Keamanan siber harus memperhatikan keamanan individu, bukan malah mereduksi dan memberi ruang yang terbatas bagi individu.
JEDA.ID–Awalnya rapat antara Pansus DPR tentang RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) dengan pemerintah digelar Jumat (27/9/2019). Bila tidak ada aral merintang, ada rencana RUU KKS segera dibawa ke paripurna DPR periode 2014-2019 untuk pengesahan.
Semua rencana itu berlalu hingga akhirnya pembahasan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber ditunda. Ketua DPR Bambang Soesatyo menyebut pembahasan RUU KKS diserahkan kepada DPR periode selanjutnya 2019-2024 atau carry over.
“Saya pastikan pada hari Senin [30/9/2019] tidak ada lagi RUU yang diambil keputusannya di paripurna. Karena paripurna hari Senin itu paripurna penutupan masa sidang sekaligus juga pidato perpisahan dari saya,” terang Bamsoet di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, sebagaimana dikutip dari Detikcom.
Politikus Partai Golkar itu menerima masukan dari pemerintah dan masyarakay agar tidak terburu-buru mengesahkan RUU yang merupakan inisiatif DPR itu. Dia menyebut RUU Keamanan dan Ketahanan Siber harus bisa sejalan dengan keinginan Presiden untuk memajukan ekonomi digital.
Selain itu, Bambang ingin RUU KKS dapat mengatur peran negara untuk mengelola keamanan siber di era digital dan keterbukaan informasi.
Ketua Pansus RUU KKS Bambang Wuryanto memastikan rapat antara DPR dengan pemerintah yang diagendakan Jumat gagal terlaksana karena tidak ada perwakilan pemerintah dalam hal ini menteri yang hadir.
RUU Keamanan dan Ketahanan Siber pun dipastikan tidak akan dilanjutkan pembahasannya. Laki-laki yang akrab disapa Bambang Pacul ini menyebut RUU itu tidak bisa langsung dilanjutkan pembahasannya oleh DPR 2019-2024 atau carry over.
”Dimulai dari awal. Jadi jangan lagi ada yang ngomong bahwa nanti akan ada pengesahan UU keamanan siber, enggak ada itu. Iya dong [masuk prolegnas], mulai dari awal lagi. Ya pasti lah, kalau itu sudah dengan sendirinya. Tetapi itu mulai dari awal lagi,” jelas Bambang.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin menyebut pemerintah menyadari adanya beberapa isu yang krusial yang perlu pendalaman.
Dia mengakui salah satunya mengenai kebebasan berpendapat. Ada juga mengenai konten negatif seperti hoaks yang selama ini ditangani Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Berumur 10 Hari
Pansus RUU Keamanan dan Ketahanan Siber baru terbentuk pada 16 September 2019. Artinya, pansus ini baru berumur 10 hari kerja hingga Jumat. RUU ini menjadi inisiatif DPR sejak Mei 2019.
”Penyusunan RUU KKS ini muncul tiba-tiba dan seperti terburu-buru ingin disahkan!” ujar Executive Director SAFEnet Damar Juniarto sebagaimana dikutip dari siaran pers mereka.
SAFEnet menyebut bila RUU KKS ini disahkan, Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN) akan memiliki kedudukan hukum yang lebih kuat daripada sebelumnya. Bahkan, BSSN akan menjadi lembaga superkuat karena bisa memantau berbagai aktivitas di dunia maya.
RUU KKS tidak bisa dilepaskan dari sejarah peleburan Lembaga Sandi Negara/Lemsaneg dengan Direktorat Keamanan Informasi (Ditkominfo) Kemkominfo menjadi BSSN.
Tugas BSSN hanya satu, yaitu melaksanakan keamanan siber secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan, mengembangkan, dan mengonsolidasikan semua unsur yang terkait dengan keamanan siber.
”Belakangan banyak negara mengambil posisi keamanan siber sebagai bagian dari keamanan nasional. Sehingga mereka menggunakan pendekatan keamanan dalam konteks keamanan siber. Dampaknya, keamanan siber menjadi kontraproduktif dan cenderung melanggar kebutuhan keamanan individu, mengancam pengakuan atas hak asasi dan melukai demokrasi,” ujar Damar.
Dia mengingatkan keamanan siber harus juga memperhatikan keamanan individu, bukan malah mereduksi dan memberi ruang yang terbatas bagi individu dalam menjalankan aktivitasnya.
SAFEnet menilai pasal-pasal di dalam RUU KKS ini berpotensi mengancam privasi dan kebebasan berekspresi seperti pasal 11, pasal 14 ayat 2 f, dan pasal 31.
Ada juga pasal-pasal yang berpotensi membatasi perkembangan teknologi yang melindungi hak asasi seperti teknologi open source dan inisiatif seperti anonimitas identitas, server virtual, enkripsi digital, yang prinsipnya melindungi dari praktek monopoli perusahaan teknologi keamanan siber dan pendulangan data oleh perusahaan teknologi informasi.
Dia menyebut harusnya sebelum membahas RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, DPR dan pemerintah mendahulukan RUU Pelindungan Data Pribadi (PDP) yang masuk dalam prioritas Prolegnas 2019 dan menyangkut hajat hidup orang banyak
”Harus juga memperhatikan penerapan hak asasi manusia dalam produk kebijakan hukum siber sesuai Resolusi 73/266 [2018]. PBB menggarisbawahi pentingnya penghormatan HAM dan kebebasan dasar dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi,” sebut dia.
Juru Bicara BSSN Anton Setiawan enggan memberikan komentar mengenai RUU KKS.
Jaringan Internet Dunia
Pengamat keamanan siber Alfons Tanujaya menyebutkan jika RUU KKS jadi diterapkan, badan yang mendapatkan mandat malah tidak akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
”Karena aplikasi-aplikasi penting dan produktif yang dibutuhkan para pengguna internet Indonesia belum ada penggantinya,” kata Alfons sebagaimana dikutip dari Detikcom.
Alfons melihat pengawasan dan pembatasan yang ingin dilakukan lewat RUU KKS mengacu pada struktur internet seperti di China.
Ini menurutnya adalah kemustahilan karena Internet Indonesia sudah tergabung dengan jaringan Internet dunia. Tidak seperti China yang struktur internetnya terpusat pada satu pengawasan.
Dia mempertanyakan kesiapan pemerintah menyediakan layanan yang bisa diandalkan sebagai pengganti aplikasi WhatsApp dan lain-lain, jika RUU KKS disahkan.
“Misal Google Maps. Apakah pemerintah siap, layanan seperti Gojek, Grab dan lainnya yang memanfaatkan Google Maps lumpuh? Atau aplikasi yang pakai Facebook sebagai layanan login jadi lumpuh karena Facebook diblokir? Internet sudah menjadi suatu jaringan global yang tidak bisa diatur-atur dengan mudah,” urai dia.