Ada dampak Omnibus Law terhadap lingkungan hidup dan pekerja. Dampak Omnibus Law terhadap lingkungan hidup dan pekerja ini jadi sorotan.
JEDA.ID-Ada dampak Omnibus Law terhadap lingkungan hidup dan pekerja. Dampak Omnibus Law terhadap lingkungan hidup dan pekerja ini jadi sorotan.
Pengesahan UU Ciptakerja ini diambil dalam rapat paripurna yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Pengesahan UU ini diwarnai penolakan Fraksi Partai Demokrat dan PKS.
Meskipun UU Ciptaker telah disahkan, sejumlah protes yang menolak undang-undang masih terus bergema. Beberapa di antaranya disuarakan oleh protes kaum buruh di sejumlah daerah.
Berikut ini sejumlah pasal krusial dan dampaknya seperti dikutip dari detikcom, Selasa (6/10/2020):
1. Pasal Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Salah satu pasal yang direvisi di UU Ciptaker adalah Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan Pasal Pertanggungjawaban Mutlak.
Pasal 88 UU PPLH berbunyi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
7 Aplikasi Berkebun Pilihan, Kamu Pilih yang Mana?
Dalam draf RUU Cipta Kerja, Pasal itu diubah menjadi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.
Sebagaimana diketahui, Pasal 88 UU PPLH itu digunakan pemerintah untuk menjerat para perusak dan pembakar hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedikitnya mengantongi putusan dengan nilai ganti rugi hingga Rp 18 triliun dari pembakar/perusak hutan. Meski belum seluruhnya dieksekusi, namun putusan pengadilan ini memberikan harapan bagi penegakan hukum lingkungan.
Pasal ini pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada 2017. Mereka meminta pasal itu dihapus karena merugikan mereka. Di tengah jalan, gugatan itu dicabut.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai bahwa penghapusan pasal ini berdampak pada hilangnya tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan.
Ingin Terhindar dari Mimpi Buruk Saat Tidur? Lakukan Ini
“Bahwa pertanggungjawaban mutlak korporasi itu berusaha diminimalkan dan terindikasi akan hilang dengan sendirinya. Artinya pemerintah lebih melindungi keberlangsungan korporasi dibanding upaya penegakan hukum secara mutlak berdasarkan UU 32/2009,” ujar Koordinator Kampanye WALHI Edo Rakhman kepada wartawan, Selasa (6/10/2020).
2. Pasal Terkait Kewajiban Memiliki Amdal
UU Ciptaker juga merevisi kewajiban pengusaha terkait analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal) dalam UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Selain Amdal, ada pula upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang disebut UKL-UPL, yang merupakan pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Dalam Pasal 36 UU 32 Tahun 2009, Amdal menjadi syarat bagi pengusaha untuk melakukan kegiatan usahanya:
Pasal 36
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Selanjutnya, dalam UU Ciptaker, Pasal 36 yang mengatur soal kewajiban terkait Amdal telah dihapus. Namun, di Pasal 37 ada penjelasan sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar Amdal dan UKL-UPL.
14. Ketentuan Pasal 36 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan.
Koordinator Kampanye WALHI Edo Rakhman mengatakan bahwa Omnibus Law meringkas pasal tersebut dalam izin usaha. Dia menduga itu untuk menghilangkan izin lingkungan.
“Jadi jelas bahwa izin lingkungan itu dihilangkan. Kalau di Pasal 37 Omnibus, Perizinan berusaha dapat dibatalkan apabila, c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen AMDAL dan UKL-UPL (bukan izin lingkungan). Artinya, AMDAL dan UKL-UPL itu adalah bagian dari izin berusaha,” jelasnya.
3. Pasal soal Pesangon
Yang juga dipermasalahkan dalam UU Ciptaker adalah pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diturunkan dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah, dengan rincian 19 kali upah ditanggung pemberi kerja dan 6 kali upah ditanggung melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Jika dibuat simulasi, maka begini jadinya. Seorang pekerja sebut saja Andin memiliki gaji pokok sesuai upah minimum provinsi (UMP) Jakarta saat ini Rp 4,2 juta. Setelah bekerja selama 8 tahun 3 bulan, dia terpaksa berhenti kerja karena perusahaan melakukan efisiensi. Berapa uang pesangon yang diterima Andin?
Berdasarkan UU Cipta Kerja, dengan masa kerja 8 tahun atau lebih, Andin mendapat pesangon 9 bulan upah. Di dalam UU Nomor 13 2003 yang dulu, jika pekerja kena PHK dengan alasan efisiensi maka perusahaan berhak memberikan 2 x 9 bulan upah = 18 bulan upah.
Ditambah dengan uang penghargaan masa kerja yang termasuk 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, Andin mendapat 3 bulan upah. Itu berarti 18 (pesangon) + 3 = 21 bulan upah.
Jika sudah ditentukan jumlah pesangon (21), dikalikan dengan gaji Andin Rp 4,2 juta = Rp 88,2 juta. Jumlah itulah uang pesangon yang diterima Andin.
Perhitungan Pesangon
Selain itu, berikut perhitungan uang pesangon paling sedikit berdasarkan Pasal 156 UU Ciptaker:
a. Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah.
b. Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah.
c. Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah.
d. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah.
e. Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah.
f. Masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah.
g. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah.
h. Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah.
i. Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Sedangkan perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan berdasarkan:
a. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah.
b. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah.
c. masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah.
d. masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah.
e. masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah.
f. masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah.
g. masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah.
h. masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran uang pesangon serta uang penghargaan masa kerja ketika terjadi PHK diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan besaran pesangon tersebut hanya untuk pekerja dengan waktu kerja di atas 24 tahun dan dengan alasan tertentu. Jadi, besaran pesangon tersebut sebenarnya juga tidak bisa dinikmati oleh semua pekerja selama ini.
“32,2 kali upah itu adalah pesangon paling tinggi dan itu didapat untuk pekerja-pekerja yang punya usia kerja 24 tahun ke atas. Alasan PHK-nya juga tertentu, satu karena meninggal dunia, dua karena pensiun, tiga karena di PHK karena efisiensi, empat karena perusahaan merger tidak boleh ikut perusahaan baru, jadi tidak seluruh PHK (dapat 32,2 kali upah),” kata Timboel kepada detikcom, Senin (5/10/2020).