Diperkirakan 1,3 juta ton limbah pangan dihasilkan di Indonesia. Sisa makanan ini bisa dialokasikan bagi kebutuhan konsumsi 28 juta orang kelaparan.
JEDA.ID–Kebiasaan membuang makanan kerap dianggap sebagai hal lumrah bagi sebagian masyarakat. Akibatnya, sisa makanan yang menjadi sampah makanan di Indonesia menyentuh angja 26 juta kilogram.
Sisa makanan mungkin dianggap hal sepele dan biasa, namun ternyata memberikan efek yang besar bagi Bumi. Jeda.id mewawancarai beberapa mahasiswa yang berdomisili di Yogyakarta, Rabu (9/10/2019), mengenai kebiasaan mereka membuang sisa makanan.
Salah satunya Ester Arlin, 21. Perempuan yang akrab disapa Ester mengaku dalam sebulan ia bisa lima kali membuang makanan. ”Paling banyak lima kali per bulan. Aku biasanya buang makanan kalau rasanya enggak enak sama kondisi tubuhku lagi enggak fit,” ujar dia.
Cerita yang sama datang dari Samuel August Imoliana, 22. Ia mengatakan jika dalam satu bulan bisa empat kali membuang sisa makanan. ”Kadang kalau makan sayur sama nasi, enggak abis. Soalnya aku enggak begitu suka sayur. Terus aku juga kalau ambil nasi kadang terlalu banyak,” kata dia.
Pengakuan yang sama datang dari Elsavira Tatyana, 21. Dalam sebulan, ia bisa membuang sisa makanan tiga kali. Dia kadang membuang makanan yang terlalu pedas. Alasan perempuan yang akrab disapa Vira adalah tidak terlalu suka makanan pedas.
Kebiasaan membuang makanan bukan hanya soal sisa makanan. Namun, membuang produk yang akan kedaluwarsa dan dianggap tidak optimal juga termasuk membuang makanan.
Dikutip dari Detikcom, Rabu (9/10/2019), 13 juta metrik ton (MT) limbah pangan terbuang tiap tahunnya. Sedangkan, kebutuhan pangan tiap tahunnya mencapai 190 juta MT.
Kini, jumlah penduduk Indonesia mencapai 268 juta. Dalam satu hari, diperkirakan kebutuhan makanan tiap satu penduduk sebesar dua kilogram. Maka, setiap tahunnya satu penduduk Indonesia bisa membuang 48 kilogram makanan. Artinya dalam sehari, tiap penduduk membuang 0,1 kg sisa makanan.
Soal sampah makanan ini tidak lepas dari masalah ketahanan pangan. Indonesia pun berada di peringkat kedua dalam juara membuang makanan di bawah Arab Saudi.
Aturan Ukuran Piring
Banyaknya sampah makanan yang tidak lepas dari ketahanan pangan ini membuat Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla mengusulkan adanya aturan khusus mengenai ukuran piring.
Wacana itu dilontarkan Jusuf Kalla saat Asia Pacific Food Forum 2017 pada 30 Oktober 2017 lalu. ”Salah satu negara di Afrika mengecilkan ukuran piring sebagai upaya mengubah pola makan. Nanti pemerintah buat keppres yang mengatur ukuran piring yang boleh digunakan untuk makan agar tidak mubazir,” jelas Jusuf Kalla sebagaimana dikutip dari laman Kemenkes, Jumat (11/10/2019).
Dia mengatakan sering kali orang membuang-buang makanan karena porsi yang disediakan terlalu besar. Kadang-kadang orang hanya memakan sekitar 70% makanan yang disediakan di piring. Bahkan, di Timur Tengah yang dimakan hanya separuhnya.
”Lihat hotel-hotel dan restoran, berapa ton makanan yang dibuang setiap hari?”
Pola makan yang mubazir akhirnya menghambat upaya Indonesia dalam mencapai ketahanan pangan. Sayangnya, sejak 2 tahun setelah wacana ukuran piring itu bergulir belum ada langkah besar untuk mengatasi masalah sampah makanan.
Food Agriculture Organization of The United Nations memperkirakan ada 1,3 juta ton sisa makanan menjadi limbah pangan di dunia. Tiap tahunnya, satu per tiga makanan berakhir menjadi limbah pangan.
Limbah pangan dunia didominasi buah dan sayur. Tiap tahunnya, sekitar 40 hingga 50 persen sayur dan buah terbuang sia-sia. Sebesar 35 persen daging, susu, dan ikan terbuang. Sedangkan, 30 persen limbah pangan lainnya berupa sereal.
Ternyata, negara maju lebih banyak memproduksi sisa makanan. Setiap tahunnya, satu negara maju bisa menghasilkan 222 juta ton sampah makanan.
Angka yang fantastis, lantaran jumlahnya hampir setara dengan tingkat produksi pangan di Afrika Sub-Sahara. Tiap tahunnya, Afrika Sub-Sahara bisa memproduksi 230 juta ton makanan.
Sementara itu, jumlah sampah makanan per kapita di Eropa mencapai 95 kilogram per tahunnya. Sedangkan, di Amerika Utara mencapai 115 kilogram.
Berbeda jauh dengan Eropa dan Amerika Utara. Afrika Sub-Sahara, Asia Selatan, dan Asia Tenggara, rata-rata sampah per kapitanya sekitar enam hingga 11 kilogram tiap tahunnya.
Beda Penyebab
Sekitar 40 persen sampah makanan di negara berkembang adalah hasil pertanian dan pengolahan. Sedangkan 40 persen limbah pangan di negara maju, adalah hasil penjualan dan konsumsi alias sisa makanan.
Penyebab utama banyaknya limbah pangan di negara berkembang adalah kendala proses produksi, pengemasan, biaya, teknologi, dan fasilitas. Sampah makanan di negara berkembang bisa ditekan lewat investasi, perbaikan infrastruktur dan transportasi.
Sedangkan di negara maju, banyaknya limbah pangan dikarenakan, pola konsumsi penduduk dan kualitas makanan yang pada akhirnya menghasilkan sisa makanan.
Sampah makanan termasuk dalam pemborosan sumber daya alam, tenaga kerja, dan modal. Mayoritas sampah makanan dihasilkan dari hotel, katering, supermarket, restoran, dan lain-lain.
Tiap tahunnya, diperkirakan 1,3 juta ton limbah pangan dihasilkan. Jumlah sisa makanan yang terbuang ini bisa dialokasikan untuk kebutuhan konsumsi 28 juta orang kelaparan di Indonesia.
Tidak hanya itu, limbah pangan bisa menyebabkan kerugian ekonomi. Pada negara industri, kerugian ekonomi yang dihasilkan mencapai US$680 miliar atau setara Rp9 triliun.
Sedangkan kerugian pada negara berkembang sekitar US$310 miliar atau setara Rp4 triliun. Selain menimbulkan kerugian ekonomi, kebiasaan membuang sisa makanan juga memengaruhi perubahan iklim.
Umumnya, cara pembuangan sampah di Indonesia adalah di lahan terbuka. Padahal pembuangan sampah di lahan terbuka terutama limbah pangan dapat menghasilkan gas metana.
Rusak Ozon
Metana adalah jenis gas rumah kaca. Gas ini dapat meningkatkan pemanasan global serta perubahan iklim. Gas metana yang dihasilkan dari limbah pangan jumlahnya sangat besar. Bahkan, gas metana lebih berbahaya dibanding karbondioksida (CO2).
Selain itu, gas metana lebih mudah merusak lapisan ozon. Dampaknya adalah peningkatan perubahan iklim dan lingkungan. Setidaknya sisa makanan yang dihasilkan dalam satu hari bisa menghasilkan gas metana 100 kali lebih berbahaya dalam memengaruhi perubahan iklim.
Mirisnya, perhatian pemerintah akan limbah pangan masih sangat minim. Pemerintah Indonesia masih lebih memperhatikan masalah sawit, industri, dan energi.
”Pemerintah Indonesia masih fokus dalam hal kehutanan, industri, dan energi. Sedangkan, limbah pangan masih sering dianggap remeh bahkan diabaikan,” ujar Satya Hangga Yudha Widya Putra, selaku salah satu pendiri Indonesian Energy and Enviromental Institute, seperti dilansir dari Antara.
Hal yang harus diantisipasi ke depan adalah melonjaknya sisa makanan. Setiap individu memiliki cara berbeda untuk mengurangi limbah pangan. Ada yang memberikannya pada hewan peliharaan, ada juga yang membawa pulang makanan, atau memberikannya pada teman.
Andreas Haryo Aji Pamungkas, 23, mengantisipasi pembuangan makanan dengan memberikannya pada unggas. ”Kalau bisa ya aku jangan simpan makanan terlalu banyak. Aku juga biasanya kasih sisa makanan ke ayam,” tutur pria yang akrab disapa Andreas.
Cara berbeda datang dari Yosep Edi Purnomo Batlayeri, 22. Ia mengaku lebih mengurangi porsi makanannya. ”Kalau pesan makanan sebisa mungkin harus dihabiskan. Kalau misalnya enggak habis bisa dibungkus untuk dimakan nanti, atau dikasih ke hewan peliharaan jika ada,” jelas doa.
Belajar dari Prancis
Riesky Kristhamanda Putri Ubuwarin, 21, lebih memilih memberikan makanan pada temannya. Upaya pengurangi sisa makanan harus juga diikuti dengan adanya kebijakan dari pemerintah.
Indonesia bisa belajar dari Prancis, negara yang paling jarang menghasilkan limbah pangan. Awalnya, penduduk Prancis kerap memproduksi sisa makanan. Adanya peraturan tegas dari pemerintah Prancis terbukti ampuh dalam mengurangi tumpukan limbah pangan.
Salah satu tindakan tegas dari pemerintah Prancis adalah melarang supermarket membuang makanan yang menjelang masa kedaluwarsa sejak 2016 Makanan yang akan kedaluwarsa disumbangkan ke badan amal atau bank makanan. Sejak itu, limbah pangan yang dihasilkan per kepala rumah tangga sekitar 106 kilogram per tahun.
Berkaca dari masalah ini, kesadaran diri untuk selalu menghabiskan makanan termasuk upaya meminimalisasi sisa makanan. Termasuk pula mengurangi dampak perubahan iklim.