Reputasi digital menjadi hal yang kini sangat dipertimbangkan untuk membuat suatu keputusan.
JEDA.ID-Memiliki akun anonim dilandasi beragam alasan, bukan semata untuk kejahatan. Para pemilik akun anonim ini mengaku menggunakan akun anonim untuk memanfaatkan kebebasan berbicara tanpa mempengaruhi reputasi mereka.
Lebih dari 3 dari 10 pengguna di Asia Pasifik mengaku memiliki profil media sosial tanpa nama asli, foto, dan informasi identitas pribadi (PII) alias fake account.
Di antara 1.240 responden dari wilayah tersebut, penelitian Digital Reputation oleh Kaspersky November silam menunjukkan bahwa kekuatan anonimitas paling banyak digunakan di Asia Tenggara sebesar 35% diikuti oleh Asia Selatan sebesar 28% dan Australia sebesar 20%. Tips gadget kali ini membahas alasan pemakaian akun anonim.
Kenalan 5 Jubir Vaksin Corona, Ada Dokter Reisa Loh
Alasannya? Hampir setengah, tepatnya 49%, dari yang disurvei menyatakan bahwa mereka menggunakan akun anonim untuk memanfaatkan kebebasan berbicara tanpa mempengaruhi reputasi mereka, sementara 48% ingin mencurahkan kepentingan dan minat rahasia mereka tanpa diketahui oleh sesama teman atau kolega.
“Dari tujuan awal membangun koneksi dengan teman dan keluarga, media sosial telah berkembang dan akan terus berkembang dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini telah memainkan peran kunci dalam cara kita bersosialisasi dan mengidentifikasi satu sama lain, tetapi sekarang, kita telah sampai di persimpangan jalan di mana profil virtual individu dan perusahaan digunakan sebagai parameter untuk sebuah evaluasi atau penilaian,” kata General Manage Kaspersky untuk Asia Tenggara, Yeo Siang Tiong, seperti dikutip dari detikcom, Selasa (8/12/2020).
Rekayasa Gen Bisa Cegah Pandemi di Masa Depan, Benarkah?
Untuk urusan bisnis, Hampir 5 dari 10 (48%) menyatakan bahwa mereka menghindari perusahaan yang terlibat dalam insiden atau telah menerima liputan berita negatif secara online.
Selain itu, 38% juga berhenti menggunakan produk perusahaan atau merek setelah terlibat dalam semacam krisis online. Hampir separuh (41%) juga mengungkapkan bahwa reputasi endorser merek turut mempengaruhi pandangan mereka terhadap merek tersebut.
Rekayasa Gen Bisa Cegah Pandemi di Masa Depan, Benarkah?
Ketika ditanyai mengenai transparansi mereka di halaman online perusahaan, 50% pengguna di Asia Pasifik berpendapat bahwa perusahaan tidak boleh menghapus komentar negatif di akun media sosial mereka.
Sebagai kesimpulan, reputasi digital menjadi hal yang kini sangat dipertimbangkan untuk membuat suatu keputusan. Entah itu individu maupun secara bisnis, reputasi digital semakin dibangun sama pentingnya seperti reputasi di kehidupan nyata.