Kondisi sosial kemasyarakatan pun tidak bisa dimungkiri. Perempuan perokok kerap dicap sebagai anak nakal.
JEDA.ID–Tatapan mata sinis sampai cibiran membayangi perempuan perokok ketika mereka merokok di ruang terbuka. Mereka seakan menjadi perokok kelas dua yang kerap dihakimi dengan berbagai stigma.
Bagi sebagian kalangan, perempuan merokok kerap dianggap sebagai hal tabu. Nasib perempuan perokok ini jauh berbeda dengan laki-laki perokok. Seperti ada permakluman ketika laki-laki merokok. Kondisi ini mungkin tidak lepas dari populasi perempuan perokok yang sedikit.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat 1,2% perempuan adalah perokok aktif. Bandingkan dengan laki-laki yang mencapai 47,3% merupakan perokok aktif.
”Perempuan merokok akan diamati terus menerus. Seperti hal itu jarang dilakukan di depan umum. Menurut saya perlakuan yang kurang baik atau kurang sopan saya alami seperti itu. kalau selebihnya seperti ditegur sih, belum pernah,” ujar Ayu, 21, warga Kota Solo kepada jeda.id, Kamis (22/8/2019).
Ayu adalah perokok aktif. Bermula dari coba-coba saat kelas VIII SMP, Ayu keterusan merokok hingga kini. Perempuan ini kini menghabiskan 5-6 batang rokok sehari.
Namun, hal itu tergantung kondisi. Bila sedang berada di rumah, dia tidak merokok. Saat bepergian bersama teman-teman, Ayu menghabiskan satu bungkus rokok bersama koleganya. ”Kalau pas bete tinggal keluar rumah terus cari hiburan sambil merokok. Bikin pikiran berubah.”
M, 21, warga Kota Solo yang kini menjadi mahasiswi di Jakarta harus membaca situasi dan tempat agar ”aman” untuk merokok. Saat pulang di kampung halamannya di Solo, dia harus tahu betul kapan waktunya merokok dan tidak merokok.
Dia tidak akan merokok di tempat yang ramai, banyak orang tua dan anak kecil. Tidak pula di pinggir jalan yang terlihat oleh banyak orang.
Dia menyebut budaya di kampung halamannya masih dipegang teguh. Perempuan merokok sebagai hal tabu pun seperti menjadi standar budaya yang turun-temurun.
”Kecuali kalau saya balik Jakarta, itu cuek banget ya. Kadang minjem korek sama bapak-bapak. Dan ya sudah biasa saja. Mungkin lebih dimaklumi kali ya. Dan menganggap itu sudah hal biasa. Sekalipun mungkin bisa muncul stigma-stigma di antara mereka,” ujar M.
Perempuan Perokok Tak Situasi
Sebagai perempuan perokok, M tahu betul harus bagaimana memosisikan diri khususnya di lingkungan yang belum dikenal. Rasa sungkan selalu muncul dan kadang muncul pikiran bahwa orang akan menganggap buruk perempuan merokok.
Namun, dia tidak pernah memikirkan stigma orang terhadap perempuan yang merokok. ”Enggak ada waktu juga harus mikirin isi kepala orang lain satu-satu. Asal ya jangan sampai menilai diri saya hanya dari saya merokok atau enggak,” ujar dia.
”Apalagi yang persoalannya enggak nyambung kayak ya ‘kali dia cumlaude, dia kan ngerokok’ kan enggak nyambung dan ganggu. Kalau sudah kayak gitu baru kayaknya cocok untuk dikomentari. Kalau sekadar stigma-stigma mah, bodo amat sih,” lanjut dia.
M mulai mengenal rokok pada semester I saat kuliah di Jakarta. Gara-garanya ada peristiwa yang membuatnya terguncang. Tiba-tiba pikirannya tertuju untuk merokok. ”Ya memang goblok sih bisa kepikiran untuk merokok dengan dalih bisa membantu,” kata dia.
Kini dia menjadi perokok aktif dengan konsumsi 3-6 batang sehari. Konsumsi rokok tergantung situasi karena pernah juga tidak merokok saat berada di lingkungan yang tidak memungkinkannya untuk merokok.
Namun, saat dia sibuk banyak tugas kuliah, M bisa menghabiskan hampir sebungkus rokok isi 16 batang. Berdasarkan data Riskesdas 2018, perempuan yang menjadi perokok aktif rata-rata menghabiskan sekitar 8 batang rokok perhari.
Seperti Ayu dan M, Riskesdas 2018 menyebut perempuan perokok kali pertama merokok paling banyak saat berusia 15-19 tahun dan 20-24 tahun. Sebanyak 28,5% perempuan perokok mengaku kali pertama merokok pada usia 15-19 tahun dan 22,9% mengaku pertama merokok pada 20-24 tahun.
Jenis rokok yang sering dikonsumsi perempuan perokok adalah rokok kretek yaitu 58,8%, rokok putih 37,2%, 14,9% rokok linting, rokok elektrik 2,4%, dan sisha 2,4%.
Keluarga Tidak Tahu
Cerita lain datang dari N, 22, mahasiswi asal Boyolali yang mengaku sudah merokok sejak SMP. Dia sangat berhati-hati saat merokok sehingga keluarga dan masyarakat sekitar rumahnya tak mengetahui bila dia adalah seorang perokok aktif.
Perempuan ini hanya berani merokok saat bersama dengan tempan-teman atau secara sembunyi-sembunyi di rumah. Dia mengaku menjadi perokok tidak lepas dari lingkungan keluarganya yang sebagian besar perokok. Seperti ketiga kakaknya. Begitu juga lingkungan kampus yang sebagian teman-temannya juga perokok.
”Kalau pandangan masyarakat pastinya negatif. Tetapi balik lagi, selagi saya nyaman, saya tetap melakukannya. Karena menurut saya, saya nyaman. Dan karena itu jati diri saya,” ujar N.
L, 19, mahasiswo asal Solo yang kini menjadi perokok aktif mengaku awal mula merokok karena ingin membentuk suara yang sedikit berat dan serak.
”Karena basic saya kan vokalis. Saya pengen membentuk suara kayak sedikit berat dan serak-serak gitu. Eh, malah keterusan sampai sekarang,” kata dia.
Seperti perempuan perokok lainnya, dia kerap dilihat dipandang sinis gara-gara merokok. Namun, dia memilih tidak memerdulikan hal itu. Selama saat merokok tidak melanggar aturan, dia akan merokok.
”Pada dasarnya gini ya. Aku enggak nyalahin orang punya mindset negatif terhadap saya karena saya perokok. Yang jelas saya tetap menjaga attitude saat di luar. Dan enggak nyenggol mereka. Menurut saya merokok sah-sah saja. Semua itu kan pilihan orang masing-masing ya,” tandas L.
Lauren, 20, mahasiswa di Jogja, mengaku ibunya adalah perokok aktif. Dia menganggap hal tersebut sebagai hal yang wajar dan biasa. Dia pun menyebut ibunya hanya merokok di dalam rumah karena takut dipandang sebelah mata oleh lingkungan sekitarnya.
Perempuan Perokok Terus Bertambah
Koordinataor Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Tembakau, Deni Wahyudi, sebagaimana dikutip dari laman Anadolu Agency, aa.com.tr, menyebut selama lima tahun belakangan jumlah perempuan perokok meroket 4 kali lipat.
Jika pada 1995 atau 20 tahun lalu dari setiap 100 orang perempuan, 4 di antaranya adalah perokok. Pada 2016 dari 100 orang perempuan Indonesia, 7 di antaranya adalah perokok aktif. ”Tahun 2016, diperkirakan 6,3 juta perempuan di Indonesia yang merokok,” kata Deni.
WHO menyebut 22% perempuan di negara maju dan 9% perempuan di negara berkembang rutin merokok setiap hari. Menurut Khotimatul Susanti, Ketua Bidang Kemasyarakatan Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah data kematian dini perempuan akibat rokok juga tergolong tinggi. Yakni 47% dari 600.000 kematian.
Kondisi sosial kemasyarakatan pun tidak bisa dimungkiri. Perempuan yang merokok kerap dicap sebagai anak nakal. Berdasarkan data dari berbagai sumber, rokok dinilai sangat berbahaya bagi perempuan.
Ada risiko yang mengintai seperti kanker paru, rongga mulut, payudara, dan leher rahim. Rokok disebut juga bisa mengganggu menstruasi, kesuburan, dan gangguan kehamilan.
Kementerian Kesehatan menyebut ada beberapa bahaya merokok seperti penyakit paru-paru. Efek dari perokok yang paling pertama merusak organ tubuh akibat asap rokok adalah paru-paru.
Ada juga masalah impotensi dan organ reproduksi. ”Sedangkan pada wanita yang merokok, efek dari rokok juga bisa mengurangi tingkat kesuburan wanita,” sebut Kemenkes di laman mereka, depkes.go.id.
Perokok juga bisa bermasalah dengan penyakit lambung dan ada risiko stroke. Kemenkes menyatakan penyebab stroke tersebut bersumber dari kandungan kimia berbahaya seperti nikotin, tar, karbon monoksida, dan gas oksidan yang terkandung dalam rokok.