Belum tentu 38 juta orang itu akan terdampak sistem gaji per jam karena jumlah itu termasuk sektor informal seperti pedagang kaki lima atau pertanian.
JEDA.ID–Pemerintah mewacanakan kebijakan pemberian upah atau gaji berbasis per jam. Namun, rencananya aturan itu hanya berlaku untuk pekerja yang waktu kerja mereka di bawah 35 jam/pekan.
Sedangkan untuk pekerja dengan waktu kerja di atas 40 jam/pekan tetap menggunakan kebijakan upah bulanan. Wacana itu mengemuka setelah pemerintah menggelar rapat terbatas (ratas) mengenai RUU omnibus law cipta lapangan kerja di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (27/12/2019).
”Ada penghitungannya, formula penghitungannya ada. Jam kerja kita kan 40 jam seminggu. Di bawah 35 jam per minggu itu maka ada fleksibilitas itu. Nanti di bawah itu hitungannya per jam,” kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah sebagaimana dilansir dari Detikcom, Minggu (29/12/2019).
Ida mengaku skema pemberian upah atau gaji berbasis per jam akan masuk dalam UU omnibus law cipta lapangan kerja cluster ketenagakerjaan. Dirinya pun sudah mensosialisasikan kepada para pekerja mengenai rencana tersebut.
Bergaji Rp5,9 Juta, Ini 5 Bupati Terkaya di Indonesia
Politikus PKB ini mengaku akan menyosialisasikan rencana tersebut kepada pengusaha di Tanah Air. Tujuannya agar rencana ini bisa dimengerti dan tanpa harus menghapus aturan upah minimum provinsi (UMP).
Upah per jam adalah gaji yang diterima dihitung berdasarkan jam kerja. Misalnya dalam sepekan bekerja 35 jam dan upah per jam Rp10.000, maka penghasialnya adalah Rp350.000/pekan.
Bila melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang angkatan kerja per Oktober 2018, ada 124 juta orang yang masuk dalam angkatan kerja. Dari jumlah itu, ada sekitar 38 juta orang alias 30,6%-nya bekerja di bawah 35 jam/pekan.
Sebagian besar pekerja di Indonesia memiliki waktu kerja 35-44 jam/pekan yaitu 30,4 juta orang dan 45-54 jam/pekan sebanyak 28,9 juta orang. Lantas apakah 38 juta orang yang masuk angkatan kerja ini semuanya akan menerapkan sistem gaji per jam?
Termasuk Sektor Informal
Belum tentu 38 juta orang itu akan terdampak sistem gaji per jam karena jumlah itu termasuk sektor informal seperti pedagang kaki lima atau bekerja di sektor pertanian seperti di sawah. Kebijakan gaji per jam akan menyasar sektor formal.
Berikut perincian 38 juta orang yang masuk dalam angkatan kerja dengan waktu bekerja di bawah 35 jam seminggu.
- 0 jam 2.451.905 orang (sementara tidak bekerja)
- 1-4 jam 905.545 orang
- 5-9 jam 3.095.957 orang
- 10-14 jam 5.101.103 orang
- 15-19 jam 4.605.049 orang
- 20-24 jam 7.806.976 orang
- 24-34 jam 14.067.722 orang
- Total 38.034.257 orang
Bila dilihat dari tempat tinggal, orang bekerja yang jam kerjanya di bawah 35 jam/pekan lebih banyak di perdesaan. Di perdesaan ada 23,23 juta orang yang bekerja di bawah 35 jam/pekan sedangkan di perkotaan ada 14,79 juta orang.
Sedangkan bila dilihat dari jenis kelamin, lebih banyak perempuan yang memiliki jam kerja di bawah 35 jam/pekan yaitu 19,5 juta orang sedangkan laki-laki ada 18,5 juta orang.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memprediksi kebijakan gaji per jam bisa berdampak hingga 100 juta pekerja di Tanah Air.
Melihat Gaji Polisi, dari Tamtama sampai Jenderal
Mereka mengkhawatirkan kebijakan itu akan menghilangkan skema upah minimum yang sudah berlaku selama ini sekaligus menihilkan jaminan sosial.
”Data BPS menyebut pekerja formal itu kira-kira 54,7 juta orang, penerima upah minimum menurut dewan pengupahan datanya adalah 70%, berarti kan hampir 40 jutaan pekerja formal bakal terdampak. Itu di luar informal, ditambah informal yang sekitar 70 jutaan, jadi hampir 100 juta lebih orang terdampak dengan sistem upah per jam tersebut,” tutur Presiden KSPI Said Iqbal sebagaimana dilansir dari Detikcom.
Said menegaskan pihaknya bakal menolak keras aturan tersebut. Lantas, bila aturan ini akhirnya tetap diberlakukan, maka mau tidak mau, pihaknya bakal mengambil jalur hukum.
”Pertama, gugatan warga negara karena menolak gaji per jam. Kedua, lakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU itu. Langkah lain, ya aksi terus menerus untuk menekan pemerintah membatalkan itu dan DPR tidak mengesahkan itu,” tutur Said Iqbal.