Kita harus berteman dengan pandemi hingga virus Corona penyebab Covid-19 ini mati atau ditemukan vaksin, suatu saat nanti.
JEDA.ID--Inilah rasanya ketika harus berteman dengan pandemi. Rabu sore lalu (22/7/2020), saya harus berangkat ke Jakarta untuk sebuah keperluan pekerjaan. Teman satu rombongan memilih jalur darat, melaju lewat tol, karena menghindari penerbangan. Saya dan teman lain tetap memilih jalur udara karena menghemat waktu.
Sebelum penerbangan ke Jakarta, saya harus mengikuti prosedur rapid test, pendeteksian cepat untuk mencegah terinfeksi virus corona penyebab Covid-19. Saya memilih rapid test di sebuah rumah sakit, sepekan sebelum terbang. Rupanya saya tidak hanya mendapatkan uji reaktif atau tidak reaktif, namun juga ada layanan pemindaian rongga dada.
Mungkin untuk mengetahui kondisi organ pernapasan. Saya mendapat surat keterangan sehat dan harus membayar Rp340.000. Teman saya yang juga berangkat dengan penerbangan yang sama hanya membayar Rp190.000 untuk rapid test di sebuah laboratorium. Tanpa prosedur pemindaian rongga dada.
Rapid test sudah dilakukan. Hasilnya tidak reaktif. Artinya tiket pertama sebagai syarat bisa naik pesawat terbang sudah di tangan. Baru setelah itu membeli tiket yang sebenarnya, tiket pesawat terbang.
Sehari sebelum terbang, seorang teman mengatakan penumpang pesawat ke Jakarta harus mengunduh dan mengisi aplikasi Jaki milik Pemerintah Provinsi DKI.
Petugas khusus dari TNI di bagian keberangkatan memberi tahu bahwa bukan Jaki yang harus diunduh dan diisi, melainkan aplikasi eHAC atau format digital dari Indonesia Health Alert Care (IHAC) milik Kementerian Kesehatan.
Setelah selesai mengisi, hasilnya sebuah tanda barcode yang nanti harus diperlihatkan kepada petugas di terminal kedatangan domestik Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng. Ada prosedur lanjutan jika tidak bisa menunjukkan tanda barcode eHAC.
Fetish Termasuk Gangguan Psikologis atau Seksual? Begini Penjelasan Ahli
Banyak Kursi Pesawat Kosong
Petugas di pesawat sebenarnya juga menyediakan kartu fisik HAC yang bisa diisi secara manual. Tidak banyak penumpang yang menggunakan jasa maskapai penerbangan dari Bandara Adi Soemarmo pada Rabu sore lalu itu.
Dengan proporsi satu penumpang untuk satu deret kursi yang berisi tiga kursi, dan masih banyak deret kursi yang kosong, sore itu pesawat terasa lengang. Begitu juga ketika tiba di Bandara Soekarno-Hatta.
Terminal kedatangan nyaris seperti bagian bandara yang kosong. Jauh lebih lengang dibandingkan dengan hari-hari sebelum pandemi Covid-19. Tempat parkir juga sepi.
Mobil penjemput hanya melintasi lahan parkir yang kebanyakan tanpa penghuni. Jalanan pun sepi, tanpa macet sama sekali. Seperti bukan Jakarta. Waktu tempuh dari bandara menuju sebuah hotel di Slipi, Jakarta, sangat singkat. Hotel juga memberlakukan pola kenormalan baru, mulai dari antre berjarak saat di depan petugas check in atau saat mengambil makanan.
Petugas hotel selalu memakai masker, face shield, dan kaus tangan. Susunan kursi di restoran selalu diatur pada jarak aman. Alur pengambilan makanan tidak boleh berbalik arah. Makanan selalu diambilkan oleh petugas restoran. Kamar selalu dibersihkan dengan disinfektan setiap hari.
Saat kepulangan, saya menjumpai rombongan warga negara asing yang semuanya mengenakan alat pelindung diri lengkap. Kesan pertama jadi seram. Bukan hanya masker atas masker plus face shield, namun pakaian hazardous materials atau hazmat menutupi baju yang mereka kenakan.
Setelah sampai di rumah belum bisa langsung berjabat tangan atau memeluk buah hati dengan hangat. Rasa waswas dan ekstra hati-hati membuat saya harus memisahkan diri di rumah.
Makan dan minum dengan piring, sendok, garpu, dan gelas yang disendirikan. Sampai nanti kembali mengikuti pendeteksian cepat (rapid test) atau tes lainnya untuk membuktikan bahwa saya benar-benar aman, tidak tertular Covid-19, dan tidak menularkan kepada orang lain.
Sehat Saja Tak Cukup
Dalam masa pandemi terlihat sehat saja ternyata belum cukup. Banyak orang yang tampak sehat ternyata sudah terinfeksi virus corona tipe baru, jenis virus baru yang menyebabkan Covid-19.
Orang semacam ini disebut orang tanpa gejala (OTG) atau silent spreader. Penelitian yang dipublikasikan Proceedings of the National Academy of Sciences, enyajikan data menarik bahwa penularan melalui OTG atau selama beberapa hari sebelum gejala muncul adalah penyebab utama persebaran Covid-19.
Seperti dikutip sejumlah media, di antaranya cnnindonesia, peneliti mendapati infeksi tanpa gejala berkisar antara 17,9% hingga 30,8% dari seluruh infeksi.
Begitulah sekilas penerbangan Solo-Jakarta dan Jakarta-Solo. Perjalanan singkat ini bisa dibaca sebagai gambaran rutinitas baru selama pandemi. Ekonomi berjalan sangat pelan.
Bank Dunia memproyeksikan ekonomi Indonesia akan mengalami stagnasi atau tumbuh 0% hingga akhir tahun. Proyeksi itu akan terkoreksi kalau Agustus nanti perekonomian semakin menggeliat, ekonomi global tumbuh, dan tidak muncul gelombang baru persebaran Covid-19.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara Future Financial Festival yang diselenggarakan secara daring, Sabtu (25/7), mengatakan kondisi perekonomian Indonesia mengalami kontraksi lebih dalam pada kuartal kedua tahun ini.
Kondisinya bahkan bisa menjadi lebih berat daripada pertumbuhan ekonomi kuartal pertama yang hanya sebesar 2,97%. Biasanya pertumbuhan berada pada kisaran 5%.
Bisnis.com memberitakan Menteri Keuangan memperkirakan pada kuartal kedua tahun ini kontraksi di kisaran -5,4% hingga -5,08%. Sri Mulyani berharap kondisi perekonomian pada kuartal ketiga yang dimulai Juli membaik.
Ide 7 Olahan Daging Kurban Antimainstream, Yuk Coba!
Menerapkan Protokol Kesehatan
Mulai Juli banyak orang memang mulai berani keluar rumah. Ada petugas yang mulai memperbaiki jalan. Hotel mulai didatangi tamu dan mulai menyelenggarakan acara, meski dengan kapasitas kecil.
Sayangnya, keberanian orang keluar rumah berdampak langsung pada peningkatan jumlah orang yang terinfeksi Covid-19. Kondisi yang terjadi di Soloraya memberikan gambaran itu.
Tren peningkatan jumlah kasus positif dan pasien dalam pengawasan (PDP) di Kota Solo mulai pekan pertama Juli meningkat. Kepala Dinas Kesehatan Kota Solo, Siti Wahyuningsih, seperti dikutip solopos.com, khawatir ini menjadi bagian dari gelombang kedua persebaran Covid-19.
Sebelumnya Kota Solo sempat tidak mengalami pertambahan pasien Covid-19 selama dua pekan. Ibarat berdiri di garis start, semua orang memang harus menata barisan secara berhati-hati.
Di satu sisi, setiap orang harus menggerakkan sendi ekonomi masing-masing agar tidak terpuruk, atau untuk sekadar mencari makan bagi keluarga di rumah. Di sisi lain, semua orang harus selalu siaga dari ancaman persebaran virus.
Mudah-mudahan di garis finish nanti tren pertumbuhan ekonomi bergerak positif dan orang terjatuh ke dalam kelompok miskin tidak bertambah terlalu banyak. Semoga bukan justru jumlah pasien Covid-19 yang kian membengkak dan jumlah kematian akibat wabah ini yang semakin banyak.
Semua tergantung pada bagaimana semua orang bisa menjalankan kehidupan sehari-hari dengan menerapkan protokol kesehatan secara cermat dan hati-hati. Kita harus berteman dengan pandemi hingga virus ini mati atau ditemukan vaksin, suatu saat nanti.