NET TV dan TVRI memiliki potensi loyalitas penonton yang jauh lebih tinggi dibandingkan stasiun televisi lainnya.
JEDA.ID–Ini Talkshow. Program acara di NET TV itu nangkring di urutan pertama dalam Top 20 Acara Favorit. NET TV juga bertengger di posisi teratas sebagai stasiun televisi favorit bagi mereka yang menonton televisi sebulan terakhir.
Data itu mengutip hasil survei terhadap 1.740 responden pada April-Mei 2019 yang dilakukan lembaga survei digital Provetic sebagaimana dikutip dari laman tvri.go.id, Sabtu (10/8/2019).
Survei itu sesungguhnya bertujuan mengukur kualitas program dan berita TVRI. Namun, di dalamnya tercantum berbagai data tentang program acara yang paling digemari hingga stasiun televisi yang paling sering ditonton hingga TV favorit.
Dalam survei itu Ini Talkshow dari NET TV menjadi acara paling favorit karena dipilih 7,7% responden. Di bawahnya ada Pesbukers dari ANTV dengan 3,62% dan disusul Dunia Dalam Berita dari TVRI dengan 3,52%.
Di bawah itu ada acara yang beragam mulai sinetron seperti Cinta Suci hingga Tukang Ojek Pengkolan atau talkshow seperti Indonesia Lawyer Club dan Mata Najwa.
Survei ini menyebutkan RCTI dan Trans 7 menjadi channel yang paling sering ditonton dalam sebulan terahir. Ada 56% responden yang menonton RCTI dan Trans 7 dalam sebulan terakhir. Di urutan ketiga ada NET TV dengan 52%.
Bila dibandingkan dengan survei yang sama pada 2018 lalu, NET TV mengalami penurunan. Dalam survei 2018, NET TV menjadi jawara dengan 65%.
”NET TV yang tahun lalu menjadi channel paling banyak ditonton kali ini berada di posisi ketiga, disusul oleh Trans TV dan TVRI,” sebagaimana tertulis dalam laporan survei itu.
Namun, untuk urusan TV favorit, NET TV dan TVRI yang menjadi jawara. Ada 37% responden yang menonton NET TVdan TVRI dalam sebulan terakhir memilih keduanya sebagai channel favorit.
”Hal ini menunjukkan NET TV dan TVRI memiliki potensi loyalitas penonton yang jauh lebih tinggi dibandingkan stasiun televisi lainnya. NET TV dan TVRI memiliki tingkat penerimaan yang tinggi dari orang-orang yang menontonnya, meskipun jumlah penonton mereka tidak sebanyak RCTI dan Trans 7.”
Isu PHK di NET TV
NET TV diterpa isu tidak mengenakkan sejak Jumat (9/8/2019). Stasiun TV yang mengudara sejak 2013 lalu itu isukan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap para karyawan.
Persoalan NET TV mendapat respons publik lewat petisi di laman change.org. Terdapat petisi We Love #NetTv yang hingga Sabtu pukul 12.50 WIB sudah diteken lebih dari 2.000 orang dan terus bertambah.
”Yuk tanda tangani petisi ini agar Net Tv masih bisa bersaing di pertelevisian indonesia. Kita buktikan bahwa masyarakat indonesia masih butuh Net Tv sebagai stasiun tv kita semua,” sebagimana terulis di petisi itu.
Komisaris Utama PT Net Mediatama Televisi, Wishnutama, membantah kabar akan ada PHK massal di NET TV. Dia menegaskan tidak ada rencana seperti itu.
”Barusan saya sudah ketemu dengan direksi untuk minta penjelasan perihal berita ini. Informasi yang disampaikan kepada saya oleh direksi tidak ada PHK seperti yang diberitakan,” kata Wishnutama sebagaimana dikutip dari Detikcom.
Chief Operating Officer PT Net Mediatama Azuan Syahril juga memberi penjelasan serupa. Dia memastikan tidak ada rencana PHK massal terhadap karyawan NET TV.
Tapi pihaknya tak membantah sedang melakukan efisiensi. Manajemen menawarkan karyawannya untuk mengundurkan diri (resign) secara suka rela dengan diberi benefit yang layak.
“Yang ada kita di sini dalam rangka, salah satunya efisiensi segala macam, kita mencoba menawarkan ke karyawan yang berminat mengundurkan diri kita kasih kesempatan dan akan diberikan benefit,” kata dia.
Dia menjelaskan saat ini industri televisi memang mengharuskan pihaknya mengambil langkah-langkah efisensi, tapi bukan dengan PHK massal dan sepihak.
Tak bisa dimungkiri industri televisi tengah berjuang keras menghadap perubahan pola masyarakat dalam menikmati hiburan. Masyarakat kini punya beragam TV alternatif selain siaran TV teresterial.
Durasi Menonton Televisi
Dalam survei yang dilakukan Provetic, TV alternatif adalah TV kabel sebanyak 46%, Youtube 32%, media sosial 12%, hingga layanan streaming 8%. Lalu berapa lama kira-kira masyarakat Indonesia menonton televisi setiap harinya?
Provetic menyebut saat hari biasa (Senin-Jumat), ada 39% responden yang menonton televisi 1-2 jam. Kemudian 35% responden menonton televisi 3-4 jam, 22% menonton televisi lebih dari 4 jam sehari. Kemudian ada 4% yang sama-sekali tidak pernah menonton televisi.
Saat akhir pekan (Sabtu-Minggu), durasi menonton TV meningkat. Sebanyak 41% responden menyatakan menonton televisi selama lebih dari empat jam. Kemudian 34% menonton televisi selama 3-4 jam, 22% menonton televisi selama 1-2 jam, dan 2% tidak menonton televisi.
”Temuan ini memperlihatkan bahwa menonton TV hanyalah satu dari banyak pilihan hiburan yang dikonsumsi responden setiap harinya,” sebagaimana tertulis di laporan survei itu.
Praktisi Bisnis yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali menyebutkan, bisnis pertelevisian sedang berat-beratnya menghadapi inovasi industri digital.
“Industri pertelevisian tengah memasuki fase yang sangat berat. Model bisnis televisi yang kita kenal tiba-tiba dihadang oleh model baru,” kata dia sebagaimana dikutip dari Detikcom.
Era #MO dianggap sebagai peradaban entrepreneurship anak-anak muda yang berbasis teknologi. Untuk membuat dampak besar dan ekonomi heboh tidak perlu modal besar karena peradaban ini didukung oleh enam pilar: Artificial Intelligence (AI), Big Data, Super Apps, Broadband Network, Internet of Things (IoT), dan Cloud Computing.
Tagar MO juga dapat diartikan dengan tujuan mobilisasi dan orkestrasi. Sebab, di era baru, #MO membuat bisnis harus hidup dari cara mobilisasi dan orkestrasi ekosistem pakai data.
Rhenald mengatakan pendatang baru seperti Youtube dan Netflix, serta semacamnya mampu memberikan konten yang sama dengan televisi namun mampu diakses masyarkat dengan mudah.
Tengah Berdarah-Darah
Generasi baru pun kini menonton televisi dengan cara yang berbeda. Dari survei, 19% responden memilih menonton televisi dari telepon pintar dan laptop.
Dengan kondisi bisnis yang sudah berubah, Rhenald menganggap biaya produksi stasiun televisi konvensional menjadi lebih mahal dibandingkan yang berbasis platform.
Biaya produksi televisi konvensional lebih mahal, dikatakan Rhenald, karena harus memproduksi program yang bisa ditayangkan selama 24 jam. ”Sementara Youtube dan Netflix tak harus produksi sendiri,” ujarnya.
Dia menjelaskan konten yang tersedia di Youtube sebetulnya tergantung dari si Youtubernya sendiri. Konten yang disajikan pun dipastikan lebih murah biaya produksinya.
Oleh karena itu, Rhenald menganggap bahwa bisnis pertelevisian konvensional tengah ‘berdarah-darah’ mengingat fenomena shifting alias perpindahan ke digital.
”Apakah berdarah-darah? Ya dengan terjadinya shifting dari TV ke sosmed, tekanan penurunan pendapatan TV mengakibatkan biaya produksinya mahal,” ungkap dia.