• Fri, 19 April 2024

Breaking News :

Cerita Politik Dinasti Orang Tua-Anak di Indonesia

Buruknya proses kaderisasi partai politik dan tiadanya sistem internal partai yang demokratis menyebabkan bangkitnya politik dinasti.

JEDA.ID–Pilkada 2018 bisa dibilang menjadi ”kuburan” politik dinasti. Mayoritas calon kepala daerah yang punya pertalian dengan dinasti tumbang dalam kompetisi elektoral.

Kala itu yang kerap menjadi sorotan adalah tumbangnya dua dinasti bapak-anak dalam Pilgub Sumatra Selatan (Sumsel) dan Pilgub Kalimantan Barat (Kalbar).

Di Sumsel, duet Dodi Reza Alex Nordin-Giri Ramanda Kiemas kalah dari pasangan Herman Deru-Mawardi Yahya. Dodi Reza merupakan anak Gubernur Sumsel yang kala itu, Alex Noerdin yang memimpin provinsi itu sejak 2008.

Di Kalbar, Karolin Margret Natasa yang berpasangan dengan Suryadman Gidot kalah dari Sutarmidji-Ria Norsan. Karolin adalah putri Gubernur Kalbar kala itu, Cornelis yang sudah dua periode menjabat. Karolin juga pernah menjadi anggota DPR dari PDIP. Dia menjadi caleg peraih suara terbanyak dalam Pemilu 2014 lalu.

Selain memiliki pertalian dengan politik dinasti dan kalah dalam pilgub, Dodi Reza dan Karolin, juga memiliki kesamaan lain. Keduanya sama-sama maju menjadi calon gubernur di masing-masing provinsi sekitar satu tahun setelah menang dalam Pilkada 2017.

Dodi Reza bersama Beni Hernedi memenangi Pilkada Musi Banyuasin pada 2017 dengan mendulang 212.800 suara. Sedangkan Karolin berduet dengan Herculanus Heriadi menjadi jawara dalam Pilkada Landak 2017.

Setelah gagal dalam pilgub 2018, Dodi Reza kembali menjadi Bupati Musi Banyuasin dan Karolin kembali menjadi Bupati Landak. Artinya meski gagal dalam pilgub, dinasti di Sumsel dan Kalbar tak sepenuhnya tumbang. Apalagi, ayah mereka, Alex Noedin dan Cornelis sama-sama lolos ke Senayan menjadi anggota DPR periode 2019-2024.

Dinasti Asrun

Dinasti yang benar-benar tumbang dalam pilkada 2018 adalah dinasti politik keluarga Asrun. Asrun adalah calon gubernur Sulaweasi Tenggara pada 2018 lalu. Mantan Wali Kota Kendari dua periode ini ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan pada 28 Februari 2018 lalu.

Anaknya Adriatma Dwi Putra yang menjadi Wali Kota Kendari juga ikut ditangkap lembaga antirasuah. Ada suap yang diterima Adriatma untuk kepentingan kampanye ayahnya.

Asrun pun kalah dalam Pilgub Sulawesi Tenggara pada 2018 lalu. Sedangkan Adriatma lengser dari posisi Wali Kota Kendari. Keduanya dihukum masing-masing 5,5 tahun penjara atas kasus korupsi.

Cerita politik dinasti orang tua-anak di Tanah Air tidak bisa dilepaskan dari beberapa kasus korupsi yang menjerat kepala daerah. Di Banten ada mantan Gubernur Banten Ratu Atut Choisyah yang dihukum atas beberapa kasus korupsi.

Kerabatnya hingga kini menguasai beberapa jabatan strategis di provinsi itu. Salah satunya adalah anaknya, Andika Hazrumy yang menjadi Wakil Gubernur Banten.

Ada pula kasus korupsi Yan Anton yang saat ditangkap KPK menjabat Bupati Banyuasin. Yan Anton merupakan penerus ayahnya Amirddin Inoed yang memimpin daerah itu sebelumnya.

Kemudian Wali Kota Cilegon Iman Ariyadi yang juga ditangkap KPK pada 2017 karena suap. Dia divonis 6 tahun penjara terkait suap perizinan pembangunan pusat perbelanjaan.

Imam adalah anak mantan Wali Kota Cilegon Aat Syafa’at yang memimpin Cilegon pada 2000-2010. Aat sendiri juga terjerat KPK dalam kasus korupsi pembangunan Dermaga Trestle Kubangsari, Kota Cilegon. Dia divonis 3,5 tahun penjara.

Fungsi Partai Politik

ICW menyebut perkembangan politik dinasti tidak lepas dari lemahnya partai politik menjalankan fungsinya. Buruknya proses kaderisasi partai politik dan tiadanya sistem internal partai yang demokratis menyebabkan bangkitnya politik dinasti.

”Tak ayal, banyak parpol yang mengader calon kepala daerah hanya berdasarkan hubungan kekeluargaan dari mereka yang sedang berkuasa tanpa mempertimbangkan kompetensi dan integritas. Pada prakteknya, politk dinasti cenderung melanggengkan KKN, sehingga upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik sulit tercapai,” sebut ICW sebagaimana dikutip dari laman antikorupsi.org, Rabu (31/7/2019).

Fenomena politk dinasti memang merupakan konsekuensi dari demokrasi. Namun jika politik dinasti terus dibiarkan, bukan hanya mencederai upaya membangun budaya antikorupsi, tetapi kontestasi politik dalam pilkada akan menjadi semu.

”Karena larangan politik dinasti dalam pilkada telah dibatalkan MK, kunci untuk membendung fenomena ini adalah dengan pemberdayaan pemilih. Pemilih adalah pihak yang paling menentukan apakah calon tertentu bisa menang atau tidak,” sebut ICW.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai dinasti politik yang terjadi di daerah-daerah memang rentan korupsi.

Hal itu terjadi karena dinasti politik di Indonesia masih mengabaikan kompetensi dan integritas saat hendak melanjutkan kekuasaan pada momen pilkada lewat calon yang diusung.

Semestinya, dinasti politik tetap memprioritaskan aspek kompetensi dan integritas agar kepala daerah yang muncul betul-betul mampu secara mandiri mengelola tatanan dan pembangunan di daerahnya.

”Dinasti politik di kita memang rentan korup, karena yang terpenting bagi mereka [pihak yang melakukan dinasti politik] adalah bagaimana melanggengkan kekuasaan, bukan pada kompetensi dan integritas,” ujar dia beberapa waktu lalu sebagaimana dikutip dari laman Perludem.

Ditulis oleh : Danang Nur Ihsan

Sign up for the Newsletter

Join our newsletter and get updates in your inbox. We won’t spam you and we respect your privacy.