Diaspora Indonesia berjumlah cukup besar dan mencapai tujuh juta orang di seluruh dunia. Jika dianggap propinsi, akan menjadi propinsi terbesar ke-14.
JEDA.ID–Penyanyi Agnez Mo menjadi sorotan setelah melontarkan pernyataan tidak punya darah Indonesia dalam sebuah wawancara. Pro-kontra mengemuka termasuk mengenai nasionalismenya. Sebenarnya seperti apa nasionalisme di mata para diaspora Indonesia?
Pernyataan Agnez Mo itu terlontar dalam wawancara bersama presenter Kevan Kenney dalam video Youtube Build Series NYC by Yahoo!.
”Ya, karena saya sebenarnya tidak punya darah Indonesia sama sekali. Saya sebenarnya campuran Jerman, Jepang, dan Chinese. Saya hanya lahir di Indonesia,” jawab Agnez.
”Saya juga beragama Kristen, dan di Indonesia mayoritas adalah muslim. Saya tidak bilang saya tidak berasal dari sana, karena saya merasa diterima. Tetapi saya merasa tidak seperti yang lain,” lanjutnya.
Lewat akun media sosialnya, Agnez Mo menjelaskan maksud dari pernyataannya tersebut. Penyanyi 33 tahun itu mengungkapkan fokus dari ucapannya adalah menunjukkan keberagaman yang ada di sekelilingnya.
”Saya tumbuh dalam budaya yang beragam. Inklusi budaya adalah yang saya pilih. Bhineka Tunggal Ika berarti bersatu dalam keberagaman. Saya menyukai ketika saya bisa berbagi sesuatu tentang asal dan negara saya,” kata Agnez.
Staf Khusus (Stafsus) Presiden Joko Widodo (Jokowi) bidang pesantren, Aminudin Ma’ruf, menilai pernyataan Agnez Mo itu sebagai pengakuan identitas biologis. Namun, kata Aminudin, pernyataan itu juga sekaligus menggambarkan keterbukaan masyarakat Indonesia.
”Dia ingin mengatakan saya yang bukan keturunan Indonesia, yang berkeyakinan sebagai minoritas, tapi diterima bahkan diapresiasi atas prestasi-prestasi yang diraih,” ujar dia sebagaimana dikutip dari Detikcom, Selasa (26/11/2019).
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yakin musikus Agnez Mo mempunyai semangat untuk membangun Indonesia dan meminta publik tak berpikir negatif atas pernyataan Agnez.
Dia menyebut banyak WNI atau diaspora Indonesia yang tinggal di luar negeri justru nasionalismenya lebih tinggi. ”Saya itu sering waktu sekolah ke luar negeri, sering datengin teman-teman kita yang di luar, wah itu nasionalisnya lebih dari kita. Jadi jangan terus digoreng Monica enggak nasionalis. Menurut saya sih enggak,” ujar dia dilansir dari Detikcom.
Peran Diaspora Indonesia
Diaspora Indonesia bisa jadi punya cara pandang yang berbeda dalam melihat nasionalisme. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (saat itu masih menjadi Wapres) saat membuka Kongres Diaspora Indonesia ke-III pada 12 Agustus 2015 menyatakan nasionalisme tidak bisa diukur dari selembar kertas.
”Sekarang ini nasionalisme itu tidak tergantung pada selembar kertas. Orang yang memiliki KTP atau berpaspor Indonesia itu belum tentu lebih nasionalis,” kata Jusuf Kalla saat itu sebagaimana dilansir dari Tabloid Diplomasi.
Jusuf Kalla menitikberatkan mengenai berbagai peranan yang dapat diambil oleh diaspora Indonesia bagi kemajuan bangsa. Diaspora memiliki kelebihan karena keberadaan dan pengalamannya dalam bidang industri, bisnis, dan sebagainya.
Diaspora Indonesia berjumlah cukup besar dan mencapai tujuh juta orang di seluruh dunia. Jika dianggap propinsi, akan menjadi propinsi terbesar ke-14 di Indonesia.
Namun, jumlah diaspora Indonesia itu masih kalah jauh dibanding Tiongkok yang mempunyai 80 juta diaspora dan India yang memiliki 60 juta diaspora.
Salah satu diaspora Indonesia Hutomo Suryo Wasisto memaparkan pandangannya tentang nasionalisme. Hutomo adalah ilmuwan diaspora yang patut dibanggakan.
Pakar nanoteknologi kelahiran Yogyakarta ini namanya cukup ramai diperbincangkan di dunia keilmuan internasional lantaran penghormatan yang didapatkannya dari pemerintah Jerman setara dengan B.J. Habibie.
Dalam wawancara dengan tim Ristekdikti yang dimuat di laman Ristekdikti pada 8 Oktober 2018, Hutomo mengatakan nasionalisme adalah rasa cinta, bangga, dan keterikatan batin yang melekat pada diri seseorang terhadap negara dan bangsanya yang ditunjukkan melalui sikap dan kontribusi yang nyata sesuai bidang yang digelutinya.
”Jadi menurut saya, tergantung posisi dan kemampuan seseorang, nasionalisme dapat ditunjukkan dalam hal yang sangat beragam dan tidak dapat dipukul rata antara satu orang dengan orang yang lain,” kata dia.
Dia mencontohkan seorang penari Indonesia yang tinggal di luar negeri pasti akan berusaha menunjukkan nasionalismenya dengan menari tarian Indonesia dalam pentas kesenian. Serta akan mengenalkan budaya Indonesia pada umumnya seperti menggunakan pakaian batik.
Bila Jadi Warga Negara Asing
Hutomo menyebut orang yang mempunyai rasa nasionalisme tinggi akan mencurahkan segala tenaga dan pikirannya untuk kemajuan, kehormatan, dan tegaknya kedaulatan negara dan bangsanya. Tentunya dengan kapasitas dan kemampuan yang dia miliki.
”Jadi nasionalisme lebih dari hanya sekadar perdebatan atau pembahasan tentang di mana orang tersebut tinggal, warna kulit apa yang dipunyai dia, agama apa yang dianutnya, maupun paspor apa yang digenggam olehnya,” sebut dia.
Saat ditanya mengenai para ilmuwan asal Indonesia yang menjadi warga negara asing bisa dibilang tidak memiliki rasa nasionalisme? Dia menilai pandangan semacam itu keliru.
”Saya termasuk orang yang paling tidak setuju dengan pendapat ini. Kita ini sekarang hidup di zaman modern yang semuanya serba connected dan tinggal di era ’masyarakat dunia’. Jadi sebetulnya bila seseorang ingin tinggal di mana pun dan harus menjadi warga negara tertentu selain Indonesia, menurut saya itu hak dari orang tersebut,” kata dia.
Namun, Hutomo menyebut orang itu tetap berkontribusi nyata kepada bangsa aslinya yaitu Indonesia dan menjaga nama baik negara asalnya. ”Maka saya akan menyebutnya memiliki nasionalisme yang tinggi,” ujar dia.
Pernyataan Jusuf Kalla sampai Hutomo itu memberikan bagaimana diaspora Indonesia memandang nasionalisme yang tidak bisa diukur dalam satu aspek. Termasuk pula ketika publik dibuat terkejut dengan pernyataan Agnez Mo.