Sejak 2015 sampai awal 2019 ada 28,9 ton daging celeng ilegal yang diproses hukum.
JEDA.ID–Seekor babi hutan menyerang empat orang warga Banyumas, Jawa Tengah, satu di antaranya meninggal akibat serangan ini. Meski babi hutan atau celeng kerap dianggap hama, komoditas daging celeng sudah diekspor ke luar negeri.
Celeng sering diburu warga karena kerap menjadi hama pertanian dan perkebunan. Di Jawa Tengah, jumlah babi hutan masih tinggi untuk daerah eks Karesidenan Banyumas yang dikelilingi perbukitan zona Serayu Utara dan Gunung Slamet sebagai hulunya.
Celeng merupakan mangsa utama harimau dan macan. Sayangnya, berkurangnya habitat harimau dan macan berimbas pada melonjaknya habitat babi hutan yang terkenal cepat berkembang biak dengan jumlah anak yang banyak.
Rusaknya rantai makanan, mau tidak mau, memaksa manusialah yang menjadi predator utama celeng . Para pemburu pun tak segan masuk hutan untuk mencari keberadaannya.
Salah satu pemburu asal Purbalingga mengaku sering mendapatkan permintaan berburu dari para petani yang memiliki lahan di tepi hutan. Dia mengaku hasil buruan biasanya untuk konsumsi pribadi. Daging celeng disajikan dalam bentuk rica-rica dan satai.
Permintaan dari pemasok pun kerap datang, namun dia dan kelompoknya enggan menjual hasil buruan. ”Hampir setiap hari ada pasokan, babi hutan satu ekor ukuran besar dijual Rp300.000-Rp400.000, kecil Rp200.000. Jika sudah potongan per kilonya daging sekitar Rp15.000,” ujar dia sebagaimana dikutip dari Liputan6.com.
Peredaran daging celeng secara ilegal bukan cerita baru. Daging ini diperdagangkan secara ilegal di berbagai tempat. Ada yang dijual secara utuh berupa daging babi hutan. Ada yang dijual secara oplosan dengan daging lain untuk kepentingan pembuatan sosis hingga bakso.
Data dari Badan Karantina Pertanian (Barantan) Kementerian Pertanian (Kementan) selama kurun empat tahun sejak 2015 sampai awal 2019, ada 28,9 ton daging celeng ilegal yang diproses hukum.
”Sebenarnya, ini tidak bisa dicegah, tapi harus kami atur dan awasi sehingga tidak menimbulkan keresahan. Ini tugas bersama,” tutur Agus Sunanto, Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani Barantan, sebagaimana dikutip dari karantina.pertanian.go.id.
Penghasil Terbesar
Menurut Agus, lalu lintas daging ini tidak dapat dihindarkan mengingat adanya penawaran dan permintaan. Pemerintah kemudian mengatur lalu lintasnya sehingga menimbulkan ketenangan bagi masyarakat yang tidak mengonsumsinya. Bengkulu, Prabumulih, dan Banyuasin, di Sumatra adalah beberapa daerah penghasil terbesar.
Ketika lalu lintas daging celeng di dalam negeri diawasi, Kementan mengenjot ekspor daging celeng. Hal tersebut karena adanya permintaan dari negara lain seperti Vietnam. “Pada November 2017 kita sertifikasi ekspor daging celeng sebanyak 26,4 ton ke Vietnam, kami juga akan manfaatkan peluang ini,” ujar dia.
Pada 2018 lalu, Karantina Pertanian Palembang mencatat ekspor daging celeng ke Vietnam mencapai 26,3 ton senilai Rp2 miliar. Pada 30 Mei 2019, ekspor kembali dilakukan dengan tujuan Vietnam. Jeroan daging celeng seberat 8 ton senilai Rp240 juta dikirim melalui Pelabuhan Boom Baru, Palembang.
Kepala Karantina Palembang Bambang Hesti menyatakan ekspor akan terus digenjot untuk menekan peredaran daging celeng ilegal di dalam negeri.
”Peluang ekspor ke negara dengan masyarakat tertentu ini cukup terbuka. Perlu kerja sama semua pihak agar permasalahan ini dapat teratasi. Bahkan, bisa menjadi nilai tambah dengan pasar ekspor bagi pengepulnya,” kata Bambang sebagaimana dikutip dari Antara.