Sangat penting untuk membedakan seseorang yang memiliki bibliomania dan bibliophilia karena dua hal tersebut berbeda meski sama-sama suka koleksi buku.
JEDA ID–Punya koleksi buku dengan jumlah besar memang bukanlah hal yang salah. Namun apa jadinya jika keinginan ini tidak dapat kita kendalikan sampai buku menumpuk setinggi langit-langit rumah? Koleksi buku yang tak terkendali bisa berujung dengan bibliomania.
Beberapa gejala seseorang yang mempunyai bibliomania memang sulit terlihat, salah satu yang menonjol biasanya berupa koleksi buku yang bahkan tidak pernah dibaca atau mengoleksi buku yang sama berulang kali.
Sangat penting untuk membedakan seseorang yang memiliki bibliomania dan bibliophilia karena kedua keadaan tersebut sangan berbeda meski sama-sama suka koleksi buku.
Dr. Martin Sander menjelaskan perbedaan besar mengenai kedua kondisi tersebut. “Bibliophilia adalah seseorang yang menguasai buku mereka, sedangkan bibliomania adalah budak dari buku.”
Jika seseorang tidak bisa mengontrol kecanduan mengoleksi buku, hasilnya akan sangat berbahaya. Kasus bibliomania dialami oleh Stephen Blumberg, yang juga dikenal sebagai “Pencuri Buku” setelah ia mengumpulkan lebih dari 23.600 buku dari 327 perpustakaan dan museum yang tersebar di Amerika.
Stephen selalu berpindah pindah. Dia juga tidak pernah menjual buku yang diambilnya. Untuk menghindari pemeriksaan petugas perpustakaan atau museum, dia biasanya keluar melalui ventilasi atau jendela.
Pada 1990, Stephen akhirnya tertangkap. Temannya melaporkan Stephen ke polisi setelah mendengar Stephen menjadi buronan dan dihargai sekitar $56.000 bagi siapa pun yang mampu memberi tahu keberadaan Stephen.
Dalam masa persidangan, seorang psikiater bernama Dr. Wlliam S. Logan menjelaskan Stephen merupakan penderita bibliomania yang merupakan kondisi kejiwaan karena tidak dapat mengontrol keinginannya untuk mengambil buku.
Stephan tetap dijatuhi hukuman 4-5 tahun penjara karena telah mencuri buku yang jika ditotal mencapai $4,3 juta setara Rp61,2 miliar. Petugas sempat kesulitan ketika memindahkan buku yang telah Stephen ambil.
Diperlukan sebuah traktor untuk membantu memindahkan total buku yang berbobot 19 ton. Setelah bebas dari penjara, Stephen meneruskan kembali aksinya.
Kasus di Jepang
Bibliomania bukan hanya fenomena yang terjadi di negara barat. Di Jepang, fenomena ini disebut Tsundoku, yang merujuk kepada perilaku mengoleksi tumpukan buku namun tidak dibaca.
Tsundoku tidak dianggap sebagai perilaku negatif oleh masyarakat Jepang. Mereka menyadari bahwa setiap penderita bibliomania mempunyai niatan untuk membaca buku yang mereka kumpulkan namun gagal.
Menurut Andrew Gerstle, seorang Profesor Teks Jepang di Universitas London, istilah bibliomania pertama muncul sekitar tahun 1879 tentang seorang guru yang mengoleksi banyak buku namun tidak pernah dibacanya.
Sekarang, kata ini telah diterapkan di beberapa segi kehidupan dan bukan hanya koleksi buku, seperti mengoleksi film, pakaian, atau bahkan video gim. Tentu saja kegiatan tersebut merupakan tindakan normal, namun jika terus menerus dilakukan akan mengakibatkan penumpukan.
Mengoleksi buku dalam jumlah besar juga memiliki dampak buruk lain. Seorang bibliomania tidak hanya mengoleksi buku dalam satu ruangan, mereka menumpuk buku-buku mereka di seluruh penjuru rumah, hal ini dapat membahayakan keamanan mereka sendiri.
Buku yang ditumpuk tinggi dalam jumlah besar bisa sewaktu-waktu jatuh dan menimpa seseorang. Faktor kebersihan juga menjadi kekhawatiran, tumpukan buku akan menarik perhatian kecoa dan tikus yang dapat mengganggu kesehatan.
Buku juga merupakan bahan yang mudah terbakar. Percikan api kecil di antara tumpukan buku bisa memicu terjadinya kebakaran yang berbahaya.
Perilaku lain yang biasanya dialami oleh bibliomania adalah bibliophagy, yang mana perasaan tidak terkendali untuk memakan buku. Tentu saja hal ini bisa berakibat fatal bagi kesehatan seseorang.
Disebabkan Trauma
Para bibliomania biasanya sudah mulai mengoleksi buku sejak kecil. Beberapa psikiater menjelaskan bahwa bibliomania merupakan mekanisme pertahanan dari trauma.
Trauma tersebut menyebabkan penderita menjadi skeptis tentang masalah mendasar. Mereka biasanya menutupi rasa takut dengan menumpuk buku disekitar mereka untuk menutupi masa lalu yang tidak ingin mereka tunjukkan.
Meskipun bibliomania sudah terkenal dan telah dibahas selama 2 abad terakhir. Namun pada buku Diagnosis Statistik Gagguan Mental yang dterbitkan Asosiasi Psikiater Amerika, bibliomania tidak diakui sebagai gangguan mental. Bahkan Press Universitas Oxford menyatakan bibliomania hanya sekadar antusiasme pribadi.
Dalam psikologi, bibliomania diakui dan digolongkan sebagai gangguan obsesif kompulsif. Perilaku mengumpulkan dan menumpuk buku bisa menimbulkan dampak buruk ketika keingingan seseorang untuk membeli dan mengoleksi buku melebihi keinginan lain seperti makan dan minum.
Para profesional medis membuat sebuah obat yang diharapkan mampu menekan perilaku kompulsif seseorang, tetapi cara ini kurang efektif karena hanya dengan mengandalkan obat-obatan, perilaku kompulsif tidak akan hilang begitu saja.
Pengobatan berupa psikoterapi yang didesain khusus untuk penderita bibliomania juga diperlukan untuk membantu kerja obat untuk menangkal perilaku kompulsif. Jadi koleksi buku itu tentu bermanfaat, tapi tidak perlu jadi bibliomania ya.