• Thu, 21 November 2024

Breaking News :

Daftar Pasal Bermasalah di UU KPK sampai RKUHP yang Bikin Mahasiswa Turun ke Jalan

Mahasiswa dan masyarakat sipil membelejeti berbagai pasal bermasalah di UU KPK yang sudah disahkan sampai RUKHP dan RUU Pertanahan yang akhirnya urung ditetapkan menjadi UU.

JEDA.ID–Mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya di berbagai kota menggelar aksi unjuk rasa menolak UU KPK, RKUHP, sampai RUU Pertanahan. Mereka membelejeti berbagai pasal bermasalah di UU KPK yang sudah disahkan sampai RUKHP dan RUU Pertanahan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) memaparkan ada 15 pasal bermasalah di UU KPK yang baru disahkan DPR dan pemerintah yang akan memperlemah lembaga antikorupsi.

Berikut 15 pasal bermasalah di UU KPK yang akan melemahkan KPK seperti dalam siaran pers ICW yang dikutip dari laman antikorupsi.org, Selasa (24/9/2019).

KPK Tidak Lagi Lembaga Negara Independen

Pasal 1 ayat (3), Pasal 3 UU KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan undang-undang ini.

Penjelasan: Aturan ini bertabrakan dengan empat putusan Mahkamah Konstitusi sekaligus, yakni tahun 2006, 2007, 2010, dan 2011. Pada putusan tersebut menegaskan bahwa KPK bukan bagian dari eksekutif, melainkan lembaga negara independen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU KPK sebelumnya.

Pembentukan Dewan Pengawas

Pasal 21 ayat (1) huruf a, Pasal 37 A UU KPK: KPK terdiri atas a) Dewan Pengawas yang berjumlah 5 orang; Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK dibentuk Dewan Pengawas.

Penjelasan: Konsep lembaga negara independen pada dasarnya tidak mengenal kelembagaan pengawas, namun yang dijadikan fokus adalah membangun sistem pengawasan.

Secara konsep teori, logika DPR dan pemerintah keliru. KPK selama ini telah diawasi oleh publik, dalam hal keuangan mekanisme audit dari Badan Pemeriksa Keuangan, kinerja melalui DPR dengan forum Rapat Dengar Pendapat, dan lembaga antirasuah itu secara berkala melaporkan kinerja kepada Presiden. Khusus langkah penindakan, KPK bertanggung jawab pada institusi kekuasaan kehakiman.

Kewenangan Berlebih Dewan Pengawas

Pasal 37 B ayat (1) huruf b: Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.

Penjelasan: Kewenangan pro justicia seperti itu semestinya tidak diberikan pada organ khusus yang semestinya bekerja pada tataran pengawasan administratif.

Sekalipun Dewan Pengawas tidak dibutuhkan KPK saat ini, namun dengan kewenangan besar seperti itu terlihat pembentuk UU tidak memahami bahwa dalam regulasi KUHAP hanya pengadilan yang berwenang mengeluarkan izin. Sedangkan Dewan Pengawas sendiri bukan bagian dari penegak hukum.

Dewan Pengawas Campur Tangan Eksekutif

Pasal 37 E ayat (1): Ketua dan anggota Dewan Pengawas ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.

Penjelasan: Pengangkatan Dewan Pengawas yang dilakukan oleh Presiden dikhawatirkan melunturkan sikap independensi penegakan hukum di KPK. Sebab, kewenangan yang diperoleh oleh Dewan Pengawas amat besar, hingga pada izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

KPK Tidak Bisa Membuka Kantor Perwakilan

Pasal 19 ayat (1): KPK berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Penjelasan: Pasal ini jelas menghilangkan kewenangan KPK untuk membuka kantor perwakilan di daerah provinsi sebagaimana diatur pada Pasal 19 ayat (2) UU KPK sebelumnya.

Mengingat maraknya kejahatan korupsi pada tingkat provinsi ataupun level kota harusnya opsi KPK dapat membuka kantor perwakilan tetap dimasukkan.

Kaum Muda Tidak Bisa Menjadi Pimpinan KPK

Pasal 29 huruf e: Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan KPK harus memenuhi persyaratan berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan.

Penjelasan: Tidak ada argumentasi logis yang membenarkan pasal ini. Dalam aturan sebelumnya Pimpinan KPK dapat berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun. Tentu ini akan berdampak akan hilangnya kesempatan kaum muda yang ingin mendaftar sebagai Pimpinan KPK.

KPK Dapat Menghentikan Penanganan Perkara

Pasal 40 ayat (1): Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.

Penjelasan: KPK sewaktu-waktu dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Tentu poin ini akan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003, 2006, dan 2010 yang secara tegas melarang KPK untuk mengeluarkan SP3.

Ini semata-mata agar KPK lebih berhati-hati sebelum menentukan sebuah perkara masuk pada ranah penyidikan. Jika pun setelah masuk ranah penyidikan namun bukti yang ditemukan dinyatakan tidak cukup maka perintah putusan MK perkara itu tetap harus dilimpahkan ke persidangan dan terdakwa harus dituntut lepas atau bebas.

Perkara Besar & Rumit Berpotensi Dihentikan

Pasal 40 ayat (1): Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.

Penjelasan: Dengan adanya batasan waktu penyidikan ataupun penuntutan hanya 2 (dua) tahun maka akan menyulitkan KPK membongkar kasus-kasus besar yang tergolong rumit dibuktikan.

Contoh, perkara korupsi KTP-El saja memakan waktu 2 tahun untuk memperoleh penghitungan kerugian negara. Lagi pun pada dasarnya setiap perkara memiliki kerumitan pengungkapan yang berbeda-beda, jadi tidak tepat jika harus dibatasi waktu tertentu.

Menggerus Kewenangan Pimpinan KPK

Pasal 21 ayat (4) sebagaimana diatur dalam UU KPK sebelumnya dihapus. Isinya: Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah penyidik dan penuntut umum.

Penjelasan: Penghilangan status penyidik dan penuntut pada Pimpinan KPK berakibat serius, karena Pimpinan KPK dapat dikatakan hanya menjalankan fungsi administratif, tidak bisa masuk lebih jauh dalam penindakan.

Jadi, ke depan Pimpinan KPK tidak bisa memberikan izin penyadapan, penggeledahan, maupun tindakan pro justicia lainnya. Pasal dalam UU KPK ini akan menjadi masalah di kemudian hari.

Pegawai KPK Jadi ASN

Pasal 1 angka 6, Pasal 24 ayat (2): Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.

Penjelasan: Selama ini tidak seluruh pegawai KPK termasuk dalam aparatur sipil negara. Sebab terdapat pegawai tetap KPK dan pegawai tidak tetap. Tentu atas kondisi seperti ini diperlukan penyesuaian kondisi yang cukup panjang.

Poin pentingnya adalah dalam konsep lembaga negara independen salah satu cirinya adalah kemandirian dalam sumber daya manusia. Tentu jika disamakan status kepegawaian akan menghilangkan status lembaga negara independen.

Perekrutan Penyelidik

Pasal 43, Pasal 43 A: Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal Komisi Pemberantasan Korupsi. Persyaratan menjadi penyelidik diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja sama dengan kepolisian dan/atau kejaksaan.

Penjelasan: Dengan adanya aturan ini menghilangkan independensi KPK dalam pengelolaan sumber daya manusia. Meskipun dibuka kesempatan dari instansi pemerintah lainnya dan/atau internal KPK namun dalam ayat selanjutnya mengharuskan adanya kerja sama dengan kepolisian dan atau kejaksaan dalam memenuhi persyaratan tertentu untuk menjadi penyelidik.

Menghilangkan Kewenangan KPK Mengangkat Penyidik Independen

Pasal 45, Pasal 45 A: Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, dan penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi.

Penjelasan: Aturan ini menegasikan Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2016 yang telah memberikan kewenangan pada KPK untuk merekrut penyidik di luar dari institusi kepolisian ataupun kejaksaan.

Secara spesifik MK menyebutkan bahwa praktik merekrut penyidik independen merupakan sebuah keniscayaan karena hal yang sama juga dilakukan oleh ICAC Hongkong dan CPIB Singapura.

Lain hal dari itu penting untuk mencegah adanya loyalitas ganda ketika penyidik yang berasal dari insitusi lain bekerja di KPK. Ini menjadi perhatian karena termasuk pasal bermasalah di UU KPK

Kewenangan Penyadapan KPK Terganggu

ilustrasi KPK (detik)

ilustrasi KPK (detik)

Pasal 37 B ayat (1) huruf b, Pasal 12 ayat (1): Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan; Dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan;

Penjelasan: Instrumen penyadapan merupakan salah satu alat bagi KPK untuk membongkar praktik kejahatan korupsi, utamanya pada tangkap tangan selama ini.

Data KPK menyebutkan bahwa sejauh ini KPK telah melakukan tangkap tangan sebanyak 123 kali dengan jumlah tersangka 432 orang. Poin pentingnya, sejak KPK berdiri hingga saat ini belum ada satupun terdakwa yang pada awalnya terjaring tangkap tangan divonis bebas oleh pengadilan.

Ini mengartikan bukti yang dihadirkan KPK ke persidangan telah teruji secara hukum. Selain itu aturan ini terlalu birokratis, karena menambah jenjang baru pemberian izin sadap, yakni Dewan Pengawas.

Penuntutan KPK Berkoordinasi aengan Kejaksaan Agung

Pasal 12 A: Dalam melaksanakan tugas penuntutan, penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan koordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Penjelasan: Jika ditelisik lebih jauh ketentuan ini maka institusi yang dimaksud untuk melaksanakan koordinasi bersama dengan KPK adalah kejaksaan. Pasal bermasalah di UU KPK ini menjadi perhatian karena pada dasarnya adalah institusi penegak hukum yang menggabungkan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap.

Tentu jika harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan kejaksaan dipastikan mengganggu ritme kerja KPK yang selama ini dikenal cepat dalam penuntasan sebuah perkara.

Hilangnya Kewenangan KPK Pada Tingkat Penyelidikan dan Penuntutan

Pasal 12 ayat (2): Dalam melaksanakan tugas penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

a. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri

b. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa

c. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait

d. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa

e. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri

f. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, oenahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani

Penjelasan: Perubahan ini tentu akan berdampak buruk bagi penegakan hukum di KPK.

Dalam undang-undang sebelumnya, kewenangan KPK yang luas pada tingkat penyelidikan sampai pada penuntutan terbukti mempermudah dan memaksimalkan kerja KPK dalam hal pengumpulan barang bukti yang nanti muaranya ada pada melancarkan proses penanganan perkara tersebut dan pembuktian kesalahan terdakwa di muka persidangan.

RKUHP

Selain UU KPK yang banyak menyisakan pasal bermasalah, mahasiswa dan masyarakat sipil mempersoalkan beberapa pasal di RKUHP. Beribut beberapa pasal kontroversial di RUU itu sebagaimana dikutip dari Detikcom.

Hukum Adat

Hukum adat menjadi salah satu pasal RUU KUHP yang kontroversi karena pelanggaran hukum adat di masayarakat bisa dipidana. Hal ini masuk dalam pasal nomor 2.

Kebebasan Pers dan Berpendapat

Dalam pasal kontroversial RUU KUHP nomor 218 ayat 1 tertulis bahwa setiap orang yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dapat dipidana. Bahkan hukumannya paling lama 3 tahun 6 bulan.

Aborsi

Tindakan aborsi diatur dalam pasal kontroversial RUU KUHP nomor 251, 470, 471, dan 472. Prinsipnya, semua bentuk aborsi adalah bentuk pidaha dan pelaku yang terlibat bisa dipenjara kecuali bagi korban pemerkosaan, termasuk tenaga medisnya tidak dipidana.

Kumpul Kebo

Pasal RUU KUHP tentang kumpul kebo diatur dalam pasal 417 ayat 1. Dalam pasal tersebut, tertulis bahwa setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan penjara paling alam 1 tahun atau denda kategori II.

Memelihara Hewan

Seseorang yang memelihara hewan tanpa pengawasan sehingga bisa membahayakan orang atau hewan lainnya dapat dipidana paling lama 6 bulan. Hal itu tertuang dalam pasal RUU KUHP nomor 340 RUU KUHP.

Gelandang Didenda

Pasal kontroversial RUU KUHP lainnya, mengenai denda yang diberikan pada gelandangan Rp1 juta. Aturan ini terdapat dalam Pasal nomor 432.

Alat Kontrasepsi

Dalam RUU KUHP nomor 414 menyebutkan setiap orang yang secara terang-terangan, mempertunjukan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan alat kontrasepsi kepada anak diancam pidana atau denda. Tercatat, perbuatan tersebut dapat dipidana paling lama enam bulan.

Korupsi

Bagi pelaku korupsi dalam RUU KUHP hanya dipidana selama dua tahun. Hukuman ini lebih ringan dibandingkan dalam KUHP yang lama, yakni hukuman paling sedikit enam tahun penjara.

Penistaan Agama

Dalam Pasal RUU KUHP 313 tentang penodaan agama seseorang bisa dipidana selama 5 tahun lamanya. Hal itu berlaku bagi orang yang menyiarkan, menunjukan, menempelkan tulisan, gambar, atau rekaman, serta menyebarluaskannya melalui kanal elektronik.

Santet

Tindakan santet bagi orang yang menawarkan jasa praktik ilmu hitam bisa diancam pidana. Hal itu tertuang dalam Pasal 252RUU KUHP.

Pencabulan Sesama Jenis

RUU KUHP yang kontroversial adalah pencabulan yang terdapat pada Pasal 421. Dalam draf aturan tersebut, makna pencabulan diluaskan kepada sesama jenis.

RUU Pertanahan juga ikut disorot mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di laman mereka mencatat ada 8 masalah dalam RUU Pertanahan.

Bertentangan dengan UUPA 1960

RUU Pertanahan ingin melengkapi dan menyempurnakan hal-hal yang belum diatur oleh UU Pokok Agraria (UUPA). Namun, substansinya semakin menjauh dan bahkan bertentangan dengan UUPA 1960.

Hak Pengelolaan (HPL) dan Penyimpangan Hak Menguasai dari Negara (HMN)

HPL selama ini menimbulkan kekacauan penguasaan tanah dan menghidupkan kembali konsep domein verklaring, yang tegas dihapus UUPA 1960.

Hak menguasai dari negara yang telah ditetapkan oleh Putusan MK No.001-021- 022/PUU-1/2003 telah diterjemahkan oleh RUU Pertanahan secara menyimpang dan powerful menjadi jenis hak baru yang disebut Hak Pengelolaan (HPL).

Hak Guna Usaha (HGU)

Dalam RUU Pertanahan, HGU tetap diprioritaskan bagi pemodal skala besar, tidak diarahkan untuk penciptaan keadilan agrarian melalui badan usaha milik rakyat (koperasi petani, koperasi masyarakat adat, koperasi nelayan, bumdes, dan bentuk badan usaha berbasis kerakyatan lainnya).

Selain itu, pembatasan maksimum konsesi perkebunan tidak mempertimbangkan luas wilayah, kepadatan penduduk dan daya dukung lingkungan.

Kekosongan Penyelesaian Konflik Agraria

demo

Aksi unjuk rasa menolak sejumlah RUU (Antara0

RUU ini tidak mengatur bagaimana konflik agraria struktural di semua sektor hendak diselesaikan. RUU Pertanahan menyamakan konflik agraria dengan sengketa pertanahan biasa, yang rencana penyelesaiannya melalui mekanisme win-win solutions atau mediasi, dan pengadilan pertanahan.

Karakter dan sifat konflik agraria struktural bersifat extraordinary crime, yakni berdampak luas secara sosial, ekonomi, budaya, ekologis dan memakan korban nyawa.

Permasalahan Sektoralisme Pertanahan dan Pendaftaran Tanah

Pendaftaran Tanah dalam RUU Pertanahan bukan merupakan terjemahan dari pendaftaran tanah yang dicita-citakan UUPA 1960 tentang kewajiban pemerintah mendaftarkan seluruh tanah di wilayah Indonesia.

Pendaftaran tanah di dalam RUU Pertanahan semata-mata untuk percepatan sertifikasi tanah dan bersifat diskriminatif terhadap wilayah konflik agraria, wilayah adat, dan desa-desa yang tumpang tindih dengan konsesi kebun dan hutan.

Pengingkaran Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Adat

Konstitusi sudah dengan jelas mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya. Namun, RUU Pertanahan tidak memiliki langkah konkrit dalam administrasi dan perlindungan hak ulayat masyarakat adat, atau yang serupa dengan itu.

Bahaya Pengadaan Tanah dan Bank Tanah

RUU Pertanahan bermaksud membentuk Bank Tanah. Jika dibentuk, Bank Tanah beresiko: memperparah ketimpangan dan konflik agraria; melancarkan proses-proses perampasan tanah atas nama pengadaan tanah untuk pembangunan; dan meneruskan praktek spekulan tanah.

Sumber tanah Bank Tanah justru berasal dari tanah Negara, sehingga berpotensi menghalangi agenda RA dan mengancam hak ulayat.

Awal mula konsep dan rencana pembentukan Bank Tanah adalah untuk menjawab keluhan investor soal hambatan pengadaan dan pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur dan proyek strategis nasional.

Ditulis oleh : Danang Nur Ihsan

Sign up for the Newsletter

Join our newsletter and get updates in your inbox. We won’t spam you and we respect your privacy.