• Mon, 9 December 2024

Breaking News :

Edit Foto Terlalu Over Berujung Body Dysmorphic Disorder

Body dysmorphic disorder lebih banyak menimpa remaja berusia 12 atau 13 tahun. Diperkirakan body dysmorphic disorder bisa memengaruhi 1,7%-2,4% remaja.

JEDA.ID–Hampir sebagian besar orang mungkin pernah mengedit foto sebelum diunggah di media sosial. Namun, jika editing foto terlalu over dan terus menerus bisa berujung ke gangguan mental yang disebut dengan body dysmorphic disorder (BDD).

Ada banyak alasan yang disampaikan ketika seseorang mengedit foto mereka. Salah satunya Anna Nuarita Ima Priasti, 21, yang mengaku memperbagus foto yang akan diunggah.

”Alasannya biar lebih bagus dan enak dilihat sih. Aku biasanya kalau edit foto lebih ke kontras sama warnanya,” ujar perempuan yang akrab disapa Anna kepada jeda.id, Kamis (10/10/2019).

Pengakuan serupa juga datang dari Margareta Wulan Enggal Pinesti, 22. Ia mengedit foto agar terlihat lebih estetik. ”Aku kalau edit foto, biasanya cuma edit warna sama mempertajam gambar. Terus biar fotonya juga lebih estetik,” tutur perempuan yang akrab disapa Enggal.

Berbeda dengan Anna dan Enggal. Gita Cyntia Nusanto Putri, 21, mengaku tidak pernah mengedit foto yang akan diunggah. Dia mengaku pernah mengedit foto saat masih SMA. Edit foto sebatas memberi filter agar tampak lebih baik.

Tidak hanya membuat lebih estetik dan menarik dilihat ternyata ada alasan lain orang mengedit foto mereka. Sebagaimana dikutip dari Liputan6.com, mengedit foto juga untuk meningkatkan kepercayaan diri.

Bagi sebagian orang, mengedit foto dapat meningkatkan kepercayaan diri. Salah satunya Enggal, ia merasa lebih percaya diri jika fotonya terlihat lebih bagus. ”Kalau buatku, ada pengaruh ke rasa pede [percaya diri]. Soalnya kalau fotonya bagus, bisa jadi nilai tambah,” ujar Enggal.

Jadi Kecanduan

selfie

Ilustrasi selfie (Freepik)

Walau begitu, mengedit foto bisa menyebabkan kecanduan. Rasa percaya diri cenderung menurun ketika foto yang akan diunggah terlihat kurang bagus.

Ada juga yang mengedit foto agar jumlah like di media sosial bertambah. Kepercayaan diri semakin meningkat, jika foto yang diunggah mendapat banyak like [suka]. Salah satunya Anna, ia merasa lebih percaya diri jika mendapat banyak like dan komentar.

”Aku jadi lebih pede karena banyak yang like sama kasih komentar. Tapi buatku, mau yang like banyak atau sedikit enggak pengaruh ke aku,” tutur Anna.

Bila terlalu sering mengedit foto dan editingnya berlebihan seperti mengubah bentuk badan atau detail wajah hal itu akan mengarah ke body dysmorphic disorder.

BDD lebih banyak menimpa remaja berusia 12 atau 13 tahun. Diperkirakan body dysmorphic disorder bisa memengaruhi 1,7%-2,4% remaja.

Di Amerika Serikat, jumlah pria yang mengalami body dysmorphic disorder sekitar 2,5 persen,s edangkan perempuan ada 2,2% yang mengalami BDD.

Dilansir dari Universitas Pendidikan Indonesia, BDD termasuk dalam obsessive compulsive disorder (OCD). Penderita OCD cenderung merasa cemas dan pikirannya tidak mudah dikontrol. Serupa dengan OCD, penderita BDD memiliki rasa cemas yang berlebih.

Penderita body dysmorphic disorder menganggap jika ada sesuatu yang salah dengan tubuhnya. Padahal kenyataannya, tidak ada sesuatu yang salah dengan dirinya.

Anggapan inilah yang membuat penderita BDD memiliki kecemasan berlebih. Selain itu, penderita BDD juga memiliki rasa percaya diri yang minim.

Sibuk Bercermin

bercermin

Ilustrasi bercermin (Freepik)

Penderita BDD kerap memandangi dirinya selama beberapa jam di depan cermin. Tidak hanya itu, pengidap BDD juga berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki penampilannya.

Alih-alih membuat dirinya merasa lebih baik, rasa cemas berlebih ini terus bertambah. Pengidap body dysmorphic disorder berbeda dengan penderita anoreksia.

Orang yang menderita anoreksia, cenderung cemas dengan ukuran serta berat badan. Sedangkan pengidap BDD cemas dengan beberapa bagian tubuhnya.

Contohnya bentuk mata, rambut, warna kulit, bibir, dagu, alis, bekas luka, dan lain-lain. Orang yang menderita body dysmorphic disorder bisa diketahui sejak remaja.

Bukan masalah, jika orang kerap memperhatikan penampilannya. Namun, akan mengganggu jika kebiasaan ini terus bertambah parah tiap harinya.

Sebagaimana dikutip dari laman Yankes Kemkes ada beberapa gejala body dysmorphic disorder.

Merasa depresi

Penderita body dysmorphic disorder kurang percaya diri. Segala cara akan dilakukan untuk membuat penampilannya lebih baik. Hal inilah yang membuat pengidap BDD mudah depresi, bahkan berniat mengakhiri hidupnya.

Menghabiskan banyak waktu untuk bercermin

Orang yang mengidap BDD, bisa menghabiskan waktu sekitar satu hingga lima jam untuk bercermin. Penderita BDD berusaha memperbaiki penampilannya agar tidak dianggap cacat atau dijauhi. Pengidap body dysmorphic disorder terus bersolek di depan cermin dan mengubah bajunya secara berkala.

Tidak menyukai keramaian

Orang yang menderita BDD tidak menyukai keramaian karena takut kekurangannya diketahui. Pengidap BDD juga mengalami penurunan kinerja.

Contohnya pengidap BDD enggan bersekolah atau kerja. Tidak hanya itu, penurunan fungsi sosial juga jadi akibat dari jenis gangguan mental ini.

Minimnya rasa percaya diri

Orang yang menderita body dysmorphic disorder memiliki rasa percaya diri yang rendah. Tidak hanya itu, pengidap BDD juga memiliki konsep diri yang negatif.

Ketakutan terbesar pengidap BDD adalah takut diabaikan, diejek, serta dijauhi. Segala cara dilakukan untuk memperbaiki penampilan. Salah satunya dengan operasi plastik.

Timbulnya obsesi berlebihan ke selebritas

Obsesi berlebih menyebabkan penderita BDD cenderung meniru gaya penampilan selebritas atau model.

Penyebab utama gangguan mental ini belum diketahui secara pasti. Bisa jadi, trauma atas pelecehan seksual menyebabkan BDD. Selain itu, perasaan tidak dicintai orang tua, serta memiliki penyakit yang menggangu penampilan juga jadi penyebab.

Penderita body dysmorphic disorder membutuhkan dukungan dari orang terdekat. Selain itu, juga perlu dibimbing agar menemukan solusi atas masalah ini.

Ditulis oleh : Vanya Karunia Mulia Putri/Danang Nur Ihsan

Sign up for the Newsletter

Join our newsletter and get updates in your inbox. We won’t spam you and we respect your privacy.