Memiliki sifat perfeksionis bisa berdampak positif, namun juga bisa kontraproduktif pada kehidupan Anda.
JEDA.ID – Memiliki sifat perfeksionis merupakan hal baik, karena jika Anda mengerjakan atau menargetkan sesuatu dipastikan hal tersebut dapat selesai dengan hasil yang maksimal.
Karena seseorang yang memiliki sifat ini cenderung tidak akan cepat puas sebelum mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Namun, siapa dangka di sisi lain, menjadi perfeksionis dapat berdampak kontraproduktif pada kehidupan Anda. Menurut studi terbaru, menjadi perfeksionis membuat orang lebih mudah cemas, depresi, bahkan kelelahan.
Melansir dari Liputan6, Selasa (14/4/2020), Dr Andrew Hill, Profesor dan Kepala Program Pascasarjana di York St John University, Inggris dan Dr Thomas Curran, dosen psikologi olahraga di Univeristy of Bath, Inggris menemukan bahwa perfeksionisme sangat dekat dengan stres kronis. Hal ini dapat memicu penderitanya mengalami kelelahan ekstrem serta dapat mengurangi performa dalam pekerjaan.
“Kebanyakan orang cenderung untuk menilai perfeksionis sebagai lambang pencapaian yang tinggi. Padahal penemuan kita menunjukkan menjadi perfeksionis merupakan sifat yang sangat merusak,” terangnya.
3 Kandidat Telah Diujicobakan, Begini Pengembangan Vaksin Virus Corona
Menuntut kesempurnaan dalam karier
Bagi seseorang yang memiliki sifat perfeksionis menginginkan kesempurnaan di dalam urusan pekerjaan merupakan hal yang lumrah dan mungkin dianggap sebagai hal yang positif. Terutama, karena mereka selalu berusaha menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Mereka juga tidak memberikan ruang bagi kesalahan, sehingga, mereka akan bekerja dengan sangat teliti.
Namun, sebenarnya, sifat ini tidak selalu baik bagi kehidupan seorang perfeksionis. Seperti yang diutarakan oleh Tracey Wade, seorang profesor dari Flinders University, Australia Selatan, ada hal yang dinamakan sebagai perfeksionisme tak sehat.”Hal ini terjadi ketika seseorang memiliki standar yang sangat tinggi, dan dikombinasikan dengan kritik terhadap diri sendiri yang brutal,” ujarnya, seperti dikutip dari media asal Australia, Body and soul.
Cemas berlebihan
Pada level atas orang perfeksionis cenderung merasa sangat cemas jika harus bertanggung jawab atas proyek besar, mulai dari presentasi hingga mengambil keputusan yang menyangkut masa depan pekerjaan. Rasa cemas ini justru membuat para perfeksionis berubah agresif di lingkungan sosial.
Mereka tidak bisa menerima kritik dan menjadi lebih emosional saat ada kritik negatif yang ditujukan pada mereka. Seorang psikolog Thomas S. Greenspon dari University of Illinois, Chicago, Amerika Serikat, mengatakan jika orang perfeksionis gagal mereka tidak ingin disalahkan. “Mereka cemas dianggap bodoh atau tidak kompeten, imbasnya mereka jadi agresif dan cenderung bersifat menyerang orang lain,” ungkapnya.
Senang berada dalam zona nyaman
Menjadi orang yang perfeksionis dalam segala aspek kehidupan adalah hal yang melelahkan. Hal ini membuat para pengejar kesempurnaan malas melakukan sesuatu yang baru. Alasannya, mereka takut gagal dan dianggap tidak kompeten.
Melansir dari Fox News seorang Profesor Psikologi Klinis dari Smith College, Patricia DiBartolo menyampaikan bahwa pemilik sifat perfeksionis sebenarnya ingin berinovasi namun rasa takut akan kegagalan mengalahkan mereka.
“Mereka sebenarnya ingin mencoba hal baru, tapi ketakutan dan kecemasan akan penilaian publik jika mereka gagal, membuat mereka tidak ingin melakukannya.” Sehingga, mereka cenderung memilih pekerjaan yang memang sudah mahir mereka lakukan. Padahal, bila memang ingin berkembang, Anda harus berani untuk mencoba hal baru yang berada di luar zona nyaman.
Kasus Covid-19 Siap Tembus 2 Juta, Seberapa Kuat Virus Corona Dibanding Flu Babi?
Sulit mempercayai orang lain
Memiliki standar yang tinggi, seorang perfeksionis cenderung sulit membagi tugas mereka dengan orang lain. Mereka sulit menaruh kepercayaan pada kemampuan orang lain, pada dasarnya mereka lebih memilih untuk menyelesaikan segalanya sendirian.
Tak hanya itu, keinginan menjadi sempurna terus-menerus ini juga dapat menyabotase hubungan pertemanan, keluarga, pasangan, hingga rekan kerja. Para perfeksionis akan terus melemparkan kritik dan menganggap dirinya paling benar.
Namun, saat akhirnya para perfeksionis ini mempercayakan tugasnya kepada orang lain, mereka akan menjadi micromanagers. Dengan kata lain, mereka akan menjadi orang-orang yang selalu berusaha mengontrol hingga hal terkecil sekalipun.
Thomas S. Greenspon mengatakan hal itu dapat membuat orang lain merasa tak nyaman.“Itu bisa membuat orang-orang di sekeliling mereka tertekan karena para perfeksionis tidak bisa menerima sudut pandang orang lain,” terangnya.
Sulit menerima kritik
Jika perfeksionisme seseorang sudah berada di tahap ekstrem, mereka bisa jadi memilih menjauhkan diri dari lingkungan karena tidak ingin menerima saran bahkan kritikan orang lain. Patricia DiBartolo mengatakan seorang perfeksionis cenderung defensif saat menerima masukan. Tak hanya itu, mereka juga merasa sangat bersalah karena merasa gagal mencapai tujuan
“Para perfeksionis hanya akan mengakui kesalahan pada diri sendiri, tapi tidak dengan orang lain. Mereka tidak ingin menghadapi kenyataan bahwa mereka gagal.”
Meningkatkan keinginan untuk bunuh diri
Sifat perfeksionis juga dapat berakibat fatal jika diikuti oleh sikap obsesif. Menurut penelitian dari Kanada, orang yang memiliki kepribadian perfeksionis lebih beresiko memiliki pemikiran bunuh diri. Sifat ini dianggap berbahaya jika seseorang terlalu keras pada diri sendiri dan tidak bisa tenang karena selalu memikirkan suatu hal yang dianggapnya belum sempurna.
Studi tersebut melibatkan lebih dari 11.700 orang. Hasilnya, ketika seorang perfeksionis merasakan tekanan yang besar untuk memenuhi harapan orang lain, mereka cenderung rentan terhadap pemikiran bunuh diri. Sementara ciri khas lain perfeksionis seperti rapi dan teratur, tidak ditemukan terkait dengan pikiran untuk bunuh diri.
Penelitian sebelumnya juga menunjukkan hal serupa. Pada tahun 2013, para peneliti tersebut melihat tingkat bunuh diri di Alaska, Amerika Serikat dari bulan September 2003 sampai Agustus 2006. Mereka menemukan bahwa 56 persen orang yang melakukan bunuh diri kebanyakan perfeksionis.