• Fri, 29 March 2024

Breaking News :

Potret Konsumsi Daging Babi di Indonesia

OECD pada 2019 menyebut konsumsi per kapita daging babi lebih tinggi dibanding daging sapi.

JEDA.ID–Sepekan sekali Sandro berwisata kuliner olahan daging babi. Hampir semua olahan daging babi disukainya. Banyaknya warung makan yang menyediakan daging babi di kota tempat tinggalnya membuat dia terpuaskan saat wisata kuliner.

”Daging babi memiliki tekstur yang empuk dan rasanya enak. Rasanya itu enggak bikin mual seperti danging sapi dang kambing,” kata Sandro yang kini tinggal di Kota Solo, kepada jeda.id, beberapa waktu lalu.

Pengalaman yang sama dirasakan Kevin yang juga tinggal di Solo. Banyaknya warung makan yang menjual aneka masakan olahan babi membuat laki-laki ini rutin mengonsumsi babi. Olahan babi kecap yang harganya sekitar Rp15.000 paling disukainya.

Data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019 menyebut konsumsi per kapita daging babi lebih tinggi dibanding daging sapi.

OECD menyebut konsumsi per kapita daging babi di Indonesia mencapai 2,4 kilogram (kg) atau naik dibandingkan 2018 yang 2,3 kg. Sedangkan daging sapi pada 2018 dan 2019 tetap 1,8 kg.

Jenis daging yang paling banyak dikonsumsi penduduk Indonesia menurut OECD adalah unggas. Pada 2019, konsumsi per kapitanya mencapai 7,1 kg. Jenis daging yang jarang dikonsumsi adalah domba yaitu hanya 0,3 kg per kapita. Data OECD ini mengacu ke OECD Agriculture Statistics: OECD-FAO Agricultural Outlook (Edition 2018).

Bagaimana bila dibandingkan dengan negara lain? Di Malaysia, konsumsi daging babi mencapai 6 kg per kapita dan Thailand 10,8 kg per kapita. Sedangkan di Pakistan konsumsi daging babi tercatat 0 kg. Hal yang sama juga terjadi di Iran dan Mesir yang penduduknya mayoritas muslim. Untuk Turki tercatat 0,1 kg per kapita.

Data BPS

Data berbeda disajikan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian. Dalam Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2018 disebutkan konsumsi daging babi di Indonesia pada 2017 hanya 0,261 kg per kapita. Sedangkan daging sapi 0,469 kg.

Yang paling tinggi adalah daging ayam ras yaitu 5,683 kg. Sedangkan yang paling kecil adalah daging kambing yang hanya 0,052 kg per kapita. Data tersebut berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS.

Pedagang daging babi di Pasar Gede Kota Solo, Topo, menyebut dalam sehari bisa menjual sekitar 60 kg. Mayoritas pembelinya adalah restoran yang menjual olahan babi. ”Harganya Rp60.000 per kilo. Saya dapat daging ini dari peternaknya langsung dan mudah juga mencarinya,” kata Topo.

Babi diolah menjadi berbagai macam menu makanan seperti satai, bakso kuah, babi saus madu, babi asam manis, siobak, charsiu, babi kecap, sosis babi, hingga nasi goreng.

daging babi

Ilustrasi produksi daging babi (Freepik)

Siobak merupakan babi panggang putih dengan tekstur yang krispi dan berkuah. Charsiu atau babi panggang merah diolah dengan cara dipanggang dan diberi bumbu seperti barbekyu.

”Sehari bisa menghabiskan sekitar 15-20 kg untuk hari biasa. Bisa lebih dari 20 Kg untuk akhir pekan. Sehari pelanggan yang datang bisa mencapai 100 orang. Menu yang paling sering dipesan adalah siobak, charsiu, dan nasi goreng,” kata Ari, koki di Kedai Pignik, warung makan yang menjual olahan babi di Solo.

Ekspor Babi

Kementerian Pertanian mencatat populasi babi di Indonesia pada 2018 mencapai 8,5 juta ekor dengan populasi terbanyak di Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu 2,1 juta ekor.

Jumlah babi yang dipotong dan tercatat menembus 2 juta ekor pada 2018. Terbanyak berada di Sumatra Utara dengan 385.758 ekor dan Bali 368.413 ekor.

Untuk urusan produksi, daging babi hanya kalah dari daging sapi. Produki daging sapi pada 2018 sekitar 496.302 ton dan daging babi sekitar 327.215 ton. Indonesia pun bisa dibilang surplus daging babi.

“Indonesia berpeluang melakukan ekspansi ternak babi hingga ke pasar global, karena jumlah ternaknya tergolong surplus,” ujar Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan I Ketut Diarmita.

“Data Statistik Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2018 menunjukkan sejak 2006, Indonesia telah surplus ternak babi hampir satu juta ekor dalam setahun. Prospek ini dapat mengantar Indonesia untuk melakukan ekspansi ke pasar global karena permintaan juga cukup tinggi,” jelas Ketut.

Ketut menyebut dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), hambatan perdagangan berkurang untuk itu surplus produk harus didorong ke arah ekspor sebagai bagian peningkatan devisa negara.

Dia berharap agar pengembangan sub sektor peternakan, utamanya usaha ternak babi dan kerbau dapat terus berkembang di masyarakat sehingga dengan sendirinya pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan angka kemiskinana di desa akan menurun.

Ditulis oleh : Ardea Ningtias Yuliawati/Akhdan Fahmi/Danang Nur Ihsan

Sign up for the Newsletter

Join our newsletter and get updates in your inbox. We won’t spam you and we respect your privacy.