• Thu, 21 November 2024

Breaking News :

Di Masa Depan Hanya Ada 6 Mata Uang di Dunia

Guedes menyebut dunia akan semakin ringkas, orang akan merancang skema transaksi sederhana salah satunya dengan mata uang lintas negara.

JEDA.ID – Sekitar dua atau tiga dekade ke depan ekonomi dunia bakal kembali berubah. Di masa depan, diprediksi hanya sekitar empat sampai enam saja mata uang yang bakal bertahan di dunia.

Setidaknya hal ini yang diramalkan Menteri Ekonomi Brazil Paulo Guedes tanpa mengabaikan saat ini masih ada sekitar 100 mata uang.

“Jika kamu mempertimbangkan dimensi politik dan dimensi ekonomi, dunia akan memiliki lima atau enam mata uang pada 20 hingga 30 tahun mendatang,” ujarnya saat diskusi di dalam acara World Economic Forum (WEF), dilansir dari CNBC, Jumat (24/1/2020).

Guedes menyebut dunia akan semakin ringkas. Orang akan memilih untuk merancang skema sederhana untuk melalukan transaksi antar negara.

Dengan mata uang tersebut, orang Prancis yang akan pergi ke Jerman, tanpa perlu menukarkan uang tunainya sesuai negara tujuan. Kata Guedes, ini dapat direplikasi pada belahan dunia lainnya.

Saat ini, dolar Amerika Serikat (AS) dinilai sebagai yang paling aman karena nilainya tetap atau cenderung tumbuh saat krisis. Berbagai negara mematok mata uang mereka ke dolar AS dengan alasan stabilitas pada perdagangan.

Namun, saat tidak stabil, negara-negara di dunia yang berpatokan pada dolar AS akan merugi. Maka dari itu, kata Guedes, diperlukan untuk mengembangkan mata uang bersama diberbagai negara, tujuanya mendorong perekonomian dan mengurangi ketergantungan dengan dolar AS.

“Akan ada mata uang kontinental yang akan mengalahkan dominasi dolar AS dan euro,” lanjut Guedes.

Selain dolar AS, Euro juga merupakan mata uang yang paling berpengaruh, khususnya di negara-negara Eropa.

Bahkan, dikatakan bahwa Euro memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan dolar AS. Maka wajar jika hegemoni dolar AS bisa saja terusik dengan kehadiran Euro.

Euro digunakan oleh negara-negara di benua Eropa. Walaupun dikatakan baru di panggung dunia, Euro nyatanya sudah mengikat para hati investor.

Euro paling banyak diperdagangkan di level dunia. Selain itu, Euro juga dikatakan sebagai mata uang cadangan dunia terbesar kedua setelah dolar.

Banyak juga negara-negara Eropa serta Afrika yang mematok mata uang lokal mereka dengan Euro. Disisi lain, negara-negara Eropa terbilang kumpulan negara maju dimana hal ini membuat Euro menjadi alat transaksi kedua setelah dolar AS.

Perlahan Facebook Mulai Menguasai Dunia

Bagaimana dengan Rupiah?

Jalan panjang dan berliku harus ditempuh rupiah agar bisa diterima di banyak negara. Saat ini, Rial Oman atau Yen Jepang menjadi mata uang paling munking dipakai transaksi multi-negara.

Rial Oman adalah mata uang dengan nilai tertinggi sedangkan Yen dianggap stabil dari segi fluktuasi nilai tukar selama bertahun-tahun terakhir. Sedangkan Rupiah, meski cenderung stabil dan prospektif, namun terpengaruh situasi politik dalam negeri.

Sejak awal tahun 2020, Rupiah mengalami tren penguatan terhadap nilai Dolar Amerika Serikat (AS). Penguatan Rupiah disebabkan oleh beberapa faktor misalnya seperti kinerja Neraca Pembayaran Indonesia yang membaik.

Melansir Bloomberg, pada pembukaan perdagangan di pasar spot, Jumat 24 Januari 2020, Rupiah bertengger pada level Rp13.635 per US$.

Bank Indonesia (BI) juga mengatakan penguatan nilai tukar Rupiah diproyeksi akan menjadi mata uang terkuat di Asia tahun ini.

Gubernur BI menyatakan, nilai Rupiah mendorong kinerja Neraca Pembayaran Indonesia semakin membaik. Pada 22 Januari 2020, Rupiah menguat 1,74% dibandingkan dengan level akhir Desember 2019.

“Perkembangan ini melanjutkan penguatan pada 2019 yang tercatat 3,58% (ptp) atau 0,76% secara rerata,” kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo di Gedung Bank Indonesia, dilansir Okezone, Kamis (23/1/2020).

Selain itu, kegiatan ekspor manufaktur akan meningkat seiring dengan penguatan rupiah. “Mungkin para eksportir yang komoditas penerimaan Rupiahnya kurang tapi penerimaan dolarnya baik. Di sisi lain, ekspor manufaktur baik dolar maupun Rupiahnya akan naik. Impornya juga akan dibantu untuk impor bahan baku barang modal untuk kebutuhan investasi,” Sambung Perry.

Menurutnya, kurs Rupiah yang menguat memang berdampak negatif bagi para eksportir komoditas karena hasil dari nilai Rupiah jadi lebih kecil, sebaliknya jika Rupiah melemah maka hasil nilainya akan lebih besar.

Meski demikian, Perry menilai ekspor komoditas tak terlalu sensitif terhadap pergerakkan nilai tukar Rupiah, melainkan pada pergerakkan harga dan permintaan di pasar global.

Tenaga Honorer Dihapus, Gimana Nasib 1 Juta Guru Honorer?

Ditulis oleh : Jafar Sodiq Assegaf

Sign up for the Newsletter

Join our newsletter and get updates in your inbox. We won’t spam you and we respect your privacy.