Banyak paedofil yang pandai menyamar saat bermain TikTok. Umumnya, paedofil menggunakan profil foto remaja, serta memanipulasi data mereka.
JEDA.ID–Aplikasi TikTok menjadi tren di kalangan anak muda. TikTok pernah diblokir Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pada 2018 dan sempat dilabeli tidak ramah terhadap anak dan aca celah bagi paedofil.
Nyatanya TikTok tetap kebanjiran pengguna yang salah satu alasannya ingin memantik kreativitas. Sebelumnya, aplikasi TikTok lebih dikenal dengan Musical.ly. Kemudian pada 2 Agustus 2018, TikTok dan Musical.ly resmi melebur. TikTok dibuat oleh perusahaan asal Tiongkok, ByteDance.
Aplikasi ini berhasil membuat gempar dunia. Pada 2017, TikTok sudah diunduh lebih dari satu miliar kali. Kepopuleran TikTok berhasil mengalahkan Instagram. Buktinya pada 2018 di Kamboja, TikTok menduduki peringkat pertama di Play Store dan App Store.
Sedangkan, Instagram menduduki peringkat 37. Kepopuleran dan banyaknya jumlah unduhan, membuat TikTok meraih penghargaan. Google Play memberikan penghargaan kepada TikTok, sebagai aplikasi terbaik dan menghibur. Diperkirakan pengguna aktif TikTok di seluruh dunia sudah mencapai 500 juta.
Penggunanya didominasi oleh kaum Hawa dengan rentang usia 20-24 tahun. Rata-rata waktu satu setengah jam habis untuk menjelajahi aplikasi ini.
Ketenaran TikTok, membuat banyak orang mempertanyakan tujuan dibuatnya aplikasi ini. Banyak orang menganggap aplikasi ini hanya sebagai ajang eksistensi diri.
Tapi banyak juga orang yang merasa terhibur dengan konten video di TikTok. Selain menghibur dan sebagai ajang eksistensi diri, sebagian orang menganggap TikTok dapat meningkatkan kreativitas.
Dikutip dari Eprints.Stikosa, Sabtu (12/10/2019), sebanyak 39 dari 100 remaja menggunakan TikTok, sekitar enam hingga 10 kali dalam satu hari. Ada 62 remaja yang mengaku penggunaan TikTok dapat meningkatkan kreativitas, sisanya merasa biasa saja.
Bayar Denda
Aplikasi TikTok sempat diharuskan membayar denda kepada Federal Trade Commission (FTC), lantaran dituding melanggar privasi anak. ByteDance harus membayar US$5,7 juta atau Rp80 miliar. FTC menjelaskan jika TikTok mengoleksi data pribadi pengguna, khusunya anak.
TikTok terbukti melanggar Children’s Online Privacy Protection Act (COPPA). Dalam COPPA tertulis jika, data pribadi dan privasi anak harus dilindungi. Selain itu, COPPA juga mengatur batas minimum pengguna media sosial. Umur 13 tahun adalah batas minimumnya.
Walau sudah tercantum dalam COPPA, nyatanya banyak pengguna TikTok yang masih di bawah umur. Hal ini memperlihatkan belum adanya ketegasan dari ByteDance.
”Pihak TikTok sudah tahu jika banyak anak yang menggunakan aplikasi ini. Namun, mereka gagal meminta persetujuan orang tua terkait data pribadi ini,” jelas Joe Simons selaku Ketua FTC, seperti dikutip dari Voxcom.
National Society for the Prevention of Cruelty to Children merilis data, tentang penggunaan TikTok pada remaja. Hasilnya, sebanyak 10.000 dari 40.000 remaja pengguna TikTok mengaku pernah berkomunikasi dengan orang asing.
Selain itu, setidaknya ada satu dari 20 remaja pernah diminta untuk mengirimkan konten pornografi. Alasan inilah yang membuat Pemerintah Indonesia sempat memblokir TikTok. Aplikasi ini dianggap tidak pantas untuk anak, lantaran mengandung konten pornografi.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta konten video pada aplikasi TikTok, lebih ramah anak pasca-diblokir Kominfo.
”Kami berharap agar ada perbaikan maksimal oleh pihak TikTok. Tujuannya untuk melindungi anak dari konten negatif, termasuk pornografi, sadisme, perundungan, SARA, serta radikalisme,” ucap Susanto selaku Ketua KPAI, seperti dilansir dari Antara.
Tidak hanya itu, orang tua juga diimbau untuk meningkatkan pengawasan terhadap anak, terutama ketika sedang bermain TikTok. Orang tua juga harus lebih kritis dalam memilih aplikasi, yang membantu pembelajaran anak di sekolah.
Walau begitu, Indonesia bukan satu-satunya negara yang pernah memblokir TikTok. Pemerintah India pun sempat memblokir aplikasi ini,
TikTok dianggap mengandung konten pornografi, ujaran kebencian, bahkan rasisme. Lantaran mengandung tiga konten ini, Pemerintah India menganggap aplikasi ini tidak ramah anak.
Kurangnya pengawasan orang tua, membuat anak tidak segan menampilkan data pribadi mereka. Tidak hanya menampilkan data pribadi, banyak anak yang mendapat pesan berbau pornografi.
Data Pribadi Anak
Contohnya, pada 2017, seorang perempuan berusia tujuh tahun di Indiana, Amerika Serikat, mendapat pesan berbau pornografi dari orang asing. Seorang paedofil meminta sang anak untuk mengirimkan foto vulgarnya, lewat aplikasi Musical.ly.
Ini bukanlah kasus yang pertama. Kasus serupa juga terulang dalam aplikasi TikTok. Banyak anak di bawah umur, mendapat komentar yang mengarah pada pelecehan seksual. Pihak ByteDance pun turut merespons hal kasus ini.
Perubahan kebijakan dianggap jadi solusi utama penyelesaian kasus ini. ByteDance akan memblokir fitur pengiriman foto dan video, lewat komentar serta pesan.
Selain itu, akun pengguna TikTok bisa di-private. Pengguna bisa memblokir, bahkan melaporkan akun serta konten orang lain. TikTok juga memiliki fitur pengaturan pesan. Tujuannya, agar tidak menerima pesan dari pengguna lainnya.
Pihak ByteDance menganggap adanya perubahan kebijakan, lantas menyelesaikan masalah ini. Namun, nyatanya paedofil masih bisa menemukan celah lainnya di TikTok.
Contohnya, TikTok hanya menghapus komentar yang dilaporkan. Namun, TikTok tidak menghapus pesan yang masuk dalam akun pengguna. Dalam hal ini, TikTok hanya terfokus pada komentar yang bernada vulgar. Bukan pada pengguna, alasannya TikTok tidak memblokir penggunanya.
Tidak hanya itu, banyak paedofil yang pandai menyamar saat bermain TikTok. Umumnya, paedofil menggunakan profil foto remaja, serta memanipulasi data mereka.
Anak yang tidak diawasi orang tua, cenderung percaya saja. Namun, paedofil secara diam-diam meminta data pribadi pengguna TikTok.
Tidak hanya itu, lantaran dianggap seusia, anak dengan mudah mengirimkan data pribadi. Hasilnya, paedofil tetap bisa melancarkan aksinya lewat aplikasi lainnya selain TikTok.