Tahun ini muncul ungkapan, ”siswa pintar kalah dengan siswa dekat sekolah.”
JEDA.ID–Sistem zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang bergulir sejak tiga tahun lalu tak pernah luput dari polemik setiap tahunnya. Masalah surat keterangan tidak mampu (SKTM) hingga zonasi yang mengabaikan nilai siswa menjadi isu timbul saat tahun ajaran baru.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kali pertama mengeluarkan aturan tentang zonasi pada tahun ajaran 2017/2018. Lewat Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang PPDB, sistem zonasi mulai diterapkan untuk berbagai jenjang pendidikan, kecuali SMK.
Dalam aturan itu disebutkan sekolah negeri yang diselenggarakan pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit 90% dari total jumlah peserta didik yang diterima. Sisanya, 5% untuk jalur prestasi, dan 5% untuk peserta didik yang mengalami perpindahan domisili.
”Semua sekolah harus jadi sekolah favorit. Semoga tidak ada lagi sekolah yang mutunya rendah,” ujar Mendikbud Muhadjir Effendy di Jakarta, Rabu (7/5/2017), sebagaimana dikutip dari laman kemdikbud.go.id, Senin (24/6/2019).
Sistem zonasi PPDB diterapkan pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses pada layanan dan kualitas pendidikan, Muhadjir mengatakan zonasi tidak hanya digunakan untuk PPDB, namun juga untuk membenahi berbagai standar nasional pendidikan.
“Mulai dari kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik, kemudian kualitas sarana prasarana. Semuanya nanti akan ditangani berbasis zonasi,” terang Muhadjir.
Niat pemerintah agar ada pemerataan sekolah itu bukan tanpa kendala. Salah satu masalah pelik yang muncul adalah penggunaan SKTM dalam PPDB. Sebab, dalam aturan itu tertuang ada kuota minimal 20% bagi warga miskin. Siswa miskin dalam PPDN juga diprioritaskan karena kuota mereka terpisah dengan kuota calon siswa lainnya.
Orang Miskin Baru
”Orang miskin baru” pun bermunculan. Banyak warga yang tiba-tiba mengaku miskin agar mereka bisa masuk sekolah dengan membuat SKTM di desa/kelurahan . Kala itu muncul ungkapan, ”siswa pintar kalah dengan siswa miskin.”
Contohnya di Jawa Tengah saat dalam PPDB 2017 ada 168 SKTM ”palsu” (SKTM asli namun tidak sesuai kondisi riil). ”Mereka harus membuat surat pernyataan dan penegasan mengenai kondisi ekonomi keluarga. Masak dari kalangan mampu mengklaim tidak mampu,” ujar Kepala Disdikbud Jateng, Gatot Bambang Hastowo, Senin (19/6/2017), sebagaimana dikutip dari Solopos.com.
Penggunaan SKTM ”palsu” kembali terulang pada 2018 yang juga sudah menerapkan sistem zonasi. Kuota untuk siswa miskin minimal 20% juga dipertahankan. Alhasil, ”orang miskin baru” meledak. Kala itu, Gubernur Jawa Tengah (Jateng), Ganjar Pranowo, menyebut ada 78.065 SKTM palsu dalam PPDB SMA/SMK. Masalah utama yang mencuat adalah aturan tentang kewajiba sekolah menerima siswa miskin minimal 20%.
”Tapi tidak ditulis maksimalnya, maka terjadi perdebatan. Saya pastikan, setelah ini saya bertemu pak menteri dan sistemnya harus diubah. Masukan ke saya sudah banyak sekali, secara sosiologis tidak aplikatif karena ada demoralisasi penggunaan SKTM,” terang Ganjar, Selasa (10/7/2018).
Urusan SKTM tidak lagi mencuat dalam PPDB 2019. Sebab, pembuktian siswa miskin tidak lagi menggunakan SKTM. Namun, siswa miskin adalah siswa yang masuk dalam program penanggulangan kemiskinan seperti Program Indonesia Pintar hingga Program Keluarga Harapan (PKH).
Aturan sistem zonasi PPDB 2019 yang menuai polemik adalah kuota siswa berprestasi. Pada 2019, kuota zonasi tetap sama yaitu 90%, siswa berprestasi 5%, dan 5% pindah domisili. Meski sama dengan tahun sebelumnya, aturan ini diprotes karena dinilai tidak adil bagi siswa berprestasi. Tahun ini muncul ungkapan, ”siswa pintar kalah dengan siswa dekat sekolah.”
Revisi Aturan
Muhadjir Effendy akhirnya merevisi Permendikbud Nomor 51 Tahun 2019 tentang PPDB. Kuota jalur prestasi yang semula maksimal 5% diubah menjadi 5%-15%. Mendikbud mengatakan perubahan kebijakan tersebut diputuskan setelah mendapatkan arahan dari Presiden Joko Widodo dan mendengarkan aspirasi dari pemerintah daerah.
”Kuota untuk siswa yang berprestasi dari luar zonasi yang semula hanya 5 persen, beliau [Presiden] berpesan supaya diperlonggar. Karena itu sekarang kami perlonggar dalam bentuk interval, yaitu antara 5 sampai 15 persen,” ujar Mendikbud.
Muhadjir menjelaskan bagi daerah yang sudah menjalankan kebijakan kuota 5%, tetap diteruskan. Bagi daerah yang masih bermasalah dengan kuota jalur prestasi, pemerintah memberikan kelonggaran dengan mengubah kuota tersebut.
Perubahan aturan ini pun membuat bingung orang tua calon siswa. Mereka merasa diombang-ambingkan dengan perubahan aturan.