Angin akan menerbangkan kapuk yang ringan ke udara seperti halnya salju yang melayang. Saat itu kapuk Jawa menjadi primadona di beberapa kota di Jawa.
JEDA.ID–Cerita bermula ketika kapuk Jawa mulai ditanam pada 1900-an atau masa kolonial Belanda. Hanya butuh beberapa tahun saja bagi kapuk Jawa untuk berjaya. Legenda kesuksesan kapuk Jawa ingin coba diulang dalam bentuk yang berbeda.
Banyak orang tahu kapas tetapi belum pernah melihat kapuk (Ceiba petandra). Atau malah tak bisa membedakan antara keduanya. Java kapok atau kapuk Jawa pernah menjadi komoditi penting dari Indonesia.
Sekitar 1928, kapuk Jawa dipasok ke berbagai negara. Puncaknya pada 1936-1937, kapuk Jawa mampu memenuhi 85% kebutuhan dunia. Saingan utamanya adalah kapuk dari Thailand.
Sampai era 1990-an, kapuk Jawa masih berproduksi dengan baik untuk pasar lokal. Banyak warga menggunakan untuk kasur tidur. Namun, era 2000-an, kebutuhan masyarakat pada kapuk berangsur turun.
Kawasan Pegunungan Muria di Jawa Tengah dulu dikenal sebagai sentra penghasil kapuk. Sebagaimana dilansir dari indonesia.go.id, Kamis (7/11/2019), era 1970-an sampai 1980-an, lereng Pegunungan Muria dipenuhi pohon randu.
”Jika randu mulai berbunga, itu pertanda hadirnya musim hujan. Jika kulit buah pohon yang mirip jagung itu mulai pecah dan jatuh ke tanah, itu bertanda musim kemarau segera datang.”
Angin akan menerbangkan kapuk yang ringan ke udara seperti halnya salju yang melayang. Kala itu, randu mudah ditemukan di pinggir jalan di beberapa kota di Jawa Tengah seperti Kudus, Pati, Jepara dan berjajar sampai jalan-jalan desa.
Di beberapa bukit sampai Pegunungan Muria, randu ditanam untuk kepentingan buah kapuk sekaligus pohon peneduh bagi tanaman di bawahnya.
Randu juga berfungsi sebagai pencegah erosi di lereng-lereng gunung. Kawasan Bogor, Jawa Barat juga pernah dirindangi pohon randu di sepanjang jalan.
Tanaman Multifungsi
Bisa dibilang pohon randu adalah tanaman multifungsi. Buahnya menjadi kapuk pengisi kasur. Seratnya yang kasar dimanfaatkan jadi bahan dasar matras, lapisan dalam jas hujan, bahan penahan panas, dan peredam suara.
Biji buah yang kerap disebut dengan klentheng diolah menjadi minyak pelumas dan minyak lampu. Bungkil biji bisa dipakai untuk pakan ternak.
Masyarakat Filipina dan Thailand sangat menyukai daun, bunga, dan buahnya yang masih muda karena bisa dimakan. Daun mudanya banyak mengandung kalsium.
Kulit buahnya sering dijadikan bahan bakar untuk memasak. Daun, akar pohon randu bisa dibuat obat diare dan lain-lain dengan cara merebusnya.
Era itu, warga di sentra penghasil kapuk Jawa selalu dipenuhi aktivitas mengurusi kapuk. Desa Karaban, Gabus, Pati, misalnya. Masyarakat sehari-hari sibuk dengan memunguti kapuk yang matang dan jatuh ke tanah.
Saat terkumpul mereka akan sibuk dengan mesin pres. Kapuk yang sudah dipres itu dikirim ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Masyarakat di pulau-pulau itu membutuhkan kapuk dari Jawa sebagai bahan untuk membuat kasur. Dulu, kapuk asal Pati selalu dinanti.
Kini kapuk Jawa tak lagi diminati, termasuk di sentra pembuatannya. Para petani juga mulai enggan menanam kapuk karena hanya bisa dipanen sekali dalam setahun.
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) Balitbangtan Kementerian Pertanian memang kerap memperkenalkan bibit-bibit unggul kapuk Jawa.
Namun, petani di sentra penghasil kapuk randu seperti Gabus, Pati, dan lainnya kini lebih suka menanam tanaman musiman seperti ketela pohon atau palawija lainnya. Tanaman itu dinilai ebih cepat mendatangkan uang dibanding randu.
Selain itu, banyak batang pohon randu ditebang untuk bahan utama pembangunan rumah penduduk. Masyarakat tidak lagi menggantungkan hidupnya pada produksi pohon randu.
Pabrik pengolahan biji randupun mengalami penurunan produksi dan banyak yang berhenti beroperasi. Saat 1990-an produksi kapuk randu bisa mencapai 80.000 ton dengan nilai ekspornya mencapai 28.000 ton per tahun.
Biji Randu Dinanti
Jumlahnya susut drastis untuk kebutuhan ekspor menjadi 1.500 ton per tahun pada 2012. Mungkin masa emas kapuk Jawa sudah berlalu, namun kisah randu bisa belum berakhir.
Kapuk randu masih diperlukan untuk industri bahan kedap suara dan bahan lainnya yang butuh penahan cuaca, terutama karena seratnya yang jauh lebih kuat dibanding kapas. Minyak pelumas dari biji randu dan bungkilnya pun masih dinanti pasar dunia.
Dikutip dari laman Kementerian Pertanian, biji kapuk mengandung minyak sekitar 24 sampai 40 peren. Persentase biji kapuk yang terkandung pada setiap gelondong buahnya sebesar 26 persen.
Dengan demikian, setiap 100 kilogram gelondong kapuk akan menghasilkan 26 kilogram limbah biji kapuk. Selama ini, biji kapuk masih kurang dimanfaatkan dan dibuang begitu saja tanpa diolah dan dimanfaatkan.
Padahal, kandungan minyak biji kapuk yang cukup tinggi dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan sabun padat. Minyak bisa diperoleh dari proses ekstraksi biji kapas dan kapuk.
Proses ekstraksi pun dapat dilakukan dengan beberapa cara. Cara fisik, misalnya, yakni dengan pengepresan. Cara lainnya adalah cara kimia dengan ekstraksi pelarut.
Karantina Pertanian Semarang mengakui terus tumbuhnya peluang ekspor hasil dari kapuk Jawa khususnya bungkil biji kapuk. Bila pada 2018 ada ekspor 50 kg, kini hingga Juli ekspor sudah menembus 100 kg.
Kepala Seksi Karantina Tumbuhan Karantina Pertanian Semarang, Cisilia, menjelaskan di negara tujuan ekspor, limbah kapuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak, setelah dilakukan proses menjadi minyak.
Dian Tristiani, pimpinan CV Bunga Kembang Enterprise selaku pengekspor menyampaikan bahwa saat musim panen kapuk randu, banyak biji yang berserakan di tanah.
Limbah yang dianggap tidak berguna menjadi nilai ekonomis di negara Korea, bahkan nilainya dapat mencapai ratusan juta rupiah. Negara tujuan ekspor biji kapuk masih terbuka luas antara lain Korea dan Jepang.
Terus bertumbuh potensi ekspornya ini harusnya bisa menggeliatkan kembali sentra-sentra kapuk Jawa di Jawa Tengah.