Para penyintas menunjukkan beragam gejala neurologis seperti kelelahan, masalah memori, gangguan tidur, mialgia diikuti depresi atau kecemasan.
JEDA.ID-Sejumlah laporan menunjukkan bahwa para penyintas Covid-19 masalah neurologis. Masalah neurologis ini menjadi tantangan bagi penyintas dan penyedia terapi pengobatan.
Tips kesehatan kali ini membahas mengapa para penyintas Covid-19 bisa mengalami masalah neurologis. Dalam periode pandemi yang masih berlangsung hingga kini, dokter dan peneliti telah menemukan beberapa manifestasi pasca-covid. Banyak pasien mengalami gejala dan sindrom neurologis sebagai dampak jangka panjang dari Covid-19.
Dilansir dari News-Medical dan bisnis.com, Rabu (6/1/2021) sebuah studi longitudinal yang diterbitkan di server pracetak medRxiv, menemukan bahwa sepertiga dari penderita infeksi Covid-19 memiliki manifestasi neurologis jangka panjang setelah dirawat di rumah sakit.
Negara Kaya Pun Terlilit Utang hingga Rp183 Kuadriliun
Para penyintas menunjukkan beragam gejala neurologis seperti kelelahan, masalah memori, gangguan tidur, mialgia diikuti depresi atau kecemasan, gangguan pengelihatan, tremor, anosmia, dan hilangnya indera penciuman.
Kelompok penelitian melibatkan 165 sampel pasien yang selamat dari Covid-19, yang dinilai ulang sesuai dengan protokol klinis terstruktur dan terstandarisasi. Pasien-pasien ini diperiksa enam bulan setelah keluar dari Unit Covid-19 Rumah Sakit Sipil ASST Spedali, di Italia, antara Februari dan April 2020.
Tim yang melakukan tindak lanjut 6 bulan setelah pasien dirawat inap dan menemukan bahwa mereka menderita kelelahan (34 persen), masalah memori / perhatian (31 persen), dan gangguan tidur (30 persen), ini merupakan gejala yang paling sering dialami.
Setelah pemeriksaan neurologis, para peneliti menemukan bahwa pasien menunjukkan kelainan neurologis, defisit kognitif, hiposmia (penurunan indra penciuman), dan tremor postural, yang paling umum.
Diobservasi bahwa pasien yang melaporkan gejala neurologis adalah yang dipengaruhi oleh parameter infeksi SARS-CoV-2 pernapasan yang lebih parah selama rawat inap.Pasien dengan tingkat keparahan penyakit tinggi melaporkan keluhan memori dan gangguan penglihatan.
Kenali Gejala Penyakit Tipes Sebelum Terlambat
Tim menemukan bahwa kelainan neurologis dikaitkan dengan usia yang lebih tua, indeks komorbiditas pra-morbid yang lebih tinggi, BCRSS (Skala Keparahan Pernafasan Brescia-Covid-19) yang lebih buruk, durasi rawat inap yang lebih lama, dan jumlah gejala neurologis yang lebih tinggi dilaporkan.
Studi ini mendukung bukti sebelumnya tentang konsekuensi jangka panjang Covid-19 yang melibatkan sistem saraf pusat dan perifer. Penyakit ini dasarnya adalah penyakit pernapasan. Namun, pemeriksaan lebih dekat mengungkapkan banyak organ dan fungsinya terganggu karena infeksi tersebut.
Ketika pandemi telah berlangsung 1 tahun, para ilmuwan masih terus mempelajari tentang virus dan penyakit misterius itu. Studi terbaru menunjukkan bahwa Covid-19 tidak bertanggung jawab secara langsung atas kerusakan otak.
Penyakit Pernapasan
Sebagaimana diketahui, virus corona sebagian besar adalah penyakit pernapasan tetapi penderitanya seringkali melaporkan sakit kepala, delirium, disfungsi kognitif, pusing, kelelahan, dan hilangnya indera penciuman. Semua ini merupakan tanda masalah neurologis.
Dilansir dari Express UK, Selasa (5/1) ara ahli dari National Institutes of Health (NIH) Inggris melakuan pemeriksaan mendalam terhadap 19 orang yang meninggal akibat virus corona antara Maret dan Juli 2020 untuk menganalisa bagaimana penyakit itu dapat memengaruhi otak.
Ini Cara Cek Vaksin Gratis dari Pemerintah
Dari analisis tersebut, para peneliti menemukan bahwa meskipun Covid-19 tidak secara langsung berdampak pada otak, dampak yang ditimbulkannya pada sistem kekebalan dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
Awalnya, diduga bahwa kerusakan otak disebabkan oleh kekurangan oksigen, seperti yang biasanya terjadi pada penyakit pernapasan, tapi kenyataannya tidak demikian. Dalam sampel yang diperiksa, ilmuwan menemukan ciri kerusakan yang disebabkan oleh penipisan dan kebocoran pembuluh darah otak.
Para peneliti menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) berkekuatan tinggi yang hingga 10 kali lebih sensitif daripada pemindai MRI normal untuk memeriksa umbi penciuman dan batang otak dari setiap pasien.
Pemindaian tersebut mengungkapkan bahwa kedua bagian otak dihiasi dengan titik terang, yang disebut hiperintensitas – yang merupakan tanda peradangan dan bintik hitam – dan hipointensitas, yang menunjukkan perdarahan.
Analisis kemudian mengungkapkan bahwa titik terang tersebut mengandung pembuluh darah yang lebih tipis dari biasanya dan terkadang protein darah bocor. Pemindaian juga tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit di otak.
Respons Peradangan Tubuh Terhadap Virus
Direktur klinis di National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) NIH dan penulis senior studi tersebut, Avindra Nath, mengatakan bahwa mereka menemukan otak pasien yang tertular infeksi dari SARS-CoV-2 mungkin rentan terhadap kerusakan pembuluh darah mikrovaskuler.
Simak Nih Trik Manuver Agar Terhindari dari Laka Karambol
“Hasil kami menunjukkan bahwa ini mungkin disebabkan oleh respons peradangan tubuh terhadap virus. Kami berharap hasil ini akan membantu dokter memahami spektrum lengkap masalah yang mungkin diderita pasien sehingga kami dapat memberikan perawatan yang lebih baik,” katanya.
Dia mengatakan bahwa penelitian ini membuat para peneliti terkejut. Awalnya, mereka memperkirakan akan melihat kerusakan yang diakibatkan oleh kekurangan oksigen, tetapi mereka justru melihat area kerusakan multifokal yang biasanya terkait dengan stroke dan penyakit peradangan saraf.
Selanjutnya, para peneliti berencana untuk mempelajari bagaimana Covid-19 merusak pembuluh darah otak dan apakah itu menghasilkan beberapa gejala jangka pendek dan jangka panjang yang kami terlihat pada gejala pasien virus corona.