Prabowo tiga kali mengajukan sengketa hasil pilpres ke MK. Dua kali gugatan tentang kecurangan TSM dalam pilpres dimentahkan MK.
JEDA.ID—Empat kali pilpres digelar, empat kali pula gugatan sengketa hasil pilpres diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kecurangan terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) dan isu daftar pemilih tetap (DPT) selalu masuk dalam gugatan pilpres.
Adalah pasangan capres-cawapres Wiranto-Salahuddin Wahid (Gus Solah) yang kali pertama mengajukan sengketa hasil pilpres pada 2004. Pilpres 2004 diikuti pasangan Wiranto-Gus Solah, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.
Dari lima pasangan itu, pasangan Megawati-Hasyim dan SBY-Jusuf Kalla melenggang ke putaran kedua. Hasilnya SBY-JK yang menjadi pemenang pilpres pertama di Indonesia itu.
Wiranto menyebut isu kecurangan selalu muncul dalam setiap pemilu. Dia merasa pernah dicurangi saat menjadi peserta pemilu. Wiranto-Gus Solah yang memperoleh suara terbanyak ketiga mengaku kehilangan 5,4 juta suara dari 26 provinsi.
Sebagaimana dikutip dari Detikcom, Wiranto-Gus Sholah mengajukan dua tuntutan yaitu pembatalan SK KPU 79/2004 tentang penetapan hasil perhitungan suara capres cawapres dan menuntut perhitungan ulang.
MK yang kala itu dipimpin Jimly Asshiddiqie tidak mengabulkan gugatan tersebut. Peraih suara terbanyak di Pilpres 2004, SBY-JK ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Wiranto kembali maju ke MK dalam Pilpres 2009. Wiranto yang kala itu menjadi cawapres dari capres Jusuf Kalla mengajukan sengketa hasil Pilpres 2009 setelah KPU menyatakan SBY-Boediono memperoleh suara terbanyak.
Selain Jusuf Kalla-Wiranto, pasangan Megawati-Prabowo Subianto juga mengajukan gugatan ke MK.
Penggelembungan Suara
Jusuf Kalla-Wiranto yang kala itu diwakili Chairuman Harahap memaparkan permasalahan DPT yang semrawut dan perubahan DPT hingga tiga kali. Chairuman menemukan sejumlah penggelembungan suara yang diduga dilakukan KPU yang kemudian dialokasikan untuk pasangan SBY-Boediono.
Indikasi penggelembungan suara, menurut Chairuman, bisa terlihat dari adanya pengurangan jumlah tempat pemungutan suara (TPS) sebanyak 6.900 TPS. ”Akibat perbuatan KPU tersebut dengan mengurangi TPS dan DPT buruk yang berjumlah 24 jutaan seharusnya JK memperoleh 15 juta suara ditambah 24 juta suara menjadi 39 juta suara,” ujar Chairuman.
Dia menyebut seharusnya perolehan suara SBY-Boediono 48 juta suara, JK-Wiranto 39 juta suara, dan Mega-Prabowo 32 juta suara.
Kubu Mega-Prabowo yang diwakil Arteria Dahlan menyebut perolehan suara SBY-Boediono bukan 73.874.562 suara. Dia menyebut hasil itu muncul akibat kecurangan dengan indikasi DPT yang semrawut.
Mega-Prabowo mengajukan tuntutan mengadakan pemilu ulang di 25 provinsi di antaranya, Sumatra Utara, Sumatra Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, NTB, NTT, hingga dan Papua Barat.
Bukan TSM
Ketua MK kala itu Mahfud Md. mengatakan majelis hakim konstitusi secara aklamasi menolak gugatan pasangan JK-Wiranto dan Mega-Prabowo.
Alasan penolakan gugatan dua pasangan capres-cawapres ini didasarkan karena bukti-bukti yang diajukan pemohon bahwa telah terjadi kecurangan secara massif dan terstruktur tidak terbukti.
Majelis hakim menilai kesalahan-kesalahan yang terjadi di lapangan semata-mata karena kendala teknis, bukan pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan massif.
“Mengenai keterlibatan IFES dan formulir C1, dan pelanggaran pemilu lainnya, baik administratif maupun pidana, tidak dapat dinilai sebagai pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis, dan massif. Selain itu, dalil-dalil yang diajukan pemohon tentang penambahan suara pihak terkait [SBY-Boediono] tidak terbukti secara hukum,” sebut Mahfud sebagaimana dikutip dari Detikcom.
Dalam Pilpres 2014, giliran Prabowo-Hatta Rajasa yang maju ke MK untuk menggugat hasil Pilpres 2014. Tim pemenangan Prabowo-Hatta menyebut ada kecurangan dalam pemilihan di lebih dari 52.000 TPS.
Mereka menuding KPU curang karena mengabaikan Data Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) sebagai sumber penyusunan DPT. Hal ini mengakibatkan adanya praktik manipulasi DPT yang prosesnya dianggap menguntungkan kubu Jokowi-JK.
Majelis hakim MK yang diketuai Hamdan Zoelva menolak seluruh gugatan kubu Prabowo karena tidak terbukti adanya kecurangan TSM.
Pada 2019, Prabowo yang berduet dengan Sandiaga Uno kembali maju ke MK setelah pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dinyatakan unggul dalam rekapitulasi pilpres. Tim hukum Prabowo-Sandi yang dikomandoi Bambang Widjojanto kembali mendalilkan adanya kecurangan TSM pilpres. Salah satunya melalui polisi dan intelijen.
”Ketidaknetralan Polri dan BIN atau intelijen yang secara langsung dan tidak langsung bertindak menjadi pemenangan pasangan calon 01, nyata-nyata telah menciptakan ketidakseimbangan ruang kontestasi. Karena akhirnya paslon 02 [Prabowo-Sandi] bukan hanya berkompetisi dengan paslon 01 [Jokowi-Ma’ruf] tetapi juga dengan Presiden petahana Joko Widodo yang diback-up penuh oleh aparat Polri dan intelijen,” kata tim hukum Prabowo–Sandiaga, Denny Indrayana.