Tahapan dan jadwal Pilkada 2020 harus menjadi perhatian khususnya bagi penyelenggara pemilu di 270 daerah yang menggelar pesta demokrasi.
JEDA.ID–Pilkada serentak di 270 daerah akan digelar pada 23 September 2020. Lewat Peraturan KPU No. 19/2019, KPU telah mengatur jadwal dan tahapan pilkada.
Tahapan awal pilkada 2020 dimulai 30 September 2019 ini berupa perencanaan program dan anggaran oleh KPU di daerah. Pilkada 2020 akan digelar serentak di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Daerah yang paling banyak menggelar pesta demokrasi pada 2020 adalah Sumatra Utara dengan 23 daerah disusul Jawa Tengah dengan 21 daerah dan Jawa Timur 19 daerah.
Ketua KPU Arief Budiman meminta semua pihak mempelajari PKPU yang mengatur tentang jadwal dan tahapan pilkada 2020. Semua penyelenggara pemilu di daerah wajib mengetahui detail jadwal pilkada.
Perincian Jadwal Pilkada
Berikut perincian jadwal dan tahapan pilkada 2020 sebagaimana tertulis dalam PKPU No. 19/2019.
- Perencanaan program dan anggaran 30 September 2019
- Penyusunan dan penandatanganan naskah hibah daerah 1 Oktober 2019
- Pembentukan PPK, PPS, KPPS 1 Januari 2020-21 Agustus 2020
- Pendaftaran pemantau pilkada 1 November 2019-16 September 2020
- Pendaftaran pelaksana survei dan hitubng cepat pilkada 1 November 2019-23 Agustus 2020
- Penerimaan daftar penduduk potensial pemilih (DP4) sampai sinkronisasi 20 Februari 2020-27 Maret 2020
- Penyusunan daftar pemilih oleh KPU daerah 27 Maret 2020-16 April 2020
- Rekapitulasi daftar pemilih hasil pemutakhiran tingkat kabupaten/kota untuk ditetapkan sebagai DPS 5 Juni 2020-14 Juni 2020
- Pengumuman DPT oleh PPS 1 Agustus 2020-20 Srptember 2020
- Pendaftaran pasangan calon 16 Juni 2020-18 Juni 2020
- Penetapan pasangan calon 8 Juli 2020
- Pengundian nomor urut 9 Juli 2020
- Masa kampanye 11 Juli 2020-19 September 2020
- Pemungutan suara di TPS 23 September 2020
- Rekapitulasi di kecamatan 24 September 2020-28 September 2020
- Rekapitulasi dan penetapan di KPU daerah tingkat kabupaten/kota 29 September 2020-1 Oktober 2020
- Rekapitulasi dan penetapan di KPU daerah tingkat provinsi 2 Oktober 2020-4 Oktober 2020
KPU ingin partisipasi pemilih sebesar 81 persen di Pemilu 2019 bisa diulang pada Pilkada 2020. Harapan besar agar partisipasi pemilih meningkat dalam pilkada harus diimbangi dengan pemahaman penyelenggara di 270 daerah.
Sebab, dinamika pemilihan yang berskala lokal berbeda dengan dinamika pemilu yang berskala nasional. Hal ini yang disampaikan tiga anggota KPU Wahyu Setiawan, Ilham Saputra, serta Evi Novida Ginting Manik, sebagaimana dikutip dari laman KPU.
“Di 2020 kita akan hadapi tantangan berbeda. Tentu pertarungan politik ada ditingkatkan lokal dan teman-teman akan berhadapan langsung. Dan menyelenggarakan pemilihan berbeda dengan pemilu,” ucap Evi.
Ketiganya juga mengingatkan pentingnya soliditas, integritas dan profesionalitas dalam menghadapi situasi semacam itu. Jadwal pilkada harus menjadi panduan bagi para penyelenggara pemilu.
Hoaks di Pilkada
Salah satu tantangan dalam pilkada adalah potensi hoaks dan ujaran kebencian yang dinilai akan kembali muncul. Kabar bohong dan ujaran kebencian ini perlu disikapi serius agar tidak terjadi konflik horizontal masyarakat di tingkat lokal.
Guru besar FISIP Universitas Airlangga Henry Subiakto menyatakan hoaks politik memiliki sejumlah ciri yang mudah dianalisis. Ciri-ciri tersebut di antaranya pesan yang dirancang menciptakan ketidakpercayaan, sumber informasinya tidak jelas, mengeksploitasi fanatisme SARA, tidak memiliki unsur 5W+1H, dan menggunakan kata-kata provokatif.
Hoaks pada Pemilu 2019 juga masih berpotensi muncul dalam Pilkada 2020. Sebab, saat ini hoaks sudah menjadi bisnis politik dengan sasaran masyarakat mayoritas,” ujar dia sebagaimana dikutip dari rumahpemilu.org.
Menurut Henry, hoaks ampuh untuk menggiring opini dan menarik suara masyarakat. Hoaks juga dipercaya dapat menjadi alat sukses politik di sejumlah negara. Memproduksi hoaks dinilai lebih murah dan berisiko kecil terhadap hukum dibandingkan dengan melakukan politik uang.
”Hoaks itu mengeksploitasi keyakinan, fanatisme identitas, dan prasangka sosial. Hoaks menyerang lembaga-lembaga, mendelegitimasi, dan merongrong proses demokrasi untuk kepentingan kekuasaan,” kata dia.