Kritikan terhadap rupiah kembali datang, khususnya dari kabar viral yang beredar di kalangan warganet. Ini bukan kali pertama rupiah menuai kritikan.
JEDA.ID-Kritikan terhadap rupiah kembali datang, khususnya dari kabar viral yang beredar di kalangan warganet. Ini bukan kali pertama rupiah menuai kritikan. Pada akhir tahun 2016 hingga awal 2017, tepatnya saat BI mengedarkan cetakan baru, rupiah juga sempat dihantam isu miring.
Kini, kehadiran cetakan uang khusus Rp 75.000 juga diributkan mulai dari gambar seorang anak memakai baju adat China, hingga tudingan Bank Indonesia (BI) mengambil keuntungan hingga Rp 5.625 miliar atau Rp 5,6 triliun dengan mencetak 75 juta lembar uang khusus kemerdekaan tersebut.
Dikutip dari detikcom, Rabu (19/8/2020), berikut 5 isu miring yang pernah menghantam rupiah:
1. Dituduh Mirip Yuan
Pada bulan Desember 2016, BI menerbitkan uang cetakan untuk tahun emisi 2016. Setelah diedarkan, rupiah baru ini dituduh mirip yuan.
Menanggapi isu yang beredar tersebut, pada 21 Desember 2016 Deputi Direktur Departemen Pengendalian Uang BI Yudi Harimurti menjelaskan dalam penentuan desain emisi ada standar baku yang sudah ditetapkan di otoritas bank sentral masing-masing negara.
Soal pemilihan warna, termasuk pemilihan warna merah pada pecahan emisi Rp 100,000 yang dianggap paling mirip dengan yuan, hal itu juga didasarkan atas survey pada masyarakat terkait bagaimana mereka membedakan setiap pecahan.
“Survei terakhir kita, 90% masyarakat atau responden menggunakan warna sebagai pecahan. Jadi mereka tidak melihat nominal, gambar pahlawan, lebih ke warna. Untuk itu, guna menghindari kesalahan pengenalan, kita pastikan bahwa warna dengan angka depan yang sama misalnya 10 dengan 100, itu kita pastikan beda secara kontras. Tidak mirip-mirip,” kata Yudi di kantor BI, Jalan MH Thamrin, Jakarta.
Rupiah lebih menyerupai uang kertas euro ketimbang yuan. “Kalau dilihat satu per satu yuan, euro, dan Arab Saudi [riyal]. Itu kalau mau dimirip-miripin kita lebih mirip euro,” tuturnya.
2. Cut Meutia Tak Berjilbab
Belum selesai dituduh mirip yuan, rupiah terbitan emisi 2016 kembali diterpa isu miring. Kali itu, ramai dibicarakan di media sosial (medsos) adalah foto pahlawan asal Aceh, Cut Nyak Meutia. Sejumlah warganet menuduh foto Cut Meutia tidak sesuai karena tak memakai jilbab.
Menanggapi hal tersebut, pada 21 Desember 2016 Deputi Direktur Departemen Komunikasi BI Andiwiana menjelaskan, semua foto maupun ejaan nama pahlawan yang tercantum di uang rupiah didasarkan atas catatan resmi dari Direktorat Kepahlawanan Keperintisan Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial, Kementerian Sosial (Kemensos).
“Fotonya ikuti apa yang terdaftar di Kemensos. Enggak bisa pahlawan itu kami ambil misalnya saat umurnya 30 tahun agar terlihat lebih ganteng, enggak bisa. Foto resmi ya foto dia di umur berapa di foto resmi dia sudah ditetapkan negara,” katanya ditemui di kantor BI, Jalan MH Thamrin, Jakarta.
Solusi Atasi Rambut Rontok dari India, Apakah Itu?
Selain itu, BI juga melakukan konfirmasi dan izin ke keluarga pahlawan nasional bersangkutan, bahkan dipastikan lagi hingga tokoh-tokoh adat untuk mendapatkan persetujuan.
3. Tudingan Logo Palu Arit di Rupiah
Kritikan terhadap rupiah berikutnya adalah untuk cetakan tahun emisi 2016 lagi-lagi menuai kritik. Logo BI yang tertera pada setiap lembaran rupiah dianggap sebagai simbol terlarang palu arit.
Namun, Gubernur BI yang kala itu masih dijabat oleh Agus Martowardojo melalui keterangan resminya yang dirilis pada 23 Januari 2017 membantahnya. Ia menegaskan, logo itu adalah logo BI yang dipotong secara diagonal, sehingga membentuk ornamen yang tidak beraturan.
Gambar tersebut merupakan gambar saling isi (rectoverso), yang merupakan bagian dari unsur pengaman uang rupiah. Unsur pengaman dalam uang rupiah bertujuan agar masyarakat mudah mengenali ciri-ciri keaslian uang, sekaligus menghindari pemalsuan.
Alasan Pemilihan Tanggal 17 dan Kisah yang Tercecer Di Balik Momen Proklamasi
Pencetakan pun dilakukan dengan teknik khusus, sehingga terpecah menjadi dua bagian di sisi depan dan belakang lembar uang, dan hanya dapat dilihat utuh bila diterawang.
Hal yang senada juga dinyatakan oleh Direktur Utama Perum Peruri Prasetio. Dia menegaskan logo BI pada uang NKRI yang menggunakan metode rectoverso semata-mata bertujuan untuk memastikan sistem keamanan terjaga.
“Itu semata-mata security saja jangan dipersepsikan yang lain,” kata Prasetio.
Peruri selalu berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam melakukan pencetakan uang rupiah selama ini. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Mata Uang Nomor 7 Tahun 2011 dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2016.
4. Gambar Pakaian Adat China dalam Uang Khusus Rp 75.000
Viral di medsos uang pecahan Rp 75.000 atau uang rupiah khusus untuk memperingati HUT RI-75 pada 17 Agustus 2020 kemarin disebut bergambar baju adat dari China.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Departemen Pengelolaan Uang Marlison Hakim mengungkapkan jika baju adat yang ada di uang tersebut bukan berasal dari China.
“Itu adalah baju adat dari Kalimantan Utara, adat suku Tidung ya Kalimantan Utara. Bukan dari China, ini asli daerah Indonesia,” kata Marlison dalam konferensi pers, Selasa (18/8/2020).
Menguak Misteri Sundaland, Benua yang Tenggelam di Indonesia
Dia mengungkapkan BI bekerja sama dengan pemerintah daerah (Pemda), dinas pendidikan dan dinas kebudayaan untuk penggunaan gambar baju adat suku Tidung ini di uang kertas.
“Coba carilah di Google, baju adat suku Tidung, ya keluarnya akan seperti itu. Kami menampilkan 9 baju daerah ini untuk merepresentasikan kekayaan budaya Indonesia melalui pakaian daerah itu,” jelas dia.
5. Tudingan BI Raup Untung Rp 5,6 Triliun dari Penerbitan Uang Khusus
Kali ini, ada yang menyebut BI mengambil keuntungan hingga Rp 5.625 miliar atau Rp 5,6 triliun dengan mencetak 75 juta lembar uang khusus kemerdekaan tersebut.
Tudingan itu ramai di grup percakapan WhatsApp. Dalam narasinya disebutkan pula modal kertas, tinta, dan ongkos cetak senilai Rp 250 per lembar. Karena itu BI mendapatkan untung Rp 74.750 per lembar.
Dari situ BI disebut mengantongi keuntungan dari hasil penjualan uang khusus sekitar Rp 5.606 miliar.