Daging vegetarian yang terbuat dari berbagai macam zat tumbuhan atau sayuran mulai menjadi tren. Sayangnya ada kekhawatiran yang muncul di balik gembar-gembornya sebagai makanan sehat.
JEDA.ID—Beberapa waktu lalu ini vlogger sekaligus penulis Raditya Dika mengunggah video dirinya sedang menyantap burger dengan daging vegetarian di Youtube. Komentar-komentar pada video menunjukkan para penonton merasa penasaran mencoba daging vegetarian dalam burger tersebut.
Tahun ini pun, para selebgram Indonesia yang membangun branding sebagai vegetarian mulai gencar mempromosikan jenis makanan satu itu. Misalnya saja Paola Tambunan yang belakangan ini menjadi pelanggan setia Burgreens, salah satu merek burger sayuran yang sedang hits di Indonesia. Angka pelanggan setia Burgreens pun langsung melonjak sejak produknya kerap dipesan oleh Paola dan ditayangkan di akun media sosial Instagram.
“Rasanya mirip banget kayak daging asli guys gila sumpah ini enak banget,” kata Paola tiap mempromosikan jenis makanan satu itu di instastory (platform dalam Instagram).
Walau diklaim memiliki rasa yang hampir sama dengan daging asli, tetap ada perbedaan dari sisi kandungan gizi.
“Cuma, jika dibandingkan apple to apple dengan daging asli tentunya berbeda. Karena protein nabati dan hewani memiliki daya serap yang berbeda. Daging asli daya serapnya lebih baik karena kelengkapan asam aminonya lebih lengkap dari protein nabati,” terang Jansen Ongko, seorang ahli gizi seperti dilansir Detik belum lama ini.
Masih menurut pria yang aktif menjadi pembicara soal nutrisi ini, daging buatan tersebut memang ada dan biasa dikonsumsi vegetarian.
Oleh karena itu, Jansen, begitu sapaan akrabnya menyarankan para vegetarian agar lebih sadar gizi sehingga kebutuhan nutrisi tetap terpenuhi meskipun dengan pilihan makanan yang terbatas. Sebelum berbicara mengenai rekomendasi penyantapan daging tiruan agar tak mengganggu asupan gizi, mari bahas tentang sejarah daging tiruan ini.
Kali Pertama Muncul
Sebenarnya jenis makanan ini bukanlah hal baru bagi vegetarian. Sebelum burger sayuran ngetren di Indonesia, di Amerika Serikat telah ada Impossible Burger sebagai brand pelopor burger dengan daging tiruan dari berbagai macam sayuran.
Dilansir dari healtline.com, The Impossible Burger diciptakan oleh Impossible Foods, sebuah perusahaan yang didirikan oleh Patrick O. Brown 2011. Brown adalah ilmuwan dan profesor emeritus di Stanford University di California. Dia memiliki gelar sarjana kedokteran dan Ph.D. dan telah bekerja sebagai ilmuwan penelitian selama bertahun-tahun.
Melalui konferensi, Brown mencoba meningkatkan kesadaran tentang bagaimana menggunakan hewan untuk bahan makanan akan membahayakan lingkungan. Oleh karena itu, dia menciptakan bisnis yang menghasilkan alternatif nabati untuk produk hewani populer.
Produk khasnya—Impossible Burger—dibuat bertujuan untuk meniru tekstur dan rasa daging sapi dengan sempurna hanya dengan menggunakan bahan sayur-sayuran.
Brown menjelaskan bahwa burgernya menggunakan bahan-bahan yang dipilih dengan cermat.
Seperti air, protein gandum bertekstur, minyak kelapa, protein kentang, rasa alami, leghemoglobin keledai sebanyak 2%, ekstrak ragi, garam, permen karet konjac, permen karet xanthan, isolat protein kedelai, vitamin E, vitamin C, tiamin (vitamin B1 ), seng, niasin, vitamin B6, riboflavin (vitamin B2), dan vitamin B12.
Pada 2019, perusahaan memperkenalkan resep baru yang menampilkan perubahan. Burger ciptaan Brown itu menggunakan protein kedelai sebagai pengganti protein gandum. Zat itu membuat burger menjadi bebas gluten.
Daging vegetarian pada burger juga mengandung pengikat kuliner nabati yang disebut metilselulosa untuk meningkatkan tekstur. Setelah itu Impossible Burger mengganti sebagian minyak kelapa dengan minyak bunga matahari untuk mengurangi kadar lemak jenuh dalam daging tiruan.
Ada satu hal yang spesial dari Impossible Burger, yaitu ketika daging tiruannya diiris, akan muncul garis-garis darah seperti pada daging sungguhan. Brown mengatakan itu bukan darah daging sapi. Itu adalah Heme, atau soy leghemoglobin.
Bahan Kontroversial
Menurut paper penelitian berjudul Evaluating Potential Risks of Food Allergy and Toxicity of Soy Leghemoglobin Expressed in Pichia Pastorisamun karya Yuan Jin dkk, seperti dilansir healthline.com.
Heme merupakan bahan yang dinilai paling kontroversial di dalam daging tiruan. Sebab, tidak seperti heme yang ditemukan dalam daging sapi, heme dalam daging tiruan direkayasa secara genetika. Prosesnya dengan menambahkan protein kedelai ke ragi yang direkayasa secara genetika.
Meskipun pada umumnya diakui aman Badan Obat dan Pangan Amerika Serikat (Food and Drug Administration/FDA) beberapa orang mengkhawatirkan potensi dampak kesehatannya.
Menurut esai penelitian berjudul Recent Advances In Understanding Non-Celiac Gluten Sensitivity karya Maria Rafaela Barbaro dkk, resep Impossible Burger asli mengandung gandum dan kedelai, yang keduanya merupakan alergen makanan umum.
Penelitian itu juga menyebutkan 1% populasi dunia memiliki penyakit seliaka yang merupakan reaksi kekebalan terhadap biji-bijian yang mengandung gluten.
Terlebih lagi, diperkirakan bahwa 0,5-13% dari populasi umum memiliki sensitivitas gluten non-celiac. Yakni intoleransi terhadap gluten yang menghasilkan gejala yang tidak menyenangkan seperti sakit kepala dan masalah usus.
Impossible Foods tidak menyembunyikan fakta bahwa Impossible Burger mengandung bahan-bahan yang dimodifikasi secara genetik, misalnya seperti leghemoglobin kedelai dan protein kedelai.
Sebagian besar ilmuwan sepakat bahwa makanan transgenik aman. Namun, ada yang khawatir tentang penggunaan tanaman transgenik yang tahan terhadap herbisida yang umum digunakan seperti glifosat dan asam 2,4-Dichlorophenoxyacetic (2,4-D).
Glyphosate telah dikaitkan dengan efek yang berpotensi bahaya pada manusia, tanaman, dan hewan, membuat banyak ahli menuntut penelitian lebih lanjut tentang kemungkinan bahaya herbisida ini bagi manusia dan lingkungan.
Sebagai contoh, glifosat telah terbukti merusak fungsi hormonal, dan beberapa penelitian telah mengaitkannya dengan kanker tertentu seperti leukemia.
Hal tersebut tertuang dalam paper penelitian berjudul Glyphosate-Based Herbicides And Cancer Risk: A Post-IARC Decision Review Of Potential Mechanisms, Policy And Avenues Of Research karya Davoren MJ.