Banyaknya perminataan kebutuhan rambut palsu dan terbatasnya bahan baku sempat melahirkan pasar rambut di Karangbanjar, Purbalingga pada 1963.
JEDA.ID–Bicara rambut palsu di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran ribuan ibu-ibu yang bekerja di industri rumahan di Purbalingga, Jawa Tengah dan Sidoarjo, Jawa Timur. Dua daerah inilah yang menjadi pusat produksi rambut palsu asal Indonesia yang sudah mendunia.
Tak tanggung-tanggung, rambut atau bulu mata palsu dari Purbalingga dan Sidoarjo ini sudah masuk level premium. Bila kalangan artis Tanah Air atau mancanegara mengenakan rambut atau bulu mata palsu merek Diva’s Wig atau Fair Lady, artinya itu buatan Purbalingga atau Sidoarjo.
Cerita rambut palsu di Purbalingga tak bisa lepas dari sosok Tarmawi yang tinggal di Desa Karangbanjar, Bojongsari. Era 1950-an, Tarmawi mengumpulkan potongan rambut untuk dibuat sanggul. Sanggul buatan Tarmawi ini ternyata laris manis saat hajatan pengantin.
Sanggul buatannya langsung berkibar karena harus memenuhi permintaan konsumen dari Purbalingga dan berbagai kota lain di Jawa Tengah sampai Jakarta. Awalnya dari sanggul Jawa tekuk kemudian berkembang ke sanggul modern sampai sanggul cepol.
Tren Warna 2020: Classic Blue hingga Safron
Kemudian berkembang lagi membuat rambut sambung, rambut palsu, sampai jenggot palsu. Keterampilan itu kemudian menular ke beberapa orang di Desa Karangbanjar dan para perajin itu mulai membentuk home industry.
Banyaknya perminataan dan terbatasnya bahan baku sempat melahirkan pasar rambut di Karangbanjar pada 1963. Pasar rambut itu selayaknya pasar tradisional yang menawarkan rambut sisa potong atau sisa sisiran rambut.
Penyedia bahan baku datang dari berbagai daerah di luar Purbalingga dan pengrajin sanggul membelinya. Namun, kini pasar rambut itu kini sudah tidak ada.
Sebagaimana dikutip dari indonesia.go.id, Rabu (11/12/2019), kini bahan baku disediakan pemasok lama dan pengepul rambut asal Karangbanjar.
Para pengepul rambut ini sebagian adalah petani. Jika musim tanam atau panen tiba, mereka tidak bisa mengumpulkan bahan baku rambut. Kini, bahan baku tidak hanya berupa potongan rambut asli namun juga bahan sintetis yang didatangkan dari Korea Selatan, Jepang dan China.
Sempat Meredup
Industri ini sempat meredup pada era 1970-an. Kala itu, beberapa negara seperti India, Bangladesh, Senegal, dan Filipina, mulai memproduksi komoditas sejenis.
Untungnya hal itu tidak terlalu lama. Pasar dunia akhirnya kembali menjatuhkan pilihan ke buatan Indonesia karena buatan negara lain dinilai tidak memuaskan, Misalnya konsumen Inggris menilai kualitas buatan Indonesia sangat baik karena halus.
Pasar dunia pun kembali mencari produk Indonesia karena kualitasnya memang jempolan dan seleranya mengikuti tren dunia. Era 1990-an, ekspor rambut palsu menjadi andalan terutama setelah beberapa pabrik berdiri di Purbalingga dan Sidoarjo.
Pabrik di Sidoarjo dengan cepat memenuhi selera konsumen rambut palsu dan bulu mata palsu di AS dan Afrika dengan merek Diva’s Wig yang digemari dunia itu.
Status Sosial hingga Gaya Hidup di Balik Barang Fashion Bernilai Miliaran Rupiah
Di Purbalingga, komoditi ini menarik perhatian beberapa investor dan mereka mulai menginvestasikan uangnya dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA).
Kini ada sekitar 28 PMA di Purbalingga (sebagian besar dari Korea Selatan), selain puluhan home industry yang masih beroperasi. Bisnis ini menyerap sekitar 55.000 tenaga kerja.
”Ini adalah produk kebanggaan dari Purbalingga. Ternyata wig-wig ini diekspor dan merupakan produk yang luar biasa bahkan ini juga home industry,” ujar Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo beberapa waktu lalu sebagaimana dikutip dari laman Pemprov Jateng.
Salah satu perajin rambut palsu di Purbalingga, Riyanto, menyebutkan usahanya diturunkan orang tua dan kini kian berkembang. Pemasaran rambut sanggul yang diproduksi tidak hanya merambah daerah sekitar seperti Jakarta dan Surabaya, juga menembus pasar luar negeri.
Peraih rekor Muri 2003 sebagai pemrakarsa pembuatan sanggul terbesar dengan diameter 2,8 meter dan panjang 3 meter itu menjelaskan saat ini ada sekitar 1.500 usaha rumahan rambut palsu baik sanggul maupun wig.
Kendala yang mereka hadapi adalah pasokan bahan baku yang terbatas. Bahan baku beragam rambut palsu terdiri dari dua jenis, yaitu rambut asli seharga Rp900.000 per kilogram dan bahan baku sintesis. Bahan sintesis baru seharga Rp60.000 per kilogram sedangkan sintesis limbah Rp30.000 per kilogram.
Pengrajin Plasma
Industri komoditas ini di Purbalingga sedikit berbeda dengan di Sidoarjo. Jika di Sidoarjo semua pengelolaan bahan dan pengerjaan dikerjakan oleh pabrik, di Purbalingga sebagian pengerjaannya diserahkan ke perajin.
Misalnya pengumpulan dan klasifikasi bahan baku, pembersihan, dan pengerjaan awal. Sedangkan pengerjaan lanjutan seperti penentuan model, pembuatan gelombang (ikal atau lurus) dan pewarnaan dikerjakan di pabrik.
Kemudian untuk bulu mata, dimulai oleh perajin seperti menempelkan rambut pada seutas benang. Perajin yang bermitra dengan pabrik dan mengerjakan sebagian pekerjaan awal disebut perajin plasma.
Di pabrik, tidak semuanya dikerjakan dengan mesin karena beberapa bagian masih dikerjakan dengan tangan (handmade) oleh buruh pabrik. Inilah yang jadi pembeda rambut palsu Indonesia dan negara lainnya seperti China.
Bernard Arnault dan Alasan Brand Louis Vuitton Selalu Tampak Mahal
China yang kini menjadi pesaing utama karena pengerjaannya menggunakan mesin. Dengan mengandalkan mesin, jumlah rambut palsu buatan China jauh lebih banyak. Namun, urusan kualitas, rambut palsu Indonesia lebih unggul.
”Komoditi Indonesia ini menguasai sebagian besar kebutuhan dunia, khususnya Amerika Serikat, Eropa, Afrika dan Asia sendiri. Jika disisir lagi, selama 30 tahun terakhir ini perajin dan dan pabrikan Indonesia telah mengekspor kurang lebih ke 40 negara tujuan.”
Di pasar Asia, negara penyuka rambut dan bulu mata palsu produk Indonesia adalah Malaysia, Jepang, Arab, Thailand, Bangladesh, China, Singapura, dan Iran. Sedang negara Eropa yang menyukai rambut palsu Indonesia adalah Belanda dan Inggris. Sedangkan negara Afrika adalah Nigeria.
Nilai ekspor pun kian melonjak dari tahun ke tahun. Misalnya sejak 2013 rambut palsu menyumbang 30% dari ekspor kelompok handycraft senilai Rp9,7 triliun. Pada 2015 produk ini alami surplus sekitar Rp4,7 miliar dan menguasai sekitar 7,28% total ekspor dunia.