Penemu batu meteor bisa mendadak jadi miliarder. Hal ini karena meteor memang tidak jarang terjual dengan harga tinggi.
JEDA.ID-Penemu batu meteor bisa mendadak menjadi jutawan ataupun miliarder. Salah satu penemu batu meteor adalah warga negara Indonesia bernama Joshua Hutagalung.
Penemu batu meteor asal Sumatra Utara ini mendadak kaya. Bagaimana kisah Joshua menjadi penemu meteor? Yuk berkenalan dengan penemu batu meteor asal Indonesia.
Awal mula kisah penemuan batu meteor itu terjadi pada Agustus 2020. Pria yang berdomisili di Kolang, Sumatra Utara itu, kaget bukan kepalang karena ada batu cukup besar yang jatuh menembus atap rumahnya.
“[Kejadian] tanggal 1 Agustus. Awalnya, sebelum kejatuhan batu ada suara gemuruh di langit. Terus saya kerja buat peti mati. Lalu beberapa menit kemudian ada hantaman di atap sampai rumah goyang,” kata Josua pada Rabu (18/11/2020).
Mau Lapor Hoaks Pilkada 2020? Ini Caranya
Kabar jatuhnya meteor itu, yang dipajang rekamannya oleh Josua di Facebook, sampai ke pakar batu antariksa, Jared Collins yang berada di Bali. Jared lantas mendatangi rumah Josua dan membelinya.
“Saya membawa uang sebanyak yang saya bisa kumpulkan dan pergi menemui Joshua,” kata Jared seperti dikutip dari detikcom, Rabu (18/11/2020).
Meski menurut beberapa media seperti Daily Mail harga meteor itu miliaran rupiah, Josua membantahnya. “Batunya kemarin saya jual Rp200 juta batunya. Itu beratnya 1.800 gram. Itu saya jual ke orang Bali, atas nama Jared, bule tuh. Terus dia juga beli atap seng yang bolong Rp 14 juta. Jadi total Rp 214 juta,” kata Joshua.
Jared lalu mengirimkan batu antariksa itu ke Amerika Serikat untuk kemudian dibeli oleh seorang kolektor. Saat ini, meteor bersangkutan disimpan dalam nitrogen cair di Centre of Meteorite Studies di Arizona State University.
Klasifikasi meteornya disebut adalah CM1/2 carbonaeous Chodnrite, varietas yang disebut sangat langka. Menurut ilmuwan, meteor tersebut diyakini mengandung asam amino unik dan elemen kuno lainnya yang mungkin bisa menjawab asal muasal kehidupan. Adapun usianya diestimasi sekitar 4,5 miliar tahun.
Meteor memang tidak jarang terjual dengan harga tinggi. Pada bulan Agustus, 200 fragmen meteor berusia 4,6 miliar tahun jatuh di area Santa Filomena, Brasil. Salah satu pecahan terbesar seberat 40 kilogram, dengan estimasi harga 20.000 poundsterling.
5 Aplikasi Penghasil Cuan Cukup dari Rumah Saja, Mau Coba?
Media yang berbasis di AS, New York Post, menyebut bahwa sosok pembelinya adalah Jay Piatek, seorang dokter dan kolektor meteor. Ia bermukim di kota Indianapolis.
Kolektor Meteor
Salah satu koleksinya yang terkenal adalah batu dari Mars yang berjuluk Black Beauty, berumur 4,4 miliar tahun. Ketika asteroid menabrak Mars, baru itu terlempar ke angkasa dan mendarat di Bumi, di sekitar Sahara. Piatek membelinya pada tahun 2011.
Piatek memang gandrung menjadi kolektor batu antariksa. Dari 2 kilogram Black Beauty yang diketahui eksis, dua pertiganya pernah dimiliki olehnya.
“Saya senang bisa mendapatkan kepingan antariksa yang berusia miliaran tahun dan bisa memegangnya di tangan,” katanya, dikutip dari Science Mag.
Sebagian batu koleksi itu ia simpan di rumahnya, ada yang berada di bank, sebagian di universitas. Ia pernah memiliki sampai 1.300 spesimen batu luar angkasa.
Beberapa tahun lalu, Piatek memutuskan agak mengurangi kegiatan membeli batu antariksa karena sakit. Dia menjual sampai 400 spesimen, termasuk sepasang Black Beauty yang terjual lebih dari US$1 juta ke Naveen Jain, seorang juragan teknologi.
Namun walau tak seheboh dulu, hobinya itu tampaknya masih terus dilakukan sampai sekarang di tengah kesibukannya. Terbukti ialah yang disebutkan sebagai pemilik baru meteor yang jatuh di rumah Joshua.
Sebuah penelitian baru menemukan bahwa bagian penting dari sistem kekebalan tubuh masih menunjukkan respons kuat terhadap virus corona baru pada kebanyakan orang dewasa hingga 6 bulan setelah infeksi.
Para peneliti menemukan orang yang mengidap Covid-19 telah meningkatkan kadar sel T, yang bertindak sebagai garis pertahanan kedua tubuh melawan infeksi setelah antibodi. Sel tersebut merespons hingga setengah tahun kemudian.
Bantu Pertumbuhan Tinggi Anak Lewat Asupan Nutrisi Ini, Apa Sajakah?
Dilansir dari Metro UK, Selasa (3/11) tim dari UK Coronavirus Immunology Consortium UK-CIC), Public Health England, dan Manchester University NHS Foundation memperingatkan bahwa temuan ini hanya bagian kecil dari teka-teki besar yang menyelimuti perkara virus corona baru.
Akan tetapi, dikatakan bahwa mereka sangat optimistis tentang hasil itu dan menyerukan penelitian lebih lanjut tentang peran sel T dalam memberikan kekebalan, dan apakah mereka dapat melakukannya setelah periode 6 bulan.
Shamez Ladhani, penulis utama studi mengatakan respons sel T mungkin sebenarnya bertahan lebih lama dari antibodi awal. Menurutnya, penemuan ini akan memiliki dampak signifikan pada pengembangan vaksin Covid-19 dan penelitian tentang kekebalan tubuh.
Sebagai informasi, sel T merupakan jenis sel darah putih yang dapat membunuh sel-sel tubuh yang telah terinfeksi virus. Mereka seringkali dianggap kurang penting ketimbang antibodi, yang bertindak untuk menghentikan virus sejak awal menginfeksi.
Antibodi juga telah dipelajari lebih intensif karena mereka dapat dideteksi dalam tes hanya dalam 90 menit, dibandingkan dengan sel T yang butuh beberapa hari. Adapun, para peneliti mengambil darah sebulan sekali dari 100 orang yang dinyatakan positif Covid-19 sejak Maret dan April lalu.
Mereka menemukan bukti tanggapan dari dua varietas sel T yang berbeda: sel T ‘pembunuh’ yang secara langsung menetralkan sel yang terinfeksi virus dan sel T ‘penolong’ yang memberi tahu bagian lain dari sistem kekebalan bagaimana menanggapi ancaman.
Studi tersebut, yang belum ditinjau oleh rekan sejawat, menunjukkan bahwa penderita yang mengalami gejala setelah infeksi pertama mereka, dapat memiliki respons yang lebih kuat daripada mereka yang tidak.
Tes menemukan tingkat sel-T 50 persen lebih tinggi pada penderita gejala dibandingkan dengan pembawa tanpa gejala.
Namun para peneliti mengingatkan bahwa pembawa asimtomatik mungkin dapat melawan virus tanpa perlu menghasilkan respons imun yang besar. Akan tetapi, penelitian lebih lanjut diperlukan sebelum menarik kesimpulan.
Paul Moss, pakar imunologi University of Birmingham mengatakan penelitian ini adalah yang pertama di dunia yang menunjukkan kekebalan seluler yang kuat tetap bertahan 6 bulan setelah infeksi pada individu yang mengalami infeksi ringan atau sedang atau tanpa gejala.
Menariknya, tim peneliti juga menemukan bahwa kekebalan seluler lebih kuat pada titik waktu ini terhadap orang-orang yang mengalami infeksi simtomatik dibandingkan dengan kasus tanpa gejala atau asimptomatik.
“Kami sekarang membutuhkan lebih banyak penelitian untuk mengetahui apakah individu yang bergejala lebih terlindungi dari infeksi ulang di masa depan. Meskipun temuan ini membuat kami sangat optimis tentang kekuatan dan lamanya kekebalan yang dihasilkan setelah infeksi SARS-CoV-2, ini hanyalah satu bagian dari teka-teki,” tandasnya.