• Sat, 23 November 2024

Breaking News :

Korupsi ”Receh” Berujung 214 Kepala Desa Jadi Tersangka

Rata-rata satu kasus korupsi di desa memiliki kerugian negara Rp387,5 juta.

JEDA.ID–Peningkatan anggaran dana desa dari tahun ke tahun diikuti dengan naiknya kasus korupsi di desa. Dalam dua tahun terakhir, 2017-2018, korupsi di desa menduduki rangking pertama kasus korupsi di desa.

Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam Tren Korupsi 2018 yang dikutip dari laman antikorupsi.org, terdapat 96 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara Rp37,2 miliar. Jumlah korupsi di desa memang paling banyak dibandingkan dengan sektor lainnya seperti pemerintahan, pendidikan, dan transportasi.

Dengan 96 kasus korupsi dan nilai kerugian negara Rp37,2 miliar, rata-rata satu kasus korupsi di desa memiliki kerugian negara Rp387,5 juta. Ini berbeda dengan korupsi di sektor pemerintahan yang rata-rata kerugian negaranya 5,03 miliar untuk satu kasus.

Sektor pemerintahan berada di urutan kedua untuk jumlah kasus korupsi yaitu 57 kasus dengan kerugian negara Rp287 miliar. Hal yang sama terjadi sektor pendidikan yang berada di urutan ketiga dengan 53 kasus. Rata-rata kerugian negara tiap kasus yaitu Rp1,22 miliar.

”Sektor yang paling rawan dikorupsi yakni anggaran desa yang meliputi Anggaran Dana Desa [ADD], Dana Desa [DD], Pendapatan Asli Desa [PADes],” sebut ICW dalam laporan itu.

Sinyal peningkatan kasus korupsi di desa diendus ICW sejak 2015 lalu saat dana desa mulai bergulir. Pada 2015, ICW mencatat hanya ada 17 kasus korupsi di sektor desa. Jumlah itu kemudian melambung pada 2016 menjadi 48 kasus.

ICW mengingatkan peningkatan korupsi dana desa karena korupsi dari sektor ini berada di urutan ketiga di bawah sektor keuangan daerah dan pendidikan. Korupsi dana desa pada 2016 bila dirata-rata per kasus kerugian negaranya Rp216,67 juta.

”Meskipun nilai kerugian negara yang timbul baru sebesar Rp10,4 miliar, namun naiknya angka korupsi dana desa menjadi sinyal adanya sumber daya publik baru yang rawan dikorupsi oleh aparat desa,” sebut ICW dalam laporan Tren Korupsi 2016.

Problem Mendasar

Peringatan ICW itu terbukti pada 2017. Korupsi di anggaran desa menduduki peringkat pertama dengan 98 kasus dan kerugian negara Rp39,3 miliar. Pada 2017, rata-rata kerugian negara korupsi di anggaran desa adalah Rp401,02 juta. Bila dirata-rata, nilai kerugian negara di sektor anggaran desa ini tergolong ”receh” dibandingkan sektor lainnya seperti pemerintahan Rp4,64 miliar per kasus atau transportasi Rp18,94 miliar/kasus.

”Korupsi di desa, utamanya yang menyangkut anggaran desa, merupakan salah satu problem mendasar. Problem ini lahir karena pengelolaan anggaran yang besar namun implementasinya di level desa tidak diiringi prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam tata kelola politik, pembangunan, dan keuangan desa,” sebut ICW.

korupsi dana desa

Kampanye antikorupsi di Nganjuk, Jawa Timur (Antara)

Kian meningkatnya kasus korupsi di desa menjadikan kepala desa yang terseret kasus korupsi bertambah. Selama 2015-2018, ICW mencatat ada 214 kepala desa yang menjadi tersangka kasus korupsi. Perinciannya, 2015 ada 15 kepala desa, 2016 ada 32 kepala desa, 65 kepala desa pada 2017, dan menjadi 102 kepala desa pada 2018. Selain kepala desa, puluhan aparatur desa lainnya juga terseret korupsi.

”Beragam modus dilakukan oleh para aktor korupsi di desa, diantaranya praktik penyalahgunaan anggaran sebanyak 51 kasus, penggelapan 32 kasus, laporan fiktif dengan 17 kasus, kegiatan/proyek fiktif 15 kasus, dan penggelembungan anggaran sebanyak 14 kasus,” kata ICW saat mereview kasus korupsi di desa periode 2015-2017.

ICW meminta korupsi di sektor desa merupakan catatan negatif yang tidak boleh lepas dari pembahasan evaluasi kebijakan pemerintah untuk desa. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa desa yang diharapkan menjadi subjek pembangunan saat ini menjadi ladang baru korupsi.

Utamakan Pencegahan

Kepala Biro Hukum dan Tatalaksana Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Undang Mugopal mengatakan pengawasan dana desa mengutamakan asas pencegahan. Hal ini merujuk pada penemuan adanya penyimpangan dana desa yang terjadi akibat minimnya pemahaman kepala desa tentang sistem administrasi keuangan negara.

”Ternyata dari beberapa penyaluran dana desa ada potensi terjadinya penyimpangan. Yang pertama itu kesalahan karena kelemahan administrasi keuangan. Hampir 60 persen kepala desa tidak berpendidikan tinggi. Dia belum paham bagaimana mengadministrasikan keuangan ini. Jadi tidak ada kesengajaan, karena ketidaktahuan,” ujar dia sebagaimana dikutip dari laman kemendes.go.id.

Undang membagi penyalahgunaan dana desa ke dalam dua faktor, yakni berdasarkan faktor ketidaksengajaan dan kesengajaan. Faktor ketidaksengajaan seperti terjadinya kesalahan pada proses perencanaan, kesalahan dalam penyusunan laporan, dan kesalahan dalam penyusunan spesifikasi pekerjaan.

Sedangkan faktor unsur kesengajaan seperti membuat rancangan anggaran di atas harga pasar, mempertanggungjawabkan pembiayaan proyek sumber dana lain kepada anggaran dana desa, membuat proyek fiktif, dan sebagainya.

”Yang ada unsur kesengajaan ini masuk ke dalam tindak pidana korupsi. Tapi kita ingin adanya pencegahan. Bagaimana caranya agar kepala desa tidak terkena pidana. Tapi kalau sudah dibina masih ada unsur kesengajaan ya sudah bagaimana?” kata dia.

Ditulis oleh : Danang Nur Ihsan

Sign up for the Newsletter

Join our newsletter and get updates in your inbox. We won’t spam you and we respect your privacy.