Para ahli menemukan ada dampak jangka panjang yang dirasakan pada penyintas Covid-19, salah satunya berupa sulit bernapas.
JEDA.ID-Para ahli menemukan ada dampak jangka panjang pada pasien yang sembuh dari virus corona atau Covid-19. Ada sejumlah gejala yang ditemukan pascapemulihan.
Melansir dari Express UK, Senin (20/7/2020), Direktur Lembaga Rehabilitasi Pasca-Covid, Dr Piero Clavario, mengatakan efek pertama yang masih dirasakan yakni kesulitan bernapas.
Hal ini diketahui dari pengamatan Clavario dan timnya terhadap para penyintas Covid-19.
Pengamatan dilakukan bukan hanya pasien yang pernah berada di ICU dan diintubasi karena Covid-19, tetapi juga pasien yang menghabiskan tidak lebih dari tiga hari di rumah sakit dan kemudian pulang.
“Kami menyelidiki aspek yang lolos dari tes virologi dan paru standar,” ujar Clavario seperti dikutip dari Bisnis.com, Senin (20/7/2020).
Salah satu yang diamati yakni penyelam profesional Emiliano Pescarolo yang telah dites positif Covid-19 pada Maret. Pescarolo menghabiskan 17 hari di rumah sakit di kota pelabuhan Italia Genoa.
Wahai Kaum Pria, 8 Gaya Rambut Keren Ini Bisa Anda Coba
Tiga bulan kemudian pria 42 tahun itu menjelaskan bahwa dia masih kesulitan bernapas.
“Setelah kembali ke rumah, bahkan setelah berminggu-minggu, saya tidak bisa melihat kemajuan. Jika saya berjalan-jalan kecil, rasanya seperti mendaki Gunung Everest. Aku kehabisan napas juga saat berbicara,” beber Percarolo.
Selain masalah pernapasan yang berkepanjangan, kabut otak juga digambarkan sebagai gejala yang bertahan lama. Pescarolo mengatakan dia kesulitan berkonsentrasi dan khawatir tentang kekuatan kognitifnya.
“Saya tidak ingat hal-hal sederhana, terutama ingatan jangka pendek,” katanya.
Seperti Pescarolo, Margaret O’Hara merasakan pikirannya tampak jauh kurang tajam bahkan setelah pulih. O’Hara tertular virus corona pada Maret dan menggambarkan penyakitnya seperti ditabrak bus.
Sasar 1,7 Juta Pekerja Terdampak Corona, Ini Cara Daftar Kartu Pra Kerja Gelombang 4
Dia menjelaskan gejala awalnya berupa batuk, sesak napas, dan kelelahan yang membuatnya terbaring di tempat tidur selama dua hari.
“Jika itu bukan di tengah-tengah pandemi, saya akan turun di rumah sakit karena saya tidak bisa bernapas dengan benar,” katanya.
Di Inggris, komunitas penderita long Covid muncul secara online, ketika orang mencoba untuk mengelola apa yang tampaknya merupakan efek jangka panjang dari virus corona yang masih belum diketahui pasti.
Sementara itu, otoritas kesehatan di Inggris dan Italia, dua dari negara-negara Eropa yang paling parah terkena pandemi corona, mulai menawarkan layanan rehabilitasi kepada para penyintas Covid-19.
Penelitian sekarang menunjukkan bahwa corona adalah penyakit multi-sistem yang tidak hanya dapat merusak paru-paru, tetapi juga ginjal, hati, jantung, otak dan sistem saraf, kulit dan saluran pencernaan.
Cara Sederhana Bikin Bahagia saat Pandemi Virus Corona
Sebelumnya, penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang telah pulih dari Covid-19 dapat kehilangan kekebalan terhadap penyakit ini dalam beberapa bulan dan virus corona dapat menginfeksi kembali seperti flu.
Bisa Terinfeksi Lagi
Dilansir dari The Guardian, Senin (13/7/2020), dalam studi longitudinal pertama dari kategorinya, ilmuwan menganalisis respons imun lebih dari 90 pasien dan petugas kesehatan di Guy’s and St Thomas’ NHS Foundation Trust.
Hasilnya ditemukan bahwa antibodi yang dapat menghancurkan virus memuncak sekitar tiga pekan setelah timbulnya gejala umum. Akan tetapi, kemudian menurun dengan cepat.
Tes darah yang dilakukan mengungkapkan bahwa 60 persen orang menyusun antibodi kuat dalam pertempuran melawan virus corona. Namun, hanya 17 persen yang mempertahankan potensi yang sama dalam tiga bulan mendatang.
Ditemukan juga bahwa tingkat antibodi turun sebanyak 23 kali lipat selama periode tersebut. Bahkan dalam beberapa kasus, antibodi yang melawan virus corona baru di dalam tubuh itu menjadi tidak terdeteksi.
“Orang-orang menghasilkan respons antibodi yang masuk akal terhadap virus, tetapi itu memudar dalam waktu singkat dan tergantung pada seberapa tinggi puncak yang terjadi, yang menentukan berapa lama antibodi bertahan,” kata Katie Doores, penulis utama penelitian dari King’s College London.
Adapun Jonathan Heeney, ahli virologi di University of Cambridge mengatakan penelitian ini mengkonfirmasi bukti yang berkembang bahwa kekebalan terhadapa Covid-19 memiliki umur yang penting.
“Saya tidak bisa menggarisbawahi betapa pentingnya masyarakat memahami bahwa terinfeksi oleh virus ini bukan hal yang baik. beberapa orang terutama kaum muda menjadi agak angkuh tentang infeksi, berpikir mereka akan berkontribusi terhadap herd immunity,” katanya.
“Mereka tidak hanya menempatkan diri mereka dan yang lain dalam risiko infeksi juga kehilangan kekebalan, mereka bahkan menempatkan diri pada risiko yang lebih besar dari penyakit paru-paru parah yang akan terjadi jika mereka terinfeksi kembali di tahun mendatang,” imbuhnya.