Setelah mengikuti bimbingan perkawinan, calon pengantin akan mendapatkan sertifikat layak kawin dari penyelenggara bimbingan dan penyuluhan pernikahan.
JEDA.ID–Pemerintah tengah mematangkan kebijakan sertifikat layak kawin bagi para calon pengantin. Program sertifikat layak kawin tersebut akan menjadi salah satu syarat pernikahan bagi para pasangan yang akan menikah.
Para calon pengantin akan diberikan bimbingan perkawinan secara komplet. Setelah lulus dari bimbingan perkawinan baru mereka mengantongi sertifikat layak kawin agar bisa mewujudkan keluarga sehat dan bahagia serta cara mengatasi konflik.
Program ini tengah digodok Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan Kementerian Agama. Direktur Bina Kantor Urusan Agama dan Keluarga Sakinah Kementerian Agama (Kemenag) Mohsen dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk Perlukah Sertifikasi Perkawinan?, Jumat (22/11/2019), mengatakan sebenarnya di KUA sudah ada penasihat perkawinan.
”Sekarang dalam perspektif masa depan, diberikan persiapan berkeluarga. Di mana ada dalam isi bimbingannya ada persfektif kepemimpinan kepala keluarga, kesetaraan gender, masalah KDRT [kekerasan dalam rumah tangga] hingga masalah HAM,” kata dia sebagaimana dikutip dari jpp.go.id.
Setelah mengikuti bimbingan perkawinan, calon pengantin akan mendapatkan sertifikat layak kawin dari penyelenggara bimbingan dan penyuluhan pernikahan.
Lembaga yang memberikan layanan itu harus terstandardisasi agar kompeten dalam melakukan bimbingan pernikahan.
Dia mengatakan bimbingan perkawinan dan sertifikat layak kawin sebenarnya sudah dilaksanakan Kementerian Agama sejak 2017 lalu. Namun, sertifikat itu bukan merupakan syarat wajib bagi pasangan yang akan menikah.
2 Juta Pasangan
Jika sertifikat layak kawin akan diwajibkan bagi calon pengantin, harus dipersiapkan fasilitasnya yaitu berupa pembimbing dan anggarannya karena akan menjangkau sekitar 2 juta pasangan calon pengantin setahunnya.
”Sedangkan pada saat ini hanya mencakup 7 hingga 10 persen dari jumlah 2 juta pasangan pengantin/tahun itu. Setelah nikah ada pula ada bimbingan agar pasangan yang baru nikah itu tetap dapat menjalani pernikahannya dengan baik. Karena masa awal-awal pernikahan adalah sungguh berat dan rentan untuk bercerai,” kata dia.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan mendukung rencana kebijakan sertifikat layak kawin.
Salah satu pertimbangannya adalah banyak pasangan usia subur yang ingin menikah tidak mengerti tentang proses reproduksi.
Mantan Bupati Kulonprogo ini Hasto berharap sertifikasi tersebut bisa memasukkan materi tentang proses reproduksi. Apalagi banyak pasangan yang menikah usia dini tidak mengerti risiko kehamilan.
”Jadi contoh mereka nikah di bawah usia 19 tahun, sedangkan nikah di bawah usia 19 tahun perempuan hubungan seks saat mulut rahim belum matang itu akan terjadi kanker mulut rahim, tapi perempuan ini tidak mengerti,” ucap dia sebagaimana dikutip dari Detikcom.
Dia mengatakan banyak pasangan yang ingin menikah tapi tidak mengerti pencegahan stunting atau masalah kekurangan gizi anak. Usia pernikahan perempuan lebih 20 tahun menjadi syarat tidak terjadi stunting anak.
”Kalau mau nikah mereka ditanya mau nikah ya sekarang? Kamu ngerti tidak agar tidak stunting? Dia juga tidak ngerti, maka syarat tidak stunting usia ibu cukup 20 tahun, atau ibu tidak usia pertumbuhan. Kalau usia 16 tahun usia pertumbuhan, puncak pertumbuhan tulang usia 32 tahun, puncak kepadatan tulang 38 tahun,” jelas dia.
Kondisi Rumah Tangga
Wacana pemberlakukan sertifikat layak kawin ini menuai pro-kontra. Pemerintah menyatakan program ini akan digulirkan setelah melihat kondisi rumah tangga di Tanah Air.
Menurut data Susenas sedikitnya terjadi 11,2% perkawinan anak atau di bawah umur. Sepanjang 2018, Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung mencatat 375.714 kasus perceraian dan ini terus meningkat dari tahun ke tahun.
Data Kementerian Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan (KPPPA) menyebutkan 1.220 pelaku kekerasan keluarga adalah orang tua dan 2.825 pelaku lainnya adalah suami/istri.
Sedangkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sepanjang 2017 sedikitnya 393 anak mengalami kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Wakil Sekjen Bidang Komunikasi dan Informasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan mengatakan sertifikasi perkawinan harus memberikan keterampilan hidup bagi calon pengantin. Kemudian bisa menata perilaku kehidupan.
”Ini harus diurai menjadi modul. Berikutnya, kompetensi, yakni kompetensi substantif dan metodelogis. Jangan ada kesan dengan sertifikasi ini tidak boleh dulu menikah. Tapi juga jangan jangan sampai terkesan menikah itu mudah tapi cerai lebih mudah lagi,” jelas Amirsyah di laman jpp.go.id.
Dia menyebutkan bimbingan perkawinan ini menjadi keharusan karena sebuah keluarga akan menghadapi tantangan yang lebih kompleks sesuai dengan perkembangan zaman.
Dia menyatakan ada banyak aspek yang harus dipelajari seperti kesehatan keluarga, perencanaan keuangan di keluarga,sampai hukum keluarga.
Setelah ini dijalankan, dia mengatakan akan timbul pertanyaan apakah dengan sertifikat layak kawin ini bisa memberikan jaminan untuk menurunkan angka perceraian, itu yang perlu dijawab.