Fitria Kiki, 22, adalah pedagang termuda di Pasar Triwindu. Dia adalah generasi keempat di keluarganya yang berdagang di Pasar Triwindu.
JEDA.ID–Selamat datang di surganya para penggemar barang-barang antik. Aneka barang lawas tersaji di pasar yang menjadi salah satu ikon wisata Kota Solo. Pasar Triwindu namanya.
Ada cerita panjang sebelum pasar ini menjadi pusatnya barang-barang antik di Kota Solo. Pasar Triwindu sudah hadir beberapa tahun sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada 1939.
Sebagaimana dikutip dari laman Pura Mangkunegaran, Pasar Triwindu dibangun pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII.
Pasar ini dibangun pada 1939 hadiah ulang tahun dari Gusti Noeroel Kamaril kepada ayahnya, Mangkunagoro VII yang juga bertepatan dengan tiga windu kenaikan tahta beliau.
Dinamakan Triwindu karena berasal dari dua gabungan kata yaitu tri dan windu. Tri dalam bahasa Jawa berarti tiga, dan windu berarti delapan tahun. Setelah digabungkan maka triwindu memiliki arti 24 tahun.
Pada saat peringatan tiga windu kenaikan tahta Mangkunagoro VII (1916-1944) diselenggarakan pasar malam di Pasar Triwindu yang bertujuan memberikan hiburan kepada rakyat.
Pasar yang lokasinya tepat di seberang Pura Mangkunegaran Solo ini awalanya merupakan kandang kuda (gedogan) milik Mangkunegaran. Uniknya pada awal pasar ini berdiri, tidak menjajakan barang antik sama sekali.
Semula pasar ini hanya terdiri atas sederetan meja yang berjajar untuk menjajakan jajanan pasar, kain, maupun majalah atau koran. Pada 1966, lorong Pasar Triwindu mulai dipenuhi onderdil, alat rumah tangga serta pertukangan, dan lain-lain.
Barang antik mulai menghiasi lorong Pasar Triwindu sejak 1970. Kala itu, para pedagang hanya menjajakan lampu gantung, peralatan makan dari perak, keramik dari China, dan lain sebagainya.
Selang 20 tahun, para pedagang mulai berinovasi untuk membuat produk baru bermotif antik. Akhirnya, eksistensi barang antik di Pasar Triwindu bertahan hingga saat ini.
Sempat Ganti Nama
Sempat berganti nama jadi Pasar Windu Jenar, akhirnya pada 17 Juni 2011 diputuskan nama pasar yang kerap didatangi wisatawan mancanegara ini kembali jadi Pasar Triwindu.
Saat Bom Bali terjadi pada 2002, aktivitas ekonomi di pasar ini ikut terpengaruh. Minimnya turis mancanegara yang berkunjung berdampak kepada penghasilan para pedagang.
Setelah rentetan historis Pasar Triwindu ini berlalu, kini Pasar Triwindu kembali berjaya dan jadi surganya para pengoleksi barang antik. Tidak hanya dari Solo, namun dari berbagai kota lainnya.
Seluruh penjuru lorong Pasar Triwindu dipenuhi ribuan barang antik. Mulai dari mesin tik lawas hingga peralatan elektronik jadul. Keunikan Pasar Triwindu menjadi daya tarik tersendiri bagi turis lokal maupun mancanegara.
Tak tanggung-tanggung, turis dari berbagai negara sukarela datang untuk membelanjakan uang mereka di Pasar Triwindu ini.
Kepada jeda.id, Kamis (17/10/2019), Supardi, 38, seorang pedagang di Pasar Triwindu, menceritakan kisahnya. Pria ini sudah berdagang barang antik sejak 2012.
Walau kini ia menggeluti bisnis barang antik, awalnya Supardi bukanlah pengoleksi barang klasik. Bermula dari terbiasa membantu rekan kerjanya, kini dia merintis usahanya sendiri.
”Sebenarnya saya sudah jualan di sini [Pasar Triwindu] sejak lama, tapi waktu itu saya hanya ikut orang. Tapi karena kebiasaan, akhirnya saya jadi ingin buka usaha sendiri,” ujar dia.
Singgah di kios milik Supardi, terlihat banyak barang antik terpanjang di dinding. Mulai dari timbangan emas jadul, hingga beragam sparepart kuno.
Harganya beragam, mulai dari Rp5.000 hingga jutaan rupiah. Bahan, kelangkaan, dan kualitas jadi faktor utama perbedaan harga. Supardi mendapatkan semua barang antik ini dari pengepul atau tukang rongsok.
”Saya dapat barang antik dari pengepul atau tukang rongsok. Soalnya, kalau cari di Solo sudah enggak ada. Jadi saya kalau cari harus ke pelosok desa,” katanya.
Selain menjelajah pelosok desa, Supardi juga membeli barang antik ke penjualnya langsung. ”Enggak pakai pihak kedua atau ketiga, karena harganya lebih mahal,” tuturnya.
Turun Temurun
Kepala Pasar Triwindu Joko Sumarno menjelaskan mayoritas pedagang di pasar ini sudah turun temurun dari generasi sebelumnya. Artinya, ada regenerasi pedagang dari orang tua ke anak-anak mereka.
Apa yang dikatakan Joko Sumarno, terbukti dari kisah Fitria Kiki, 22. Perempuan yang akrab disapa Kiki, adalah pedagang termuda di Pasar Triwindu. Dia adalah generasi keempat di keluarganya yang berdagang di Pasar Triwindu.
Tidak hanya Kiki yang menjajakan barang antik, orang tuanya pun hingga kini masih berjualan di pasar yang sama. Barang antik yang dijajakan Kiki dan keluarganya, seperti guci keramik, lampu gantung, patung, dan lain sebagainya.
Serupa dengan Supardi, Kiki juga mematok harga yang berbeda untuk masing-masing barang dagangannya. ”Kalau lampu gantung kisaran harganya sekitar Rp400.000 sampai Rp750.000, tergantung ukurannya sih,” kata Kiki.
Pembeli barang klasik milik Kiki tidak hanya dari sekitar Solo. Ada yang dari luar Pulau Jawa, bahkan dari Belanda dan Jepang.
Perkembangan teknologi informasi mengharuskan pedagang barang antik di Pasar Triwindu harus lebih kreatif. Tak hanya itu, kreativitas juga harus berkembang berkaitan dengan aneka dagangan barang antik.
”Kalau pedagang kreatif mungkin dalam hal modifikasi. Tentunya hal ini bisa menarik pembeli sehingga kios ramai dikunjungi,” ujar Joko Suwarno.
Joko mengutarakan jika pedagang di Pasar Triwindu melakukan berbagai bentuk promosi. Ada yang mengikuti pameran, promosi di dunia maya, sampai gaya konvensional yaitu gethok tular (dari mulut ke mulut).
”Kalau dari kami [pengelola pasar], ya mengajak beberapa pedagang untuk ikut pameran. Entah di Jakarta atau Bandung, kami ajak mereka,” ujarnya.
Gethok Tular Ampuh
Gethok tular bisa dibilang menjadi gaya promosi konvensional, namun terbukti masih ampuh di Pasar Triwindu. ”Biasanya kalau sudah ikut pameran, otomatis akan ada gethok tular. Pengunjung pameran yang sudah pernah membeli, akan promosi ke orang lain,” tutur Joko.
Supardi mengakui hal itu. Menurut Supardi, gethok tular lebih efektif dibanding media sosial. ”Saya promosi juga lewat Internet, seperti Facebook. Tapi itu kurang efektif, karena persaingannya ketat. Beda sama gethok tular, itu lebih efektif sih dalam promosi,” jelasnya.
Kiki yang merupakan generasi milenial pun juga tetap menerapkan gethok tular. Sebagai generasi kekinian di Pasar Triwindu, Kiki juga promosi melalui media sosial, namun gethok tular tidak ditinggalkan karena juga masih efektif menggaet pembeli.
”Awalnya saya pakai Olx lalu saya beralih ke Instagram. Nah, selanjutnya saya pakai WhatsApp. Tapi selain itu juga ada gethok tular, kayak promosi dari orang ke orang pasti juga ada,” kata dia.
Meski gethok tular termasuk gaya konvensional, namun dalam Repository UGM, yang dikutip Kamis (17/10/2019), gethok tular terbagi jadi dua, yakni tradisional dan elektronik.
Gethok tular tradisional mengandalkan tatap muka sebagai media promosinya. Sedangkan gethok tular elektronik, menggunakan media sosial dan sejenisnya.
Lantas, mengapa gethok tular dianggap lebih efektif? Jawabannya, kekuatan jaringan many to many lebih efektif dibanding one to one. Gethok tular juga menciptakan citra positif bagi para pedagang.
Alasannya, pembeli sudah menaruh kepercayaan pada para pedagang. Kiki juga mengatakan jika kepercayaan itu penting dalam menjalani bisnis ini. “Kalau bagi saya, yang penting pembeli sudah menaruh kepercayaan kepada saya,” kata Kiki.
Gethok tular tampaknya sudah jadi tradisi tersendiri bagi pedagang barang antik di Pasar Triwindu. Ini pula yang menjadikan pasar antik ini tetap langgeng.