Air susu ibu (ASI) meskipun dapat membentuk kekebalan tubuh manusia tetap tidak bisa menggantikan peran vaksin untuk anak balita.
JEDA.ID – Vaksinasi atau program vaksin nasional dihantui momok pro dan kontra seputar memberi imunisasi pada anak. Tak cuma itu, perdebatan halal-haram memberikan vaksi kepada anak juga mendorong rendahnya pertumbuhan capaian imunisasi dasar.
Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2018 per Januari 2019, menunjukkan capaian imunisasi dasar bertengger di angka 81,99%.
Di Aceh dan Papua, capaian imunisasi dasar, yang mencakup vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus), campak dan rubella (MR), serta polio, masih di bawah 50%. Di Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Kalimantan Tengah, jumlah anak yang divaksinasi juga terbilang rendah, yakni di angka 50-an%
Capaian vaksinasi wajib nasional masih terhambat sejumlah faktor, di antaranya kekhawatiran kandungan vaksin yang tidak halal. Hal itu berpotensi menyebabkan Kasus Luar Biasa (KLB) campak dan difteri terulang di masa datang.
Dai kondang, Ustaz Abdul Somad, menjadi salah satu yang dianggap moderat soal vaksin. Dia menyampaikan, penggunaan vaksin untuk anak bisa dilakukan dalam kondisi darurat.
Menurutnya, beragam alasan para orangtua menggunakan vaksin kepada anak, yaitu karena alasan darurat. Di mana kekhawatiran muncul si anak cacat bila tidak disuntik vaksin.
Ustaz Somad mengibaratkan dengan kasus makan makanan haram seperti babi. “Kita kalau dipilih antara dua, mati atau makan babi, pilih mana? Makan babi. Tak boleh pilih mati,” kata ustaz Somad , Rabu (12/9/2018).
Flu Babi Afrika Menyebar, 100.000 Babi Dibantai
Vaksin MR
Vaksin measles rubella (MR) menjadi yang cukup sering diperdebatkan. Wajar, lantaran vaksin ini mengandung unsur babi dan turunannya. Menyikapi hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI), telah mengeluarkan fatwa.
MUI, Sekretaris Komisi Fatwa Asrorun Ni’am Sholeh, menyampaikan lembaganya telah memutuskan bahwa penggunaan vaksin yang memanfaatkan unsur babi dan turunannya hukumnya haram. Vaksin MR buatan Serum Institute of India (SII) juga hukumnya haram karena menggunakan bahan yang berasal dari babi.
“Penggunaan vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII) pada saat ini, dibolehkan [mubah],” ujar Ni’am melalui keterangan tertulis , sebagaimana dilansir MUI, Senin (20/8/2018).
Setidaknya, ada tiga hal alasan yang membuat penggunaan vaksin MR dibolehkan, yakni karena kondisi keterpaksaan (darurat syar’iyyah), belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci, serta ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi.
Selain dianggap mengandung unsur tidak halal, penolak vaksin biasanya menyebut kebutuhan imunisasi sudah terpenuhi oleh ASI (air susu ibu). ASI adalah asupan terbaik yang terdapat kolostrum berkontribusi meningkatkan antibodi pada tubuh bayi.
Sayangnya, menurut dokter ASI saja tidak cukup untuk melindungi bayi atau anak. ASI harus, imunisasi juga penting. ASI punya berbagai zat protektif untuk melindungi bayi dari infeksi, yang fungsinya imunitas umum. Vaksinasi bertujuan membentuk kekebalan spesifik terhadap agen penyakit tertentu, seperti TBC, polio, hepatitis B, difteri, dan lain-lain,” kata dr Wiyarni Pambudi, SpA-ICBLC sebagai Ketua Sentra Laktasi Indonesia dilansir Detik, Rabu (15/8/2018).
Tidak serta-merta ASI dapat disebut vaksin alami karena ASI dan vaksinasi atau imunisasi memiliki tujuan yang berbeda dalam hal melindungi tubuh. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) vaksin dapat memberikan imunitas yang lebih baik serta telah diuji sehingga lebih aman dan efektif.
Mengenal Hepatitis yang Merenggut 1,5 Juta Penduduk Dunia
Gerakan Antivaksin
Argumentasi lain adalah adanya berbagai keluhan yang dikaitkan dengan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Fenomena ini juga memperburuk ketakutan sebagian orang tua yang hendak memvaksin anaknya.
Terbaru, seorang bocah di Aceh dilaporkan harus dirawat karena tidak bisa menggerakkan kakinya usai mendapat imunisasi MR. Dinas Kesehatan setempat telah membantah bahwa kasus tersebut merupakan efek samping dari vaksin yang diberikan.
Gerakan antivaksin semakin berkembang saat ini. Bermula pada 1998, berkat ketidakjujuran peneliti dan fisikawan Andrew Wakefield yang dikeluarkan dari asosiasi medis di Inggris karena melakukan pelanggaran.
Wakefield mempublikasikan studi palsu yang menyatakan bahwa ada kaitan antara vaksin MMR dengan autisme. Diduga, ia melakukan hal tersebut untuk mengurangi saingan produk alternatif vaksin campak yang dipatenkan olehnya.
Meskipun penelitian lanjutan telah menemukan fakta bahwa tidak ada kaitan antara vaksin dan autisme, tetapi banyak orang masih percaya dengan rumor tersebut dan menolak memberikan vaksin pada anaknya – termasuk MMR.
Sebuah laporan pada 2014 menunjukkan, upaya untuk memperbaiki kesalahan informasi itu masih kalah dengan kampanye antivaksin yang dilakukan di internet.
Alasan lain dari mereka yang menolak vaksin adalah adanya konspirasi antara pemerintah dan perusahaan farmasi. Teori konspirasi kerap dipakai dalam setiap hal yang tidak kita percayai. Dalam hal dengan program imunisasi, secara rasional sulit mempercayai konspirasi semacam itu.
Tentu konspirasi ini perlu melibatkan ilmuwan, perawat, dokter, dan masih banyak orang lagi untuk menciptakan sebuah vaksin. Pemerintah justru mengalami kerugian akibat menanggung biaya kesehatan tinggi karena berbagai penyakit menular yang sebenarnya bisa dicegah dengan sekali suntik.
Ini yang Bikin Dokter Wajibkan Vaksin Hepatitis A