Di Indonesia, dinar dan dirham lebih dikenal sebagai instrumen investasi bukan sebagai alat pembayaran.
JEDA.ID-Dinar dan dirham menjadi perbincangan belakangan ini setelah viral sebuah pasar di Depok, Jawa Barat, bertransaksi menggunakan koin dinar dan dirham. Lalu bagaimana sejarah dinar dan dirham hingga dikenal seperti sekarang?
Simak ulasan tentang sejarah dinar dan dirham dalam tips keuangan kali ini. Bila melihat sejarah, dinar dan dirham sudah digunakan selama berabad-abad dalam praktik perdagangan umat Islam. Dinar adalah koin emas, sedangkan dirham berupa perak.
Sebagaimana dilansir dari berbagai sumber, pada tahun 75 (695 M), Khalifah Abdalmalik, memerintahkan Al-Hajjaj untuk mencetak dirham pertama, sehingga dia secara resmi menetapkan standar Umar Ibn al-Khattab.
Pada tahun berikutnya dia memerintahkan dirham dicetak di semua wilayah Darul Islam. Dia pun memerintahkan sosok manusia dan hewan pada koin dinar dan dirham dihapus dan diganti dengan huruf. Perintah itu kemudian dilakukan sepanjang sejarah Islam.
Baca Juga: Mengenal Garam Abu yang Segera Hilang dari Papua
Dinar dan dirham memiliki bentuk bulat pipih, dan terdapat tulisan yang dicap dalam lingkaran konsentris. Biasanya di satu sisi tertulis “tahlil” dan “tahmid”, yaitu ‘la ilaha ill’Allah’ dan “alhamdulillah”, dan di sisi lain tertulis nama Amir dan tanggalnya.
Koin emas dan perak tetap menjadi mata uang resmi sampai jatuhnya Khalifah. Sejak itu, lusinan mata uang kertas yang berbeda dibuat di setiap negara nasional pascakolonial baru.
Dalam perjalanan panjangnya, emas dan perak pun diyakini sebagai mata uang paling stabil yang pernah ada di dunia. Dari awal Islam hingga hari ini, nilai mata uang tersebut masih bisa tetap stabil untuk barang konsumsi dasar.
Di Indonesia, dinar dan dirham lebih dikenal sebagai instrumen investasi bukan sebagai alat pembayaran. Karena menurut aturan di Tanah Air, transaks jual beli barang hanya boleh menggunakan mata uang rupiah sebagai mata uang resmi Indonesia.
Belakangan, penggunaan dinar dan dirham ramai di Tanah Air setelah viral sebuah pasar di Depok bernama pasar muamalah menggunakan kepingan emas dan perak itu sebagai alat pembayaran.
Belakangan, pemilik lahan Pasar Muamalah di Depok, Zaim Saidi menegaskan praktik perdagangan yang dilakukan di tempatnya tidak bertentangan dengan hukum. Penggunaan dinar dan dirham menurutnya lebih bersifat sebagai metode pembayaran secara barter, bukan menjadikan dinar dan dirham sebagai alat membayar layaknya mata uang rupiah.
Baca Juga: 4 Fakta Klub Mensa, Kumpulan Orang Jenius Ber-IQ Super Tinggi
Pemilik lahan Pasar Muamalah di Depok, Zaim Saidi, membantah tudingan bahwa praktik perdagangan yang dilakukan di tempatnya bertentangan dengan hukum. Pasar tersebut viral karena transaksinya menggunakan koin dinar dan dirham.
Dia pun menegaskan hal itu hanyalah istilah. Koin dinar dan dirham yang digunakan di pasar tersebut bukan merupakan mata uang asing, melainkan hanya emas dan perak yang dijadikan alat tukar semata. Jadi, seperti sistem barter.
“Nah, kelihatannya yang menjadi ramai adalah karena di situ [koin] ada kata-kata dinar atau dirham, kecil. Tapi, ini bukan namanya, bukan nama koin ini adalah dinar dan dirham. Nama koin ini adalah koin perak seperti yang tertulis di atas koinnya. Begitu juga yang koin emas, ini koin emas,” kata dia melalui video klarifikasi di YouTube seperti dikutip dari detikcom, kemarin Minggu (31/1/2021).
Lantas, apa maksud dari kata dinar dan dirham yang tertera di koin tersebut? Dia menjelaskan dalam Islam dikenal satuan berat dengan istilah dinar atau dirham. Jika di Indonesia, umumnya lebih mengenal gram sebagai satuan berat.
Meskipun dinar dan dirham dijadikan sebagai nama mata uang sejumlah negara, dia menegaskan koin dinar dan dirham yang digunakan di Pasar Muamalah tak ada hubungannya dengan mata uang asing.
Untuk itulah, dia berani menjamin bahwa perdagangan yang melibatkan dinar di Pasar Muamalah tidak melanggar hukum. Koin emas dan perak yang digunakan selayaknya sistem barter saja.
Baca Juga: Ini Beda Sariawan Pada Covid-19, Tidak Perlu Panik Duluan!
“Tidak ada di sini [Pasar Muamalah] mengatakan bahwa ada alat pembayaran lain yang sah selain rupiah. Nah, tapi kalau orang mau menukarkan jagung dengan beras ya tidak ada larangan. Dengan kata lain semua transaksi yang terjadi di Pasar Muamalah tidak ada yang bertentangan dengan hukum,” tambahnya.
Zaim menjelaskan bahwa Pasar Muamalah tak hanya di Depok. Beberapa kota lain juga ada pasar serupa, mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Jawa Timur.
“Depok, Bogor, Jakarta, Tangerang, Medan, Bandar Lampung, Jogja, Bantul, Banyuwangi, Dll [dan lain-lain],” kata dia.
Dia menyebutkan jumlahnya kurang lebih ada sekitar 20-25 tempat. Pasar-pasar Muamalah yang konon transaksinya pakai dinar tersebut dibangun swadaya masyarakat setempat.
Dia pun memaparkan latar belakang dibentuknya Pasar Muamalah sebagai upaya untuk menghidupkan perekonomian rakyat.
“Jadi prinsip pertama dari Pasar Muamalah itu pasarnya sendiri adalah tidak ada sewa, jadi semua tempatnya adalah lapangan terbuka, tidak ada yang mengklaim, tidak ada yang memiliki kecuali digunakan ya. Jadi yang paling betul itu adalah tanah-tanah wakaf. Nah, kalau di sini belum menjadi tanah wakaf tapi dipinjamkan untuk dipakai oleh para pedagang,” ujarnya.
Baca Juga: 4 Fakta Tes Saliva, Tes Corona yang Disebut Bakal Ganti PCR
Di Pasar Muamalah, dijelaskannya pedagang bebas untuk keluar-masuk, dan siapa saja boleh berdagang di sini, tidak ada urusan dengan agama, politik, aliran ormas dan sebagainya.
Tujuan lain dari diadakannya Pasar Muamalah ini, lanjut dia untuk memfasilitasi para penerima sedekah/zakat yang menerima bantuan dalam bentuk koin dirham untuk ditukarkan dengan barang.
“Orang diberikan zakat berupa koin 1 perak atau satu dirham, karena satuannya adalah dirham atau 2,97 gram, yang dibawa ke sini eh ketemu sembako, dia tukarkan sembako, ketemu madu dia tukarkan madu. Apapun yang dia perlukan itu ditukarkan dengan koin perak, koin emas dan yang lain-lain terserah,” tambahnya.