Ibu milenial yang suka kepo berbagai hal memunculkan drone parenting. Namun, pola asuh anak kekinian ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan.
JEDA.ID–Tiap orang memiliki cara dan strategi yang berbeda-beda dalam mengasuh anak. Dulu dikenal pola asuh anak permisif, otoriter, sampai demokratif. Kemudian muncul helicopter parenting sampai muncul kemudian drone parenting.
Selama ini drone dikenal sebagai pesawat tanpa awak. Drone bebas bergerak sendiri di angkasa, namun tetap dikontrol oleh pengemudi dari jarak jauh dengan menggunakan remote.
Seperti itulah juga yang disebut drone parenting. Portal berita Huffington Post menyebutkan pola asuh anak semacam ini adalah memberikan kebebasan bagi anak-anak untuk memilih kegiatan yang mereka sukai.
Anak dibolehkan mengatur jadwal dan memberi kebebasan yang lebih untuk melakukannya. Ini berbeda dengan helicopter parenting yang mengontrol anak dari jarak dekat.
Istilah helicopter parenting dipopulerkan Dr. Haim Ginott, psikolog klinis, terapis anak dan pelatih pengasuhan lulusan Colombia University, Amerika Serikat. Dalam bukunya Between Parent and Teenager terbitan 1969, Ginott menyebut helicopter parenting sebagai pola pengasuhan, di mana orang tua sangat memperhatikan dan melindungi anak.
Orang tua bersikap seperti helikopter yang selalu melayang-layang memperhatikan anaknya. Bagi sebagian orang tua, memperhatikan kebutuhan anak dan melindungi anak dari masalah dan kesusahan, merupakan bagian dari caranya menyayangi dan menyintai anak.
Bebas tapi Mengawasi
Pola asuh anak itu berbeda dengan drone parenting. Sebab, drone parenting lebih memberi kebebasan pada sang anak, memberikan anak-anak ruang untuk mengeksplor hal-hal baru, namun orang tua tetap mengawasi dan bahkan mengendalikannya melalui jarak jauh.
Di era saat ini menerapkan pola asuh anak semacam ini bukan hal yang sulit dengan adanya media sosial, video call, dan lainnya sehingga bisa mempermudah komunikasi.
Sebagaimana dikutip dari laman Kemendikbud, Jumat (22/11/2019), munculnya drone parenting itu tak lepas dari kecenderungan orang tua saat ini yang disebut ibu milenial. Mereka cenderung memiliki rasa keingintahuan yang besar dan mencari informasi yang diinginkan melalui bantuan Internet.
Banyak ibu milenial yang bergabung dengan beberapa komunitas sehingga sumber untuk mendapatkan informasi menjadi lebih luas. Selain itu, sekarang ini banyak ibu yang senang mengunggah berbagai hal menarik tentang anaknya ke media sosial.
Dengan begitu mereka juga mendapat tambahan informasi dari teman-temannya di media sosial. Banyaknya informasi itulah yang memengaruhi pola asuh ibu milenial. Wawasan ibu milenial menjadi lebih terbuka termasuk urusan pola asuh anak.
Mereka tidak memaksa anaknya untuk mengikuti berbagai kegiatan, namun semua disesuaikan dengan kehendak dan kreativitasnya. Demokratis adalah ciri dari para drone parents, yang ternyata mereka justru lebih protektif pada kegiatan sang anak.
Melalui teknologi, orang tua dapat mengontrol anaknya ke mana pun ia pergi melalui gadget yang dihubungkan dengan GPS tracker.
Pola asuh anak kekinian ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Psikolog anak dan remaja di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, memaparkan beberapa kelebihan dan kekurangan pola asuh anak ini.
Kelebihan Drone Parenting
Anak lebih ekspresif karena tidak dikontrol orang tua secara ketat. Selain itu, anak jadi berani mengutarakan perasaan dan pendapatnya. Anak pun jadi mudah diajak diskusi bersama orang tua.
Hal ini membuat anak punya pikiran yang terbuka dan lebih cerdas, karena pendapatnya tidak dibatasi oleh larangan orang tua. Anak juga mampu memahami serta memberikan feedback atas sebuah permasalahan.
Pola asuh ini menjadikan anak melek teknologi. Bila orang tuanya termasuk golongan milenial yang bersahabat dengan teknologi, tentunya anak juga akan melek teknologi.
Orang tua juga biasanya membiarkan anak mengeksplor berbagai game juga video di gadgetnya. Apalagi saat ini sudah banyak game edukatif yang dibuat khusus untuk anak-anak.
Kekurangan Drone Parenting
Pola asuh ini menjadikan anak sulit diatur karena terlalu dibiarkan bebas mengutarakan perasaan dan pendapat. Anak cenderung melawan segala jenis aturan di luar rumah, seperti di sekolah atau lingkungan masyarakat.
Pola ini juga bisa menjadikan anak kecanduan teknologi karena sejak lahir dikenalkan teknologi oleh orang tuanya. Ini menjadikan anak berpotensi kecanduan teknologi.
Dampak negatifnya, anak berpotensi telat bicara karena anak menggunakan gadget berlebihan. Hal itu bisa lebih parah bila orang tuanya terlalu mendewakan gadget untuk mengajarkan anaknya tentang huruf, warna, bahasa Inggris, dan menyusun puzzle.
Menurut Vera, untuk mengatasi kekurangan pola asuh anak semacam ini, orang tua harus tetap memberikan batasan dan disiplin pada anak agar ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang baik. Orang tua juga harus tetap harus menetapkan beberapa peraturan di rumah.
”Misalnya setiap kali habis bermain, anak harus merapikannya sendiri. Atau menetapkan bahwa jam tidurnya adalah jam 9 malam setiap harinya. Dengan begitu, anak akan lebih terbiasa pada peraturan yang ada di kehidupannya nantinya,” ujar Vera.
Vera menambahkan untuk mengatasi kecanduan gadget, tidak semua edukasi anak harus diberikan melalui gadget. Orang tua bisa mengajarkan anak melalui buku, jalan-jalan ke taman untuk melihat dan belajar mengenai bermacam-macam warna, juga menyusun puzzle kayu.
Dengan kekurangan dan kelebihan pola asuh anak semacam itu, apakah Anda berniat menerapkan drone parenting? Pilihannya kembali ke tangan orang tua.