Lebih dari 30% kecelakaan lalu lintas berkaitan dengan faktor kecepatan yang menyebabkan angka kematian dan social cost yang tinggi.
JEDA.ID–Kecelakaan maut di tol Cipularang, Purwakarta, Jawa Barat, Senin (2/9/2019), menjadi perhatian karena melibatkan 21 kendaraan dan menyebabkan 8 orang meninggal. Wacana yang kemudian mengemua adalah evaluasi aturan batas kecepatan di tol.
”Saat ini teknologi kendaraan semakin bagus. Jadi mungkin bisa kita sesuaikan dengan aturan apabila sudah diperlukan,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi dalam jumpa pers di Jakarta sebagaimana dikutip dari Antara.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. 111/2015 tentang Tata Cara Penetapan Batas Kecepatan disebutkan batas kecepatan di jalan tol adalah minimal 60 km/jam dan maksimal 100 km/jam.
Aturan ini tentu disesuaikan dengan kondisi di tiap-tiap ruas jalan tol. Sehingga batas kecepatan di tol berbeda-beda, namun tetap dalam rentang yang sama yaitu 60 km/jam dan 100 km/jam.
Bagaimana dengan kebiasaan orang Indonesia memacu mobil mereka di tol? Rizki Intan Mauliza dan Tania Bonia Sabrina dari Institut Teknologi Nasional Bandung serta Wahyu Maulana dari PT Properindo Jasatama melakukan kajian tentang kecepatan kendaraan di tol.
Mereka memfokuskan penelitian di tol Cipularang, seperti lokasi kecelakaan beruntun yang merenggut 8 nyawa. Dalam kajian berjudul Pelanggaran Kecepatan Kendaraan pada Ruas Jalan Tol Cipularang yang dimuat di Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Bandung edisi Maret 2019 disebutkan semakin tinggi kecepatan, risiko yang ditimbulkan bila terjadi kecelakaan juga semakin tinggi.
Menurut National Highway Traffic Safety Administration, lebih dari 30% kecelakaan lalu lintas berkaitan dengan faktor kecepatan. Hal ini menyebabkan angka kematian dan social cost yang tinggi. Mereka menyebut jalan tol memang merupakan jalan dengan tingkat kecepatan laju yang tinggi.
”Pada situasi tertentu, pada jalan tol dengan medan menanjak/menurun yang cukup panjang, mendekati ramp, rest area, atau gerbang tol ada rambu. Ini mengharuskan kendaraan yang tak mampu mencapai tingkat kecepatan rendah yang ditentukan oleh pihak jalan tol,” sebut mereka sebagaimana dikutip dari laman Itenas Bandung.
Rumble Strip
Mereka menyatakan tol Cipularang yang menghubungkan Cikampek-Bandung sepanjang 54 km berada di pegunungan sehingga jalannya naik turun dan juga mempunyai banyak jembatan yang panjang dan tinggi.
Dalam penelitian itu, mereka mewawancarai Badan Penyelenggara Jalan Tol (BPJT) terkait lokasi rawan pelanggaran batas kecelakaan. Lokasi rawan pelanggaran batasan kecepatan biasanya berhubungan dengan kondisi geometri yang menurun seperti km 82-88 arah Jakarta dan km 122-km 125 arah Jakarta.
Dalam kecelakaan beruntun di tol Cipularang pada Senin, peristiwa nahas itu terjadi di km 91 arah Jakarta. Di lokasi ini, disebutkan ada peraturan pembatasan kecepatan yaitu rumble strip atau biasa dikenal dengan pita penggaduh agar kendaraan yang melintas mengurangi kecepatan.
”Pemasangan rambu pembatasan kecepatan disebabkan pernah terjadi kecelakaan pada segmen tersebut walaupun tidak semua kecelakaan tersebut diakibatkan karena pelanggaran batasan kecepatan,” sebut BPJT dalam kajian itu.
Dalam penelitian itu, kecepatan mobil di tol Cipularang sangat beragam. Misal di km 93+400 arah Jakarta, rata-rata mobil melaju dengan kecepatan 89 km/jam. Sedangkan truk hanya melaju denagn kecepatan 61 km/jam.
Di km 88+200 arah Jakarta, mobil biasanya melaju sampai 97 km/jam. Di lokasi lainnya di km 97 arah Bandung, mobil biasanya dipacu sampai kecepatan 107 km/jam. Sedangkan bus melaju dengan kecepatan 85 km/jam dan truk 66 km/jam.
Mereka menyimpulkan kecepatan rata-rata terendah untuk mobil, truk dan bus untuk tipologi tikungan dan turunan berturut-turut 57 km/jam, 32 km/jam, dan 52 km/jam. Kecepatan tertinggi adalah mobil 94 km/jam (tikungan tanjakan), truk 70 km/jam (tikungan turunan), dan bus 86 km/jam (awal jalan tol).
”Secara keseluruhan didapatkan bahwa rata-rata kecepatan kendaraan mobil penumpang sebesar 88 km/jam, truk 62 km/jam dan bus 72 km/jam. Hal ini menunjukan terdapat pelanggaran batas kecepatan maksimum untuk kendaraan mobil penumpang dengan persentase yang tinggi atau kecepatan rata-rata lebih dari 80 km/jam,” sebut mereka.
Beda Kecepatan
Penelitian lain dilakukan Tri Basuki Joewono dari Universitas Katolik Parahyangan dan Kiagoes Moehammad H.N. Nugraha serta dan Zelina Alviana, keduanya dari Universitas Kristen Maranatha dalam kajian berjudul Estimasi Ekivalensi Mobil Penumpang Berdasarkan Data Kecepatan pada Jalan Tol.
Mereka menyebutkan rata-rata kecepatan kendaraan untuk tol luar kota adalah 88 km/jam. Sedangkan kecepatan kendaraan di tol dalam kota adalah 66 km/jam.
”Hasil studi ini mendukung temuan yang dilaporkan dalam berbagai literatur bahwa data kecepatan mengikuti distribusi peluang kontinyu,” sebut mereka.
Pendiri dan Instruktur Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu mengatakan rata-rata pengguna jalan tol Cipularang menggeber kendaraannya lebih dari batas kecepatan maksimal.
”Ketika kecelakaan Saipul Jamil, saya bersama rekan-rekan wartawan melakukan investigasi di satu titik pada tempat almarhumah istrinya Saipul Jamil kecelakaan itu. Saya sangat kaget dengan perilaku pengemudi di situ. Rata-rata, bersama tim Jasa Marga di situ, dikawal dengan mobil patroli. Kita membawa speed detector atau speed gun, kita lihat rata-rata pengendara larinya 100 km/jam padahal kecepatan maksimum adalah 80 km/jam,” ucap Jusri sebagaimana dikutip dari Detikcom.
Tidak hanya kendaraan penumpang, Jusri menemukan fakta lain ketika mengamati tol Cipularang di sekitar km 90 tersebut. Pengemudi dengan kendaraan besar seperti truk yang membawa barang pun demikian.
Mereka tidak menggunakan engine brake ketika memasuki turunan. Bahkan banyak sopir truk yang memosisikan persneling netral saat turunan itu.
“Perilaku mengemudi itu menjadikan faktor utama dari penyebab kecelakaan. Sedangkan faktor lain seperti lingkungan, infrastruktur, kemudian pengemudi lain itu adalah faktor kontributor. Kita sebagai pengemudi tidak bisa mengelola itu,” kata Jusri.
Kasus di Jerman
Masalah pembatasan kecepatan mobil di tol mengemuka di Jerman pada awal 2019. Di negara itu, kendaraan yang melaju di jalur tol Jerman bergerak dari batas kecepatan 100 km per jam hingga kecepatan tak terhingga tergantung dari kemampuan kendaraan.
Kecuali, jika ada keterangan jalan yang menyatakan jalan tersebut sedang diperbaiki. Atau informasi lain yang membuat kecepatan kendaraan harus dibatasi.
Dalam survei lembaga penelitian opini publik Emnid yang dirilis menyebutkan mayoritas warga Jerman menyetujui pemberlakuan batas kecepatan maksimum di jaringan jalan bebas hambatan Jerman, Autobahn. Sebanyak 52 persen responden menyatakan setuju pembatasan kecepatan antara 120 dan 140 kilometer per jam, 46 persen menyatakan menentang.
Namun Menteri Perhubungan Andreas Scheuer bersikeras menolak. Scheuer mengatakan sekitar 30 persen jalan tol di Jerman sudah memiliki batas kecepatan karena berbagai alasan. Namun, pengendara mobil harus punya kebebasan menentukan sendiri kecepatan mobil yang mereka kendarai.
“Prinsip kebebasan terbukti bisa menjamin keamanan. Siapa pun yang ingin mengemudi dengan kecepatan 120 [kilometer per jam] dapat mengemudi dengan kecepatan 120. Siapa pun yang ingin mengemudi lebih cepat diizinkan untuk melakukan itu juga,” tandas dia.
Wacana yang mengemuka adalah kecepatan dibatasi menjadi 130 km/jam. Salah satu alasan tol di Jerman bisa dilintasi dengan kecepatan tinggi adalah kualitas jalannya.
Jalan tol di sana menggunakan bahan kualitas wahid. Selain itu, biaya pemeliharaan untuk menjaga da memelihara jaringan infrastruktur transportasi di Jerman, setiap tahunnya mencapai 6,5 miliar euro.