• Thu, 28 March 2024

Breaking News :

Survei Unicef: 30 Persen Anak Alami Kekerasan Verbal Saat Belajar Daring

Pada survei Unicef sekitar 30 persen anak mengalami kekerasan verbal ketika menjalani pembelajaran secara daring.

JEDA.ID-United Nations International Children’s Fund (Unicef) mencatat dari 1.000 – 1.200 responden surveinya, 200-300 di antaranya mengalami kekerasan verbal saat pelaksanaan belajar daring.

Pemerhati kesehatan jiwa anak dari Unicef, Ali Aulia Ramly, mengatakan bahwa jumlah kejadian kekerasan pada anak di Indonesia memang tinggi dan mengkhawatirkan.

“Pada survei Unicef sekitar 30 persen anak mengalami kekerasan ketika menjalani pembelajaran secara daring,” terangnya dalam dialog yang digelar Gugus Tugas Penanganan Covid-19, seperti dikutip dari bisnis.com, Senin (20/7/2020).

Menurut Ali, dalam menghadapi masa pandemi ini, Indonesia punya kesempatan pendidikan secara daring, tapi risiko yang ditimbulkan juga besar, termasuk masalah kejiwaan pada anak.

Sleeping Beauty Syndrom, Apa dan Mengapa Bisa Terjadi?

“Karena berdasarkan data survei tadi, dan data secra global juga, persoalan bukan hanya karena anak diam di rumah, tapi ada tekanan psikologis ketika kekerasan jadi meningkat di dalam rumah, ini harus jadi perhatian bersama,” kata dia.

Contoh kekerasan verbal yang kadang tak disadari orang tua atau lingkungan sekitar anak misalnya adalah menjelekkan atau merendahkan anak ketika tidak bisa melakukan tugasnya seperti ketika tidak bisa menyalakan komputer atau mengerjakan tugas dari guru.

Belum lagi, kadang orang tua suka melakukan kekerasan fisik seperti mencubit untuk mendisiplinkan karena tida bisa mengerjakan tugasnya. Ini bisa masuk dalam kekerasan fisik dan mengganggu kejiwaan anak.

“Ini hal yang tampaknya perlu kita pahami, perlu kita perhatikan dan kita cegah,” tambah Aulia.

Perhatikan Screen Time Anak

Selain mencegah terjadinya kekerasan verbal kepada anak, orang tua juga disarankan untuk memerhatikan screen time anak.

Pandemi Covid-19 membuat kegiatan anak-anak dan orang tua jadi harus dilakukan sepenuhnya di rumah, termasuk belajar di rumah bagi anak. Orang tua diharapkan tetap memperhatikan penggunaan gawai pada anak di tengah kesibukan bekerja.

Dr. dr. I Gusti Ayu Trisna Windiani, SpA(K) dari RSUP Sanglah Denpasar mengatakan dari momentum pandemi Covid-19, semestinya bisa digunakan orang tua untuk lebih ketat mengawasi tumbuh kembang anak.

“Dengan belajar dari rumah, screen time-nya akan lebih banyak. Kalau orang tua tidak bisa mengontrol, anak akan menghabiskan waktu berjam-jam di depan gadget atau TV. Dengan ini anak akan bisa kecanduan,” kata Trisna.

Waspada Dampak Jangka Panjang Covid-19, Mulai Sulit Bernapas Hingga Kabut Otak

Belum lagi di TV ada program-program yang mengandung unsur kekerasan. Oleh karena itu, dari sisi konten, orangtua juga harus berperan penuh menyaring dan mendampingi anak terkait dengan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilihat.

“Kalau sampai kecanduan nanti dampak psikologisnya banyak, anak bisa stres, jenuh, bisa jadi depresi dan sebagainya,” ungkap Trisna.

Dia menyebut, untuk anak-anak yang belum usia sekolah dan belum betul-betul perlu menggunakan gawai, agar tidak menggunakannya atau pakai maksimal 1 jam-2 jam sehari.

Menurutnya, dengan seluruh keluarga berkumpul di rumah saat pandemi harus dijadikan momentum memacu tumbuh kembang anak dengan stimulasi positif.

Kekerasan anak meningkat saat pandemi corona (ilustrasi/freepik)

Kekerasan anak meningkat saat pandemi corona (ilustrasi/freepik)

Adanya pembatasan sosial, belajar di rumah, diharapkan bisa menjadi waktu untuk berkomunikasi dan interaksi dengan anak.

Dengan demikian, untuk anak batita atau balita yang sedang belajar bicara juga lebih terstimulasi dari sisi bahasa, sehingga bisa lebih lancar bicara.

“Stimulasi bisa dilakukan dnegan mengajak anak ikut andil dalam kegiatan yang kita lakukan sehari-hari sesederhana mencuci baju atau masak. Kita kan punya waktu untuk melakukan family interest, yang dulunya enggak pernah masak jadi masak, enggak pernah berkebun jadi berkebun,” imbuhnya.

Adapun stimulasinya tetap harus mengikuti prinsip berikut:

1. Diberikan dengan penuh kasih sayang,

2. Memperhatikan/peka terhadap anak, apa yang mereka inginkan.

3. Memberikan stimulasi di semua sektor perkembangan

4. Dengan menggunakan alat mainan edukatif

5. Stimulasi sesuai dengan usianya.

6. Harus konsisten, setiap hari untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Ditulis oleh : Astrid Prihatini WD

Sign up for the Newsletter

Join our newsletter and get updates in your inbox. We won’t spam you and we respect your privacy.