Rokok diduga menjadi salah satu penyebab besarnya beban BPJS Kesehatan. BPJS harus menanggung Rp5,9 triliun dari penyakit yang berkaitan dengan rokok.
JEDA.ID–Wacana baru dikemukakan BPJS Kesehatan. Instansi yang menjalankan sistem Jaminan Kesehatan Nasional ini mempertimbangkan akan mencoret para perokok yang selama ini masuk dalam daftar peserta penerima bantuan iuran (PBI).
Wacana ini bukan tanpa alasan karena salah satu penyebab tersedotnya anggaran BPJS Kesehatan untuk membayar penyakit berhubungan dengan merokok.
Selain itu, perokok dari kalangan warga miskin yang masuk PBI BPJS Kesehatan menggunakan dana bantuan sosial (bansos) untuk membeli rokok.
Deputi Direksi Bidang Kepesertaan BPJS Kesehatan Bona Evita menyatakan wacana itu tengah dipertimbangkan, namun, harus berdiskusi dengan pemangku kepentingan lainnya.
”Orang yang merokok kok masih dibayarin oleh BPJS Kesehatan misalnya. Kita kembali lagi mengacu kepada bagaimana kriteria penerima PBI tadi. Tapi untuk yang merokok ini mungkin masih perlu dikomunikasikan kepada stakeholder yang terkait,” kata dia sebagaimana dikutip dari Detikcom, Jumat (4/10/2019).
Kriteria penerima PBI BPJS Kesehatan adalam warga miskin yang masuk dalam keputusan Menteri Sosial. Selain itu akan dilakukan pengecekan PBI JKN dan validasi setiap 6 bulan sekali.
Planning and Policy Specialist dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Yurdhina Meilissa menyebut beberapa waktu lalu Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia melakukan riset dengan mengkaji angka perokok di keluarga miskin yang cenderung naik lebih tinggi.
”Orang miskin merokok pakai uang apa? Jadi waktu itu penelitian menyimpulkan bahwa uang bansos [bantuan sosial] dipakai untuk rokok. Kemudian muncul usulan yang sama bagaimana kalau kita memasukkan rokok dalam eligibilitas penerima bansos,” ujar Meilissa.
Data Perokok Aktif
Wacana yang disampaikan BPJS Kesehatan itu sejalan dengan BPS yang menyebut rokok menjadi salah satu penyebab kemiskinan.
Kepala BPS Suhariyanto menyatakan salah satu komoditas yang memberi sumbangan besar terhadap garis kemiskinan yakni rokok kretek filter, lantaran setiap bulan menyumbang inflasi.
Tidak bisa dimungkiri perokok di Indonesia tergolong tinggi. Kemenkes dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyebutkan ada 28,9% perokok aktif di Indonesia. Jumlah itu terdiri atas 24,3% perokok setiap hari dan 4,6% perokok kadang-kadang.
Bila dilihat dari jenis kelamin, 47,3% laki-laki merokok setiap hari, 8,5% merokok kadang-kadang, 9,2% mantan perokok, dan 35% tidak merokok. Sedangkan perempuan ada 1,2% yang merokok setiap hari, 0,7% merokok kadang-kadang, 1,3% mantan perokok, dan 96,8% tidak merokok.
Jika dilihat dari tempat tinggal, Kemenkes menyebut dari jumlah perokok di perkotaan adalah 23% perokok setiap hari dan 4,6% perokok kadang-kadang. Sisanya, 6,2% mantan perokok dan 66,2% tidak merokok.
Sedangkan di perdesaan 25,8% perokok setiap hari dan 4,5% perokok kadang-kadang. Sisanya, 4,1% mantan perokok, dan 65,6% tidak merokok.
Konsumsi rata-rata rokok di desa 13,13 batang/hari dan 12,55 batang per hari di kota. Konsumsi rokok itu menunjukkan peningkatan karena pada 2013, konsumsi rokok di perkotaan dan perdesaan masih 10,3 batang dan 10,8 batang per hari.
Rokok diduga menjadi salah satu penyebab besarnya beban BPJS Kesehatan hingga mengalami defisit. Untuk penyakit yang diakibatkan oleh rokok, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Anung Sugihantono, menyebut yang harus dibiayai oleh BPJS Kesehatan sudah mencapai Rp5,9 triliun.
“Sampai saat ini BPJS melaporkan ada Rp 5,9 triliun yang dipakai untuk pengobatan akibat rokok. Yang paling banyak adalah PPOK dan itu tidak terbantahkan,” sebut Anung sebagaimana dikutip dari Detikcom.
Bersih-Bersih Data
Dalam RAPBN 2020, pemerintah menyiapkan anggaran Rp48,78 triliun untuk PBI. Total penerima PBI BPJS Kesehatan tetap sama dengan 2019 yaitu 96,8 juta jiwa.
”Anggaran terdiri atas anggaran PBI Rp26.716,8 miliar dan cadangan PBI Rp22.070,4 miliar. Peningkatan anggaran PBI JKN tersebut ditujukan untuk menjamin kesinambungan layanan kesehatan yang berkualitas,” sebagaimana tertulis di RAPBN 2020.
Kenaikan anggaran itu juga tidak lepas dari rencana menaikkan iuran PBI dari yang semula Rp23.000/jiwa menjadi Rp42.000/jiwa. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu sudah disampaikan sejak Agustus 2019 lalu.
Bila perokok yang selama ini masih masuk daftar peserta PBI BPJS Kesehatan akan dihapus, ini adalah upaya kedua ”bersih-bersih” data peserta PBI pada 2019. Sebelumnya, Kementerian Sosial telah menghapus 5,2 juta peserta PBI yang dinilai sudah tidak layak sebagai peserta PBI.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf menmyebutkan saat dinonaktifkannya 5,2 juta peserta PBI, secara bersamaan telah didaftarkan sejumlah peserta lain sebagai pengganti.
”Penonaktifan dan perubahan peserta PBI tersebut tidak akan mengubah jumlah peserta PBI APBN tahun 2019. Jumlahnya tetap 96,8 juta jiwa, sudah termasuk dengan perubahan dan pendaftaran bayi baru lahir dari peserta PBI,” sebut dia di laman BPJS Kesehatan.
Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu 5,2 juta peserta dikeluarkan dari daftar PBI di antaranya data yang tidka valid, tidak pernah mengakses layanan kesehatan, sampai ada yang sudah masuk kategori mampu sehingga bisa menjadi peserta mandiri BPJS Kesehatan.