Masyarakat lokal sebetulnya punya potensi pengetahuan karena mereka punya kedekatan dengan alam.
JEDA.ID–Potensi gempa bumi berkekuatan 8,8 skala richter (SR) yang memicu tsunami dahsyat di pantai selatan Jawa mengemuka. Jejak tsunami di pantai selatan Jawa ini tergambar jelas di Kecamatan Pesanggrahan, Banyuwangi, Jawa Timur.
Muhammad Yasin, lelaki paruh baya yang tinggal di Dusun Pancer, Sumberagung, Pesanggrahan, Banyuwangi masiih ingat dengan peristiwa yang terjadi 25 tahun silam. Kala itu, Jumat dini hari, 2 Juni 1994, hampir sebagian besar warga terlelap.
Gempa beberapa kali mengguncang. Puncaknya saat ada gempa berkekuatan 7 skala Richter (SR). Sekitar pukul 02.00 WIB, tiba-tiba tsunami menerjang desa itu. Tidak ada peringatan dini, tidak ada persiapan hingga akhirnya 229 orang meninggal akibat tsunami.
”Banyu lampeg [istilah warga setempat untuk menyebut tsunami] itu datang begitu cepat. Orang sini masih belum tahu apa itu tsunami. Orang kala itu teriak segarane banjir. Korban berjatuhan,” kenang Yasin sebagaimana dikutip dari laman Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bnpb.go.id, Kamis (18/7/2019).
Warga desa Pancer baru mengenal istilah tsunami setelah peristiwa tsunami Aceh pada 2004. Kendati demikian, tidak semua warga tahu bagaimana proses tsunami terjadi dan apa yang harus dilakukan saat tanda-tanda tsunami akan terjadi.
Boleh dibilang pemerintah kala itu belum siap dalam menanggulangi bencana. Upaya pengurangan risiko bencana juga belum dilakukan pascatsunami. Hal itu diketahui dari pembangunan hunian tetap (huntap) berukuran sekitar 7 meter x 10 meter oleh pemerintah saat itu masih dibangun di lokasi yang sama. Artinya warga tersebut masih terpapar ancaman yang serupa.
Untuk mengenang peristiwa tsunami 1994, warga desa Pancer membangun monumen tsunami di depan balai desa setempat. Monumen tersebut juga didirikan dengan tujuan untuk memberi edukasi kepada generasi penerus agar selalu ingat dan belajar dari peristiwa tsunami.
Berdasarkan catatan, gempa besar di selatan Pulau Jawa yang menimbulkan gelombang tsunami pernah terjadi pada 1994 di Banyuwangi dan dan pada 2006 yang menyebabkan tsunami di Pangandaran, Jawa Barat.
Setinggi 20 Meter
Meskipun demikian, berdasarkan penelitian yang dilakukan diyakini pernah terjadi gempa megathrust di selatan Pulau Jawa dengan kekuatan 9 skala Richter (SR).
”Umur radioaktif dari unsur-unsur yang kami temukan di Lebak Banten dan Bali memiliki umur yang sama. Artinya, pernah ada tsunami di selatan Jawa yang disebabkan gempa dengan magnitudo besar,” kata Pakar Tsunami dari Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko di Jogja, DIY, sebagaimana dikutip dari Antara.
Dia mengatakan ada potensi 8,8 SR yang menimbulkan tsunami setinggi 20 meter. Gempa bumi 8,8 SR itu disebabkan karena ada segmen-segmen megathrust di sepanjang selatan Jawa.
Berdasarkan permodelan, bila gempa itu terjadi, gelombang tsunami memiliki potensi ketinggian 20 meter. Jarak rendaman sekitar tiga hingga empat kilometer. Gelombang tsunami akan tiba dalam waktu sekitar 30 menit seusai terjadi gempa besar.
“Jika Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) membutuhkan waktu lima menit sejak gempa untuk menyampaikan peringatan dini, masyarakat hanya memiliki waktu sekitar 25 menit untuk melakukan evakuasi atau tindakan antisipasi lain,” kata dia.
Tantangan besar dari potensi bencana itu adalah mitigasi. BNPB menyebut sebanyak 5.744 desa/kelurahan di Indonesia berada di daerah rawan tsunami, di antaranya 584 desa/kelurahan ada di selatan Pulau Jawa.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 1.397 desa/kelurahan di Jawa (kecuali DKI) yang lokasinya berada di di tepi pantai. Sebagian desa/kelurahan itu ada di pantai selatan Jawa.
Dengan besarnya potensi bencana itu, sarana dan prasarana mitigasi tergolong minim. BPS menyebut baru ada 634 desa di Indonesia yang wilayahnya memiliki sistem peringatan dini tsunami. Di selatan Jawa, baru 166 desa yang memiliki sistem peringatan dini tsunami.
Kondisi ini menjadikan pentingnya pengetahuan masyarakat tentang mitigasi bencana khususnya tsunami. Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB, Lilik Kurniawan, prihatin karena warga di desa terdampak tsunami 1994 yang tidak memiliki pengetahuan mengenai tanggap darurat.
Kearifan Lokal
BNPB melakukan penjelajahan ke lebih dari 500 desa di selatan Jawa untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat agar siap dalam menghadapi ancaman tsunami.
BNPB melalui Ekspedisi Destana Tsunami 2019 berkomitmen memberikan edukasi kepada warga desa yang berada pada daerah rawan bencana di pesisir selatan Pulau Jawa. Kegiatan ini tidak untuk menakut-nakuti tetapi murni sebagai edukasi dan pemecahan solusi.
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Denny Hidayati menyebutkan perlu pendidikan siaga bencana yang sesuai dengan karakteristik lokal dan diperbarui sesuai dengan kejadian-kejadian bencana terbaru.
”Masyarakat lokal sebetulnya punya potensi pengetahuan karena mereka punya kedekatan dengan alam. Cerita rakyat mengenai gempa bumi dan tsunami sebetulnya sudah ada, seperti dongeng Smong di Simeulue, Aceh,” jelas dia sebagaimana dikutip dari laman lipi.go.id.
Pada 1907, tsunami yang oleh warga setempat disebut smong pernah menghantam Simeulue. Kejadian itu membekas di ingatan kolektif warga. Sebagai pengingat tsunami, ada syair yang bercerita tentang kejadian ini dan terus dituturkan dari generasi ke generasi. Isinya, jika ada gempa segera lari ke atas bukit tak perlu lihat laut surut.
”Saat terjadi tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, meski Simeulue yang paling awal kena, tercatat hanya tujuh korban meninggal,” tutur Denny.
Pengetahuan lokal ini diperbarui sesuai dengan kejadian-kejadian bencana terbaru dan latihan secara terus menerus sehingga akan terus dengan mudah diingat.