• Thu, 28 March 2024

Breaking News :

Gejayan Dulu, Kini, dan Nanti

Kawasan Gejayan tidak hanya menjadi panggung ekonomi dan pendidikan di Jogja, namun juga kerap menyajikan panggung politik.

JEDA.ID–Ada yang menyebut dengan istilah Peristiwa Gejayan, ada pula yang menggunakan terminologi Tragedi Gejayan. Peristiwa kelam pada 8 Mei 1998 kembali mencuat saat ribuan orang turun ke jalan mengikuti aksi #GejayanMemanggil, Senin (23/9/2019).

Aksi #GejayanMemanggil diikuti ribuan orang yang terdiri atas mahasiswa dari berbagai kampus dan elemen warga di DIY. Mereka berkumpul di simpang tiga Jl. Colombo, Gejayan, Condong Catur, Sleman, DIY.

Simpang tiga Colombo ini merupakan titik temu antara Jl. Colombo dengan Jl. Affandi (dulu dikenal dengan nama Jl. Gejayan). Massa menyerukan menolak UU KPK, menolak pelemahan KPK, menolak RUU Pertanahan, dan menolak RKUHP.

Mereka juga menuntut negara untuk mengusut dan mengadili elite yang merusak lingkungan, mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, serta mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.

Sebuah keranda berbahan bambu dan kertas bertuliskan “Save KPK” tampak dipanggul oleh sejumlah peserta yang berada di titik pusat kasi tersebut. ”DPR kartu kuning, pemerintah kembalikan hak-hak rakyat,” teriak seorang orator yang diikuti peserta aksi.

Seruan #GejayanMemanggil menggema dalam beberapa hari terakhir sebelum aksi. Mahasiswa di Jogja menyerukan aksi unjuk rasa bertajuk #GejayanMemanggil.

Sikap Rektor

gejayan

Aksi #GejayanMemanggil (Detikcom)

Sampai-sampai aksi ini direspons para rektor perguruan tinggi di Jogja. Mereka mengeluarkan surat edaran yang menyatakan tidak terlibat dan tidak mendukung aksi #GejayanMemanggil.

Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Panut Mulyono melalui surat edaran yang diterbitkan, Senin, menegaskan aksi tersebut diminta untuk tidak melibatkan UGM dalam bentuk apa pun dan segala hal yang dilakukan atas aksi tersebut menjadi tanggung jawab pribadi.

“UGM tidak terlibat dan mendukung aksi tersebut,” kata Panut dalam Surat Edaran bernomor 6909/UN1.P/HMP/HM/2019.

Panut dalam edaran itu juga mengatakan bahwa kegiatan akademik pada 23 September tetap berjalan seperti biasa. Untuk itu, para mahasiswa, dosen, maupun tenaga kependidikan di lingkungan UGM diminta untuk tetap melakukan aktivitas akademik seperti biasa.

Pernyataan senada datang dari Rektor Universitas Sanata Dharma (USD), Johanes Eka Priyatma, dalam surat edarannya. Dia menyebut kampus tidak terlibat dan terikat dalam gerakan tersebut.

”Universitas Sanata Dharma tidak mendukung gerakan tersebut oleh karenanya tidak jelasnya tujuan dan penanggungjawabnya,” kata Eka dalam salah satu poin surat tersebut.

USD pun menyatakan akan mengambil langkah preventif yang perlu demi menjamin keselamatan, keamanan, dan ketertiban kampus mulai tanggal 23 September 2019 dan hari-hari berikutnya bila diperlukan. “Ya betul dan saya harap surat tersebut jelas,” kata Eka sebagaimana dikutip dari Antara.

Gejayan merupakan salah satu kawasan strategis karena tidak jauh dari beberapa kampus besar. Kampus paling dekat adalah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) (dulu IKIP Yogyakarta) dan Universitas Sanata Dharma. Kampus UGM juga tidak terlalu jauh dari kawasan Gejayan.

Moses Gatutkaca

Gejayan memiliki cerita panjang dalam pergerakan mahasiswa Indonesia. Salah satu yang paling menonjol adalah Peristiwa Gejayan pada 8 Mei 1998.

Kala itu, demonstrasi tengah bergolak di berbagai Tanah Air, salah satunya Jogja. Mahasiswa di berbagai daerah menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya.

Sebagaimana dikutip dari laman semanggipeduli.com, Tragedi Gejayan bermula dari unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan di beberapa Universitas di Yogyakarta. Selesai salat Jumat tanggal 8 Mei 1998, sekitar 5.000 mahasiswa UGM Yogyakarta melakukan demonstrasi di Bundaran kampus UGM selama kurang lebih 4 jam.

Demonstrasi yang berlangsung dengan tertib tersebut menyampaikan pernyataan keprihatinan mahasiswa atas kondisi perekonomian saat itu yang dilanda krisis moneter, memprotes kenaikan harga-harga dan mendesak untuk dilakukannya Reformasi.

Pada saat yang bersamaan siang itu, ratusan orang juga melakukan demonstrasi di halaman kampus USD Yogyakarta. Menjelang sore hari mereka ingin bergerak menuju kampus UGM untuk menggabungkan diri melakukan unjuk rasa di sana.

Ternyata aparat keamanan tidak mengizinkan dan berhadap-hadapan dengan mahasiswa yang bergabung dengan masyarakat. Pelaku unjuk rasa kecewa dan tidak mau membubarkan diri, sehingga terjadi bentrokan.

Mahasiswa dan masyarakat melawan aparat dengan batu, petasan, sampai bom molotov pada sore itu di sekitar Jalan Gejayan. Bentrokan berlangsung hingga malam hari hingga seorang mahsiswa USD Moses Gatutkaca meninggal dunia.

Moses ditemukan sekarat setelah mahasiswa dan PMI melakukan penyisiran di daerah kerusuhan sekitar Hotel Radisson Yogyakarta (kini bernama Prime Plaza Hotel).

Visum korban dari RS Panti Rapih menyatakan korban mengalami pendarahan telinga dan mulut diduga mengalami retak dalam tulang dasar tengkorak. Sejak 20 Mei 1998, jalan yang ada di sebelah USD yang tidak jauh dari lokasi kejadian itu diberi nama Jl. Jl. Moses Gatutkaca.

Setelah itu, beberapa kali aksi unjuk rasa yang diinisiasi mahasiswa digelar di kawasan Gejayan. Tentu yang paling baru adalah aksi #GejayanMemanggil.

Gejayan yang menjadi pusat aksi #GejayanMemanggil sebenarnya juga telah berganti nama menjadi Jl. Affandi sejak 20 Mei 2007. Jalan ini menghubungkan dua jalan sentral di Jogja yaitu ring road utara di sisi utara dan Jl. Adisutjipto/Jl. Solo di sisi selatan.

Panggung Ekonomi dan Pendidikan

Gejayan

Aktivitas di kawasan Gejayan Jl. Affandi (JIBI)

Muhidin M. Dahlan dalam Jalan Gejayan, “Jalan Komunis” Affandi di laman muhidindahlan.radiobuku.com menyebutkan sebelum krisis ekonomi dan politik menjelang akhir 1990-an, ruas Gejayan adalah panggung ekonomi dan pendidikan.

Ketika 1998, ruas jalan ini menggeser unsur ekonomi lebih ke pinggir dan sepenuhnya menjadikan politik sebagai sentral setelah sebelumnya termarginalkan.

Puncak panggung politik itu terjadi pada 5 dan 8 Mei 1998 ketika ruas jalan ini lumpuh total ketika demonstrasi mahasiswa yang berlangsung dari siang hingga subuh berakhir ricuh.

”Dijadikannya ’Jalan Gejayan’ sebagai arena politik 1998 itu dipicu oleh sebuah benturan yang tak terdamaikan antara kepentingan politik pemerintah [tuntutan agar Presiden Soeharto turun] dan warganya [masyarakat kampus dan warga sekitarnya],” tulis Muhidin dalam esai yang juga dimuat di Harian Kompas 10 November 2007 itu.

Sembilan tahun setelah peristiwa heroik itu, ruas “Jalan Gejayan” kembali menjadi panggung politik. Kali ini panggung politik kebudayaan berkait dengan konversi nama dari “Jalan Gejayan” menjadi “Jalan Affandi”.

Dia menyebut peristiwa konversi “Jalan Gejayan” menjadi “Jalan Affandi” bukan peristiwa kebudayaan biasa, tapi politik kebudayaan.

Affandi kita tahu tak menolak pinangan PKI yang memang saat itu menjadi partai yang sangat dinamis. Dalam perebutan kursi Konstituante, Affandi terpilih sebagai anggota parlemen dalam Pemilu 1955 bersama Sudjojono, Henk Ngantung, dan A.S. Dharta.

Dia menjadi anggota fraksi PKI, tapi tidak kemudian menjadi seorang propagandis murni partai karena memang sebelum menjadi anggota Parlemen dan bergabung dengan Lekra, Affandi sudah punya nama besar.

Seperti diketahui, semasa Orde Baru PKI dikubur hidup-hidup dan Lekra dirayah dihabisi. Namun, Affandi mendapatkan penghargaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1969 serta pada 1978 dianugerahi Bintang Jasa Utama.

Dan yang terakhir nama Jl. Gejayan diubah menjadi nama Jl. Affandi. ”Dan ini kali pertama dalam sejarah, nama anggota parlemen dari Partai Komunis Indonesia dan sekaligus aktivis Lekra dijadikan nama sebuah jalan oleh pemerintah,” tulis Muhidin.

Dia menyebut perubahan Jl. Gejayan menjadi Jl. Affandi itu menunjukkan Gejayan selain sebagai panggung ekonomi dan politik, juga oleh pemerintah menjadi panggung terbuka dilangsungkannya rujuk kebudayaan dan ideologi yang selama puluhan tahun berseteru.

Ditulis oleh : Danang Nur Ihsan

Sign up for the Newsletter

Join our newsletter and get updates in your inbox. We won’t spam you and we respect your privacy.