter and get updates in your inbox. We won’t spam you and we respect your privacy.