Nafkah Zahir adalah istilah Melayu yang di Indonesia disebut dengan nafkah lahir yang meliputi makanan dan minuman, pakaian, dan tempat tinggal.
JEDA.ID – Ulama berjuluk “Dai Sejuta Viewer” Ustaz Abdul Somad resmi menceraikan Mellya Juniarti 2 Desember 2019 setelah melewati 11 kali sidang sejak 12 Juni 2019. Beredar rumor UAS bercerai lantaran alasan tidak terpenuhinya nafkah zahir. Netizen awam tentu asing dengan istilah ini.
Istilah Nafkah Zahir memang asing di Indonesia. Istilah ini merujuk pada bahasa Melayu menyerap istilah bahasa Arab. Zahir atau Dzahir dalam bahasa Arab praktisnya disebut jelas atau terang. Secara istilah maknanya kurang lebih merujuk pada sesuatu yang berwujud atau tampak.
(Baca Juga: Perjalanan Cinta UAS dan Sang Mantan Istri Hingga Berujung Cerai)
Merangkum keterangan dari sejumlah blog berbahasa Melayu, Nafkah Zahir, nafkah yang meliputi hal-hal yang bersifat materi. Istilah ini di bahasa Indonesia lebih familier dengan sebutan Nafkah Lahir.
Nafkah lahir yaitu sesuatu yang diberikan suami kepada istri dalam bentuk yang terlihat secara langsung. Nafkah lahir dibedakan menjadi 3 yaitu, makanan dan minuman, pakaian, dan tempat tinggal.
Jumlah Nafkah
Jumlah nafkah lahir ini disesuaikan dengan kebutuhan istri dan kemampuan suami dalam memberikannya. Memberikan nafkah yaitu memberikan belanja secukupnya dalam arti sesuai dan kebutuhan istri dapat terpenuhi.
Hukum nafkah lahir ini dijabarkan di Al-Qur’an surat At-Thalaq ayat 6. “Tempatkanlah mereka [para istri] di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan [hati] mereka.”
“Dan jika mereka [istri-istri yang sudah ditalaq] itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,” lanjut ayat itu.
“Kemudian jika mereka menyusukan [anak-anak]mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu [segala sesuatu] dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan [anak itu] untuknya,” pungkas ayat itu.
Dalam masalah pemberian nafkah kepada istri, agama tidak menetapkan dengan ukuran tertentu. Akan tetapi Allah memerintahkan suami agar bersikap kepada istrinya dengan ma’ruf (baik, patut, umum). Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai panutan, beliau telah menetapkan bahwa nafkah itu mencukupi istri dan anak.
(Baca Juga: Jangan Sembarangan, Ini Syarat Poligami dalam Islam)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dan kebenaran yang ditetapkan oleh mayoritas ulama, bahwa nafkah istri kembalinya adalah ‘urf [kebiasaan]. Ukurannya tidak ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan negara-negara, waktu, dan keadaan suami-istri, serta kebiasaan keduanya.”
Tidak Diberi
Jika suami tidak memberi nafkah yang cukup, padahal dia memiliki harta yang nampak, yang memungkinkan bagi istri untuk mengambil sendiri, atau dengan keputusan hakim, maka istri hendaklah bersabar, tidak menuntut cerai.
Demikian juga jika suami tidak memberi nafkah secara cukup bagi istri dan anaknya, maka sang istri boleh mengambil harta suami dengan tanpa izin, tetapi dengan cara yang ma’ruf (patut, secukupnya), tidak boleh berlebihan.
Lantas bagaimana jika suami tidak bisa memberi nafkah? Menurut Sa’id bin Musayyib, al Hasan al Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Ishaq, Abu ‘Ubaid, dan Abu Tsaur boleh menuntut faskh atau pembatalan akad nikah. Hal ini diriwayatkan dari Umar bin al Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhum.
Menurut ulama mazab Hanabilah dan Syafi’iah tidak boleh menuntut faskh, tetapi istri wajib bersabar. Sedangkan Ibnu Hazm rahimahullah berpendapat bahkan istri yang kaya wajib menafkahi suaminya yang tidak mampu.
Beda nafkah lahir beda pula nafkah batin. Nafkah batin adalah nafkah yang diberikan kepada istri berupa kebahagiaan dan pemenuhan kebutuhan biologis sang istri.
(Baca Juga: Menelisik Kepuasan Pernikahan saat Istri Lebih Tua dari Suami)
Nafkah Biologis
Menurut pendapat Ibnu Hazm, suami wajib memenuhi kebutuhan biologis istrinya sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan jika ia mampu. Hal tersebut dijelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 222-223.
Menurut Imam Ahmad, batas minimal suami tidak memberikan hak biologis istrinya dalah empat bulan. Pendapat tersebut berdasar pada ketetapan yang dibuat oleh Amirul Mukminin, Umar bin Khattab.
Di masa itu, banyak kaum laki-laki yang pergi berperang namun ada istri yang sedih ditinggal oleh suaminya untuk berperang. Umar bin Khattab pun mengetahui hal tersebut saat beliau menjumpai sebuah rumah dan mendengar syair seorang wanita yang sedih ditinggal suaminya berperang.
Hal tersebut membuat Umar bin Khattab gundah dan bertanya kepada putrinya yang bernama Hafsoh. Beliau menanyakan berapa lama seorang wanita mampu bertahan tanpa suaminya. Lalu Hafsoh menjawab, “Sekuat-kuat wanita dia hanya bisa bertahan selama empat bulan.” Kemudian sejak saat itu Umar menyuruh pasukan yang sudah empat bulan di medan perang untuk pulang ke rumah.
Sedangkan bagi istri yang nusyuz (membangkang), seorang suami boleh mendiamkan istrinya di atas ranjang jika sang istri tidak taat kepadanya, dan tidak menunaikan hak suaminya. Sang suami boleh mendiamkannya sampai dia bertaubat sesuai firman Allah di Al-Qur’an surat Annisa ayat 34.