Isi dalam seporsi nasi jangkrik adalah nasi putih, potongan daging kerbau ukuran dadu, tahu, serta guyuran kuah bersantan.
JEDA.ID–Bila orang Solo dan Jogja familier dengan nasi kucing, orang Kudus akrab dengan nasi jangkrik. Makanan ini konon merupakan makanan kesukaan Sunan Kudus serta Kiai Telingsing yang dikenal sebagai penyebar ajaran agama Islam di Kabupaten Kudus.
Sebagaimana dikutip dari laman indonesia.go.id, beberapa waktu lalu, kuliner khas Kudus ini merupakan nasi berlauk daging kambing atau kerbau yang dibungkus dengan daun jati dan ditali dengan anyaman jerami.
Biasanya, daging kambing atau kerbau itu dimasak dengan bumbu garam asem. ”Nasi jangkrik sudah lama menjadi kuliner khas Kudus. Warga Kudus banyak yang tahu nasi jangkrik. Namun warga luar kota, atau peziarah Makam Sunan Kudus dari luar kota, tidak banyak yang tahu, banyak yang penasaran dengan rasanya,” kata Said pemilik warung nasi jangkrik.
Biasanya nasi jangkrik kerap dibagikan secara cuma-cuma kepada masyarakat pada hari Asyuro atau bertepatan dengan 10 Muharram. Tradisi ini masih terus dilestarikan hingga saat ini.
Tujuan dibaginya nasi ini kepada warga di sekitar Menara Kudus adalah menumbuhkan rasa saling berbagi kepada sesama. Pembagian nasi jangkrik merupakan salah satu bagian dari tradisi buka luwur. Luwur adalah kain kelambu penutup makam Sunan Kudus.
Luwur yang lama diganti dengan yang baru. Kain yang lama dipotong beberapa bagian dan diberikan kepada ulama, kiai, dan tamu undangan yang hadir.
”Tradisi ini tidak hanya dimiliki oleh umat Islam saja, tapi juga umat agama lain yang turut berpartisipasi. Ini yang diajarkan Sunan Kudus kepada masyarakat sejak dulu,” kata dia.
Nasi jangkrik berupa berkat pada acara buka luwur yang dibagikan terdiri atas dua jenis, yaitu keranjang dan bungkusan daun jati.
Buka luwur Sunan Kudus ini bukan haul. Sebab, tradisi ini digelar bukan untuk memeringati hari wafatnya Sunan Kudus yang tidak diketahui persis tanggal wafatnya.
Khas Daun Jati
Said mengatakan penyajiannya dengan daun jati sebagai pembungkus atau alas penyajian. Jika makan di warung, selain diberi alas daun jati, juga dipakai pula piring dari anyaman rotan sebagai dasar daun.
”Paling sedap ya kalau nasi jangkrik dibungkus daun jati dan dimakan setengah jam kemudian. Aroma daun jati bercampur dengan nasi. Lezat dan sedap,” ungkap Said sebagaimana dikutip dari Detikcom.
Ada pun isi dalam seporsi nasi jangkrik adalah nasi putih, potongan daging kerbau ukuran dadu, tahu, serta guyuran kuah bersantan. Daging kerbaunya empuk dengan bumbu yang meresep ke serat daging.
Said menjelaskan untuk prngolahan daging kerbau. Daging dipotong dadu sedang dan direbus hingga empuk. Kemudian dibumbui dengan bumbu halus terdiri dari kencur, bawang merah, bawang putih, kemiri, lengkuas, dan cabai.
Setelah itu ditambahkan santan dan direbus lagi hingga bumbu meresap selama 3 jam. Setelah matang diberi bawang goreng, dan campuran kol serta tahu.
Meski sederhana, nasi yang disiram kuah santan yang gurih, daging kerbau dan tahu yang empuk terasa lezat dan mantap. Tidak heran jika menu ini dibanderol dengan harga Rp15.000
Kenapa disebut nasi jangkrik? Jangkrik adalah salah satu jenis binatang serangga yang berwarna cokelat yang mempunyai suara “krik, krik”.
Menurut Said, nama jangrik diawali sejak zaman dulu, wali yang dipanggil Kiai Telingsing bersama Sunan Kudus, serta wali lainnya berkumpul di bangunan tajug Menara Kudus.
“Istri Sunan Kudus saat itu memasak sebuah menu. Ternyata menu itu disuguhkan ke para hadirin yang ada di bangunan tajug. Di saat menyantap menu, ada yang menyeletuk kata ‘jangkrik, masakan opo iki, kok enake pol‘. Celetukan yang memuji betapa enaknya rasa menu itu,” kata Said menuturkan sejarah yang diketahuinya.
Untuk memudahkan penyebutan nama menu, maka disebutlah racikan nasi itu sebagai nasi jangkrik. Sampai sekarang sebutan ini telah populer. Kuliner khas Kudus ini akan mudah ditemui di kawasan Jl. Sunan Kudus atau sekitar Menara Kudus.