Wisata di Sawahlunto yang berupa situs ini memperlihatkan adanya inovasi teknologi pertambangan di abad ke-19 yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain.
JEDA.ID–6 Juli 2019 menjadi hari yang bersejarah bagi Kota Sawahlunto, Sumatra Barat. Hari itu, Unesco menetapkan Kota Sawahlunto sebagai situs warisan dunia kategori budaya. Sejak hari itu pintu bagi Sawahlunto menjadi kawasan wisata unggulan terbuka lebar.
Adalah situs Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto yang menjadi warisan dunia. Wisata di Sawahlunto itu adalah situs kota pertambangan tertua di Asia Tenggara.
Awalnya pertambangan didirikan oleh Hindia Belanda pada 1888. Baru kemduian perusahaan Pertambangan Batubara Ombilin didirikan pada 1892. Situs ini memiliki kemiripan dengan situs Major Mining Sites of Wallonia di Belgia. Dibangun di abad ke-19 dan juga telah ditetapkan Unesco sebagai warisan dunia pada 2012.
Kota Sawahlunto berada sekitar 95 km sebelah timur Kota Padang, Sumatra Barat. Ada dua pilihan moda transportasi untuk datang menikmati wisata Sawahlunto. Menggunakan mobil waktu tempuhnya sekitar 2,5 jam.
Naik kereta api, rutenya lebih memutar. Melalui Kota Padangpanjang lalu Solok, Muarakalaban, dan barulah baru berbelok ke kiri ke Sawahlunto. Butuh waktu sekitar 5,5 jam bila naik kereta api.
Namun, lamanya waktu tempuh itu berbanding dengan cerita panjang mengenai kisah Sawahlunto. Bukan hanya diajak menikmati jalur kereta api yang dibangun di penghujung abad ke-19, kita juga bisa membayangkan kota tambang yang dibangun secara terintegrasi di masa lalu.
Kota Lama
Sebagaimana dikutip dari laman indonesia.go.id, pertambangan di Sawahlunto, jalur rel kereta api, dan Pelabuhan Teluk Bayur—yang dulu bernama “Emmahaven”—di Kota Padang, ibarat “tiga serangkai” dari proyek pembangunan Sawahlunto sebagai kota tambang di zaman Belanda.
Memasuki areal kawasan “Kota Lama”, segera saja citra, nuansa, dan nostalgia akan kota tua dari abad ke-19 bakal terpatri kuat di benak kita. Menurut catatan dua geolog Belanda yang kali pertama melakukan eksplorasi pada 1867, De Greve dan Kalshoven, Sawahlunto ketika itu belum menjadi daerah hunian penduduk.
Merujuk tulisan Andi Asoka dkk. dalam Sawahlunto, Dulu, Kini, dan Esok diperkirakan Sawahlunto mulai jadi daerah pemukiman sejak 1887.
Belanda menanamkan modal 5,5 juta gulden untuk merealisasikan industri tambang batubara, setelah daerah itu ditetapkan sebagai kawasan konsesi pertambangan oleh pemerintah Belanda pada 1886.
Enam tahun setelah penandatangan konsesi, pada 1891 dimulailah usaha pertambangan. Ekspor perdana tercatat pada 1892. Bagaimana pentingnya komoditas batubara dan Sawahlunto di masa itu terlihat dari perubahan posisi status daerah ini yang bisa dikatakan nisbi cepat.
Sawahluto pun tumbuh jadi daerah tujuan orang mencari penghidupan. Seiring pesatnya perkembangan sosiologis yang semakin kompleks, pemerintah Hindia-Belanda pada 1918 menetapkan Sawahlunto sebagai Kotapraja (Gemeente).
Sebagai daerah otonomi, posisi wali kota dijabat oleh Kepala Afdeeling Tanah Datar dengan dibantu oleh sebuah Dewan Kota (Gemeenteraad).
Pada 1929 keluar Staatsblad No 400, wilayah Sawahlunto sebagai kota pertambangan diperluas menjadi 577,7 hektare, sebuah kawasan yang nantinya satu abad kemudian sohor dengan nama “Kota Lama”.
Sebagai kota pertambangan tentu menyimpan banyak kisah sejarah. Kita bisa belajar menyimak muncul dan tumbuhnya sebuah kota yang dibangun secara terintegrasi.
Dari pembangunan infrastruktur seperti jalur kereta api, pelabuhan, generator listrik, gudang, hingga penyediaan sarana pendukung lain seperti fasilitas kantor, rumah sakit, hotel, dapur umum, dan lain sebagainya. Semua bangunan itu dibangun di kisaran penghujung akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20.
Lubang Tambang
Tentu ini menjadi pemikat utama wisata di Sawahlunto. Wisata di Sawahlunto yang berupa situs ini memperlihatkan adanya inovasi teknologi pertambangan di abad ke-19, yang sebagai model kemudian diikuti oleh negara-negara lain.
Sebab, situs ini ialah pertambangan pertama di Asia Tenggara, yang pada abad ke-19 telah menerapkan teknik penambangan bawah tanah untuk mengambil bijih batubara berkualitas super di kedalaman 40-100 meter di bawah tanah.
Inilah yang kemudian menjadi wisata andalan di Sawahlunto yaitu pintu masuk terowongan pertambangan berupa Museum Lubang Tambang Mbah Soero. Mbah Soero konon dulu ialah nama salah satu penambang yang disegani.
Kisah pertambangan di Sawahlunto meredup di pengujung abad ke-20. Tambang batubara yang selama satu abad lebih telah menjadi sumber utama kehidupan ekonomi masyarakat Sawahlunto, perlahan namun pasti denyutnya berhenti.
Setelah tambang berhenti, wisata di Sawahlunto menjadi andalannya. Wali Kota Sawahluto periode 1993-2003, Subari Sukardi, menyebut setelah tambang tutup, ide yang muncul adalah menjadikan kota bekas tambang batubara jadi daerah tujuan wisata sejarah dan budaya.
Dari Sawahlunto kita bisa menikmati potret kota modern dari abad ke-19 masih lestari. Eksotisnya bekas tambang inilah yang menjadi unggulan wisata di Sawahlunto.